Tabib Kecil Kesayangan Raja Pengasingan
Suara ledakan mengguncang udara, disusul semburan api yang melahap rumah-rumah di sekitarnya. Chen Lian Hua berlari sekuat tenaga, napasnya memburu, peluh bercampur darah menetes dari wajahnya yang kotor. Di dadanya dan punggungnya, 2 anak kecil terikat dengan kain lusuh, tubuh mungil itu lemas, nyaris tak bernapas. Di tangan kirinya, ia menggandeng dua anak lain yang menangis ketakutan, kaki mereka nyaris tak mampu mengikuti langkahnya.
Telinganya dipenuhi suara tembakan, tapi matanya awas, mencari jalur aman. Setiap ledakan yang memekakkan telinga membuatnya semakin mempercepat langkah, meski otot-ototnya mulai berteriak lelah.
Akhirnya, pos perbatasan tampak di depan. “Cepat!” desisnya pada anak-anak itu. Ia menyerahkan mereka pada petugas yang berjaga. “Amankan mereka… aku akan segera kembali,” katanya terburu, bahkan tak menunggu jawaban sebelum berbalik arah.
Belum sempat ia menjauh, suara letusan senjata memecah udara.
Dunia seolah berhenti bergerak. Lian Hua menunduk, menatap noda merah yang mulai membesar di kain putihnya. Darah hangat merembes membasahi perutnya. Napasnya tercekat, matanya terbelalak. Perlahan, ia menoleh.
Kapten militernya berdiri di sana. Wajahnya dingin, tanpa emosi, jari masih menggenggam pistol yang berasap.
Jantung Lian Hua seperti diremas. “K…Kenapa?” bisiknya, suaranya nyaris tenggelam di tengah riuh ledakan. Ia melangkah tertatih mendekat, namun tembakan berikutnya menghantam bahu dan kakinya.
Tubuhnya ambruk, lutut menghantam tanah keras. Tangannya terdesak menahan darah yang mengalir deras. Matanya masih menatap kapten itu, mencari jawaban. Namun yang ia dapat hanya keheningan.
Kapten itu menjatuhkan pistol di hadapannya, lalu mengangkat tangan memberi hormat terakhir. Detik berikutnya, ledakan besar menghantamnya, mengoyak tubuh kapten dalam kobaran api.
“Tidak!!!” teriak Lian Hua, suaranya parau. Rasa panas, debu, dan guncangan memenuhi panca indranya sebelum segalanya larut dalam kegelapan.
…Hening…
Ketika kesadaran perlahan kembali, ia merasakan dingin yang menusuk kulit. Bau apek menusuk hidung. Matanya terbuka perlahan, namun pandangan hanya menampilkan ruangan gelap dengan dinding kusam yang tampak lapuk.
Ia mencoba menggerakkan tangan, namun rasa sakit menyambar seperti ribuan jarum menembus kulit. Napasnya tertahan, tubuhnya kaku. Setiap upaya untuk mengangkat kepala membuat nyeri itu semakin menjadi.
Dengan susah payah, ia melirik ke samping. Matanya membesar. Kulit tangannya terkelupas dalam, memperlihatkan daging merah di bawahnya. Darah kering menempel, dan rasa perih seketika membuat perutnya mual.
Giginya terkatup rapat saat ia memejamkan mata, menahan panas yang terasa di punggungnya. Jantungnya berdebar cepat, seperti hendak merobek dadanya. Ia ingin bertanya pada dunia,
‘Dimana aku berada sekarang?’
Namun suara itu tak pernah keluar. Bibirnya hanya bergerak gemetar, udara yang keluar pun tak mampu membentuk kata.
Lian Hua memaksa mengatur napas, mencoba membuat tubuhnya tidak terlalu bereaksi pada luka-luka itu. Keringat mengalir deras dari keningnya, menelusuri kulit yang juga robek. Ia bertanya pada dirinya sendiri…
‘bagaimana semua ini bisa terjadi? Bukankah seharusnya aku sudah mati setelah…'
Pikiran itu terputus. Ia tak sanggup mengucapkan pengkhianatan itu, bahkan hanya di dalam hati.
Beberapa menit ia berdiam, memejamkan mata, membiarkan kesadarannya melayang di antara sakit dan lelah. Ia mulai menyadari, bukan hanya tangannya yang terluka. Rasa perih menjalar dari kakinya, punggungnya, kepala bagian belakang… hingga ke lehernya.
Pikiran kacau dan rasa penasaran bercampur menjadi satu. Siapa yang tega melakukan ini padanya? Tubuhnya yang kini tergeletak di lantai dingin, dengan luka di hampir seluruh bagian, membuatnya merasa lebih mirip hewan yang disiksa… daripada seorang manusia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments