Di dunia modern, Chen Lian Hua adalah seorang medikus lapangan militer yang terkenal cepat, tegas, dan jarang sekali gagal menyelamatkan nyawa. Saat menjalankan misi kemanusiaan di daerah konflik bersenjata, ia terjebak di tengah baku tembak ketika berusaha menyelamatkan anak-anak dari reruntuhan. Meski tertembak dan kehilangan banyak darah, dia tetap melindungi pasiennya sampai detik terakhir. Saat nyawanya meredup, ia hanya berharap satu hal
"Seandainya aku punya waktu lebih banyak… aku akan menyelamatkan lebih banyak orang."
Ketika membuka mata, ia sudah berada di tubuh seorang putri bangsawan di kekaisaran kuno, seorang perempuan yang baru saja menjadi pusat skandal besar. Tunangannya berselingkuh dengan tunangan orang lain, dan demi menjaga kehormatan keluarga bangsawan serta meredam gosip yang memalukan kekaisaran, ia dipaksa menikah dengan Raja yang diasingkan, putra kaisar yang selama ini dipandang rendah oleh keluarganya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13 : Kau boleh merantaiku
Ya Ting membeku mendengar permintaan Wei Jie. Pelukannya mengerat, merasakan tubuh putranya yang kecil itu bergetar.
Di sisi lain, Lian Hua perlahan bangkit. Dengan tangan bertumpu di tepi ranjang, ia berdiri walau napasnya tersengal. Suaranya tenang namun tegas.
“Jika sesuatu terjadi pada Wei Jie… aku akan bertanggung jawab. Bahkan… jika kau ingin membunuhku setelahnya.”
Ya Ting menoleh. Alisnya berkerut, tatapannya ragu. Ia kembali melihat putranya, lalu menghela napas panjang. Keputusan itu pahit, dan kepercayaan yang diberikan pun rapuh.
“Baik,” ucapnya pelan. “Aku akan memegang janjimu.”
Tangannya mengusap kepala Wei Jie sebelum perlahan melepaskan pelukan itu. Ia mundur, membiarkan Lian Hua melangkah maju, namun pandangannya tetap tajam mengawasi setiap gerakan.
Lian Hua berhenti tepat di sisi ranjang, lalu menoleh ke arah Ya Ting. “Aku sudah berjanji akan bertanggung jawab jika sesuatu terjadi padanya.”
“Ya,” jawab Ya Ting dingin. “Aku percaya… tapi jika kau membohongiku, kau tidak akan mati dengan tenang.”
Lian Hua menatapnya lama. “Kalau begitu… apa yang kau lakukan disini?”
“Aku akan tetap di sini,” jawab Ya Ting tanpa ragu. “Mengawasi setiap gerakanmu.”
Lian Hua menarik napas, seolah hampir menyerah pada kepala batu di hadapannya. Tatapannya tenang, namun ada sesuatu di sorot matanya yang membuat Ya Ting terdiam sejenak, sebuah ketenangan yang justru terasa mengancam.
“Proses pengobatan adalah privasi,” ucap Lian Hua pelan. “Tunggulah di luar.”
Ya Ting tak menjawab, hanya menatapnya beberapa detik sebelum berbalik pergi. Namun sebelum pintu tertutup, suaranya terdengar lagi, rendah namun mengandung ancaman.
“Jika kali ini kau berbohong… aku tidak akan pernah melepaskanmu.”
Lian Hua mengangguk tipis. “Kalau aku mencoba kabur… kau boleh merantaiku.”
Begitu pintu tertutup rapat, Lian Hua menghela napas panjang, seakan melepaskan seluruh ketegangan yang tadi mengekang. Dari saku lengan bajunya, ia mengeluarkan beberapa kain bersih dan segenggam tanaman yang sudah ia gerus halus.
Ia menatap Wei Jie dengan senyum tipis, suara lembutnya berusaha menenangkan,
“Tenanglah… Aku akan melakukannya cepat, sebelum efek daun coca itu hilang.”
Wei Jie hanya mengangguk lemah. Ia kembali berbaring, memejamkan mata, menyerahkan seluruh dirinya pada tangan Lian Hua.
Perlahan, Lian Hua menaburkan sisa daun coca di sekitar luka yang membengkak, membiarkan kandungan obatnya menyerap hingga kulit mulai mengering. Lalu, dari dalam kain pembungkus, ia mengambil sebilah pisau tipis yang berkilau bersih.
Dengan gerakan hati-hati, ia membuat goresan kecil di benjolan itu. Seketika, cairan kental bercampur nanah mengalir keluar. Lian Hua segera menekankan kain bersih, menyerap habis segala kotoran dari luka itu, tak membiarkan setetes pun tersisa.
Setelahnya, ia mengambil kain lain yang sudah direndam rebusan madu dan bawang putih. Dengan ujung jarinya, ia mengusap perlahan kelopak mata Wei Jie, menggosoknya dengan gerakan ringan namun teliti, memastikan setiap sudut luka tersentuh obat.
Dari sisi ruangan, ia meraih sehelai kain yang tadi direbus air panas lalu dikeringkan. Ia melipatnya rapi membentuk bantalan perban, menempelkannya tepat di atas luka, lalu menutup rapat dengan kain panjang yang diikat kuat namun tetap nyaman.
Saat semua selesai, Lian Hua duduk di sisi tempat tidur. Jemarinya mengusap pipi Wei Jie dengan lembut, suaranya nyaris seperti bisikan.
“Buka matamu nanti… saat semuanya sudah benar-benar sembuh.”
semakin penasaran.....kenapa Lin Hua....
ga kebayang tuh gimana raut muka nya
orang orang istana.....
di atas kepala mereka pasti banyak tanda tanya berterbangan kesana kemari....
wkwkwkwk....😂