Ditolak di pelaminan, Sinta Lestari belajar membangun kembali dirinya dari reruntuhan. Empat tahun kemudian, ia masih menutup rapat hatinya—hingga sebuah malam hujan mempertemukannya dengan Kevin Mahendra, pria asing dengan tatapan hijau keemasan dan senyum licik yang mampu mengguncang pertahanannya. Malam itu hanya percakapan singkat di kedai kopi, berakhir dengan ciuman panas yang tak pernah bisa ia lupakan.
Kini takdir mempertemukan mereka lagi di Pangandaran. Kevin, pria dengan masa lalu kelam dan ambisi membangun “steady life”-nya, tak pernah percaya pada cinta. Sinta, perempuan yang takut kembali dikhianati, enggan membuka hati. Namun, keduanya terikat dalam tarik-ulur berbahaya antara luka, hasrat, dan kesempatan kedua.
Apakah mereka mampu menjadikan hubungan ini nyata, atau justru hanya perjanjian sementara yang akan kembali hancur di ujung jalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
"Bagas dan aku akan menikah bulan depan Kak."
Sinta menatap adiknya, beku sejenak.
Lalu dia lepas kendali.
"Kakak ikut senang banget Arum!" pekiknya, membiarkan semua emosi meluap. Mereka berteriak dan melompat seperti remaja. Sinta memeluk Arum erat-erat, air mata memburamkan matanya karena kehangatan pelukan adiknya. Arum tertawa dan mengusap matanya. "Dia mengejutkanku di pinggir pantai Lihat!"
Ia mengulurkan tangannya memamerkan berlian princess cut yang indah. "Sempurna," kata Sinta, membolak-balikkan tangannya. "Ini dibuat untukmu."
"Aku tahu! Jujur aja—apa kakak membantunya? Ini hampir terlalu sempurna. Semua yang diinginkan penulis roman dalam sebuah lamaran. Dia bahkan menghitung waktu matahari terbenam!"
Sinta mengernyit. "Kakak ingin sekali dikasih pujian, tapi ini semua ide Bagas. Dia tanya apa kakak mau ikut, tapi kakak bilang jangan. Lebih baik rencananya sesuai visinya."
Arum tertawa. "Karena kamu tahu kamu tukang perintah dan bakal ambil alih, kan?"
"Enggak! Kakak cuma bersikap sopan." Dia mendengus. "Matahari terbenam itu ide kakak, oke? Tapi dia enggak bilang kapan itu akan terjadi."
"Dan cincinnya?"
Sinta terdiam sejenak. "Kakak cuma bilang potongan mana yang paling kamu suka, dan kamu suka yang... besar."
Arum tertawa terbahak-bahak. "Sudah kuduga. Aku senang kkakak terlibat. Dan bersiaplah—kakak punya banyak pekerjaan sebagai bridesmaid. Kakak tahu aku payah soal mengatur acara."
Perut Sinta terasa mulas. Ia menatap adiknya yang berseri-seri dan bersumpah semua yang telah mereka lalui sepadan untuk momen ini. "Kakakakan ada di sini seratus persen. Kakak bangga banget sama kamu. Mama sama Papa juga."
Arum menggigit bibirnya. "Kita sudah lama berjuang ya?"
"Kita? Coba lihat, kamu putus nyambung sama Bagas, Calon suami kakak selingkuh sama cowok dan meninggalkan kakak di altar. Kakak rasa kita sudah berjuang"
"Berhenti! Maksudku, kita harus menemukan jalan kita meskipun kita salah. Enggak ada yang bisa kita mintai nasihat." Wajahnya sempat muram. "Memang buruk untuk sementara waktu. Aku enggak yakin aku bisa melewatinya tanpamu."
Sinta tertawa. Arum telah menulis buku terlaris setelah patah hati. Dan kini dia bertunangan. "Mungkin kamu benar."
"Aku benar."
Mereka saling tersenyum. "Kita harus merayakannya," kata Sinta.
"Ya, kita makan malam. Hanya keluarga inti. Bisa kakak rahasiakan sebentar? Kami belum siap mengumumkannya ke dunia. Kami mau menikmati rahasia besar ini."
"Romantis banget. Tentu saja, kakak akan tutup mulut, dan kita akan merayakannya sederhana saja Jumat malam bersama Bagas."
Sinta menariknya untuk memeluknya sekali lagi. "Sayang kamu adikku."
"Aku tahu."
Arum keluar pintu.
Emosinya meluap-luap. Adiknya akhirnya akan menikah dengan pria yang tepat. Ia merindukan orang tuanya. Entah bagaimana, ia semakin merindukan mereka di masa-masa bahagia.
Sebuah desahan lolos saat ia menjatuhkan diri di kursi goyang. Kerinduan akan sesuatu yang enggak bisa ia sebut namanya berkobar dalam dirinya. Ia ingin melakukan sesuatu yang liar. Mengambil kesempatan dalam usaha baru.
Jawabannya tepat sasaran.Akhirnya tiba saatnya.
Ia mencintai hidupnya, tetapi masih ada satu hal yang kurang. Jenis cinta yang ia impikan untuk meredakan rasa sakit kesepian.
Dia pasti akan memelihara kucing.
***
"Gue bakal nikah!"
Kevin berdiri di luar Bagas Tours, senyum lebar merekah di bibirnya. Dia langsung masuk dan meluk Bagas. "Selamat, Bro. Gila, akhirnya otak lo jalan juga dan ngelamar dia. Untung aja, soalnya gue udah siap-siap mau ngelamar Arum duluan."
"Syukurlah, karena gue pasti bakal hajar lu sampai babak belur."
"Cih, mimpi lu. Kan gue pernah di penjara. Udah belajar banyak jurus gue."
Bagas ketawa. "Cuma lu yang bisa nyebut diri lu penjahat, dan semua cewek nganggep itu misterius dan keren."
"Ah, sudahlah. Bagus deh. Nah, karena lu mau pensiun dari status single, gue senang bisa gantiin lu."
Kevin berusaha keras untuk enggak mikirin Sinta. Enggak ada cewek lain yang dia mau selain Sinta.
Keinginan untuk jujur ke sahabatnya kuat banget, tapi dia tahan. Fokus ke kebahagiaan Bagas aja.
"Lu pantes dapetin ini," kata Kevin pelan. "Arum cocok banget buat lu."
Wajah Bagas melembut. "Iya, emang. Makasih. Lu mau jadi groomsmen gue, kan?"
"Tentu aja! Tapi boleh dong gue bantu pilih tuksedo? Selera fashion lu kan payah."
"Boleh, tapi jangan yang aneh-aneh." Bagas ketawa. "Kami mau makan malam sederhana aja Jumat malam buat ngerayain."
"Gue tahu. Nanti bakal kita umumin, tapi Arum pengin malam yang tenang dulu."
Kevin ragu. "Siapa aja yang ikut?"
"Cuma gue, Arum, Sinta, sama lu."
"Sinta?"
Kevin berusaha keras menyembunyikan emosinya saat Bagas menatapnya curiga. "Iya. Dia kan adiknya."
"Tentu aja! Kedengarannya seru. Tapi, Vin, kenapa lu sama Sinta enggak pernah ngobrol? Ada apa-apa ya yang enggak gue tahu?"
Tenggorokan Kevin tercekat. Dia maksa ketawa kecil. "Enggak ada. Dan itu konyol, kita ngobrol kok."
Bagas menyipitkan mata. "Enggak juga. Setiap kita kumpul, kalian berdua selalu ngehindar. Gue enggak ingat ada cewek yang enggak lu taklukin, tapi jelas dia bukan penggemar lu."
Keringat dingin membasahi dahi Kevin. "Gue rasa lu terlalu cepat ambil kesimpulan."
Bagas menyeringai lebar. "Astaga, lu ngajak dia kencan dan dia nolak!"
Kevin berkedip. "Apa?"
Bagas ketawa terbahak-bahak. "Gue harusnya tahu. Pantesan upaya Arum buat jodohin lu gagal. Sinta enggak pernah tertarik dan berusaha jaga perasaan lu."
Kevin memutuskan untuk tetap berakting. "Itu bukan masalah besar."
Bagas menepuk bahunya. "Iya, deh. Sinta emang keras. Gue enggak pernah tahu tipe dia kayak gimana, tapi percaya deh. Lu bukan tipenya."
Sial, ini makin parah. Rasa ingin tahu mengalahkan logika. "Kenapa enggak?"
"Suaminya selingkuh. Gue rasa itu bikin dia trauma. Arum bilang dia lagi nyari Tuan Sempurna, yang enggak ada di dunia nyata. Udah deh, enggak usah baper. Lu punya banyak cewek, enggak usah lu repot-repot sama adiknya Arum. Lagian, bakal ribet kalau lu putus, kan kita sekarang bakal jadi keluarga."
Perut Kevin mual. Dia mengangguk dan pura-pura setuju. Sudah waktunya dia menghadapi Sinta.
Kevin mengganti topik. "Gue enggak terbiasa sama tempo kerja yang lambat di sini."
"Lu kan orang Jakarta asli. Butuh waktu buat ngurangin kecepatan."
Kevin masih berjuang, tapi pekerjaan barunya adalah awal yang baik.
"Lu berhak bahagia," kata Bagas.
Bayangan Sinta melintas di benaknya. Dulu, dia pernah meruntuhkan pertahanan Sinta, dan dia berniat ngasih kesempatan lagi buat mereka berdua.
Kevin berdeham. "Gue hargain itu, Bro. Sekarang gue mau makan siang dulu. Kirimin aja infonya via WA buat makan malam."
"Siap."
"Bagas?"
"Ya?"
Dia tersenyum pada temannya. "Gue seneng banget buat lu."
Kevin enggak menunggu jawaban. Dia berbalik dan menuju mobilnya. Rasa penasarannya bergemuruh.
Dia enggak sabar nunggu sampai Jumat malam.