Akan Ku Balas Rasa Sakit Ini

"BERHENTI..." Teriak Luna, di sampingnya Ervan menatap datar dua orang pria yang sedang adu otot.

"Apa yang sudah kalian lakukan di depan rumahku. Pergi kalian berdua, dasar lelaki bodoh." Makinya.

"Luna, untung kamu datang. Pria ini keluar dari rumahmu dan mengaku-ngaku sebagai suamimu. Aku tahu dia hanya membual saja."

"Tidak, dia memang suamiku tapi akan menjadi mantan. Karena aku akan mengajukan perceraian, ah tidak lebih tepatnya pembatalan pernikahan." Ucap Luna datar. Ya, tadi Luna bertemu dengan Ervan untuk membicarakan hal ini. Awalnya Luna masih ingin mengikat Atlas supaya Melani tahu jika dirinya tetap menjadi pemenang karena telah menikahi Atlas.

Tapi mendengar jika Melani sudah pergi lantaran keadaan Atlas yang telah diusir orang tuanya. Luna jadi berfikir ulang, untuk apa mempertahankan orang yang telah menyakitinya. Jika sejak awal dia mendengar saran papa dan kakaknya, mungkin sehari setelah menikah statusnya sudah menjadi janda. Lebih tepatnya single karena status pernikahannya telah dibatalkan.

"Sekarang semua sudah jelas, Bima adalah mantan calon suamiku. Dan Atlas adalah calon mantan suamiku. Jadi lebih baik kalian berdua pergi dari rumah ini, karena hari ini juga aku akan pindah dari sini. Aku akan ikut pergi bersama calon suamiku yang baru ini." Ucapan Luna sangat menggelikan di telinga Ervan.

Ervan menatap tajam adiknya, sedang yang ditatap bersikap bodo amat. Jika Bima langsung pergi begitu saja, tidak dengan Atlas yang masih menunggu penjelasan dari Luna.

"Luna, katakan apa maksud kamu?"

"Apa kamu terlalu bodoh sehingga sulit mencerna omonganku Atlas. Aku akan mengajukan pembatalan pernikahan kita. Dengan begitu kamu akan bebas."

"Setelah kita benar-benar tidak punya ikatan, maks kamu bebas untuk memprioritaskan Melani. Bahkan jika kamu akan menikahinya. Maaf aku harus mengingkari janjiku, ternyata aku tidak cukup mampu untuk mempertahankan pernikahan ini." Ucap Luna sendu.

"Tadinya aku berfikir untuk menikah sekali seumur hidup. Tapi mendengar alasanmu meninggalkan malam pernikahan kita..."

"Aku pikir meskipun aku sudah menjadi istrimu, tapi aku masih bukan prioritas untukmu. Andai kebusukan Melani tidak terbongkar, mau berapa banyak lagi luka yang akan kamu berikan padaku. Kak Ervan, ayo bantu aku berkemas. Aku akan pindah rumah sekarang juga." Luna merasa misi balas dendam terhadap Bima juga sudah selesai.

Atlas tertegun, hatinya terasa tercabik-cabik. Kata-kata Luna masih terngiang di telinganya. Pembatalan pernikahan, wanita yang sudah dia cintai sejak SMA dan setelah dia dapatkan dengan susah payah sekarang justru harus dia relakan melepaskan ikatan suci yang terjalin. Sungguh rasanya Atlas tidak kuat lagi, dia tertunduk menangis tergugu sendirian.

Di dalam rumah, Luna sedang membereskan seluruh barang-barangnya tanpa banyak bicara. Dia tahu, keputusannya saat ini akan berdampak pada masa depannya. Terkhusus hatinya, yang akan kembali terluka. Tapi Luna tidak akan membiarkan dirinya lemah hanya karena cinta yang sakit.

"Dek, apa kamu yakin dengan keputusanmu? Pikirkan ulang sebelum terlambat."

"Aku sudah memikirkannya, waktu itu aku pikir menikah dengan pilihan Papa akan membuatku bahagia. Setelah sebelumnya aku menderita karena Bima. Dan aku pikir, keseriusan Atlas menikahiku sudah benar-benar nyata. Ternyata aku masih bukan bagian penting dalam hidupnya. Hanya mendengar Melani jatuh terpeleset saja, Atlas rela meninggalkan malam pertama kami."

"Awalnya aku berfikir, jika dengan mempertahankan posisiku sebagai seorang istri mampu membuat Melani tahu diri sehingga tanpa diminta dia mundur. Tapi kenyataannya dia sudah dulu kabur setelah tahu Atlas telah diusir oleh keluarganya. Tujuan penjebakannya jadi sia-sia karena Atlas sudah bukan pewaris keluarga kaya. Jadi sekarang semua sudah selesai."

"Baiklah kalau begitu, Kakak akan dukung semua keputusanmu. Setelah ini, apa rencanamu ke depan?" Tanya Ervan penuh perhatian terhadap adeknya.

"Aku akan pergi ke Swiss, aku akan memulai membuka lembaran baru di sana. Bukankah kita masih punya keluarga di sana? Aku akan tinggal dengan Bibi Anne dan putranya yang lucu."

Saat Luna keluar rumah bersama Ervan, mereka sudah tidak melihat keberadaan Atlas. Dan itu bagus, sehingga tidak ada drama yang memuakkan bagi Luna. Cukup sakit kehidupan yang dialami gadis cantik itu. Setelah di kehidupan pertama mati di tangan Bima. Sekarang hatinya yang mati karena Atlas. Keputusan Luna pergi adalah tepat.

Hari-hari telah terlewati, sidang pembatalan pernikahan antara Luna dan Atlas telah disetuju. Dengan kekuasaan keluarga Abraham semua cepat selesai. Kini status Luna kembali single, dan dia siap mengembangkan sayap di negara orang. Demi menyembuhkan luka dan melupakan masa lalu yang menyakitkan. Tentu saja bukan berarti Luna bisa menghapus cintanya.

"Papa pasti akan merindukan putri kesayangan Papa ini. Hiduplah dengan baik dan bahagia. Tolong maafkan Papa yang telah memaksamu menikah dengan Atlas. Jika suatu saat hatimu sudah sembuh, bukalah untuk seorang pria yang tulus mencintaimu. Papa tidak akan menghalangimu lagi." Ucap Papa Bram sambil memeluk erat tubuh Luna yang menangis.

"Dek, jangan menangis. Jika berat untuk pergi, kamu tak harus pergi hanya karena ingin menghindari. Maafkan Kakak juga, yang tidak pernah peka dengan perasaanmu selama ini. Kakak menyayangimu, adek kecilku."

Tangisan yang saling bersahutan mengiringi kepergian Luna ke Luar Negeri. Entah berapa tahun lagi dia akan kembali ke negaranya ini.

"Papa, Kakak, doakan aku bisa melewati semua ini dengan baik. Berjanjilah kalian berdua juga harus hidup baik tanpa ada aku. Jika rindu, sesekali datanglah ke rumah bibi Anne." Ucap Luna.

Dan hari itu adalah hari terakhir Luna berada di Indonesia. Luna ingin melanjutkan pendidikannya dan mengembangkan bisnisnya di tempat baru.

Sementara itu, setelah meninggalkan rumah kontrakan Luna hari itu. Di sinilah Atlas berada, di sebuah rumah sederhana di pinggir hutan. Ya, Atlas berniat bunuh diri lagi dengan melompat dari atas jembatan yang di bawahnya mengalir deras air sungai yang dalam. Atlas terbawa arus, beruntung ada seseorang yang menolongnya dari sungai.

"Kamu sudah bangun, bagaimana sekarang keadaanmu apa lebih baik?" Tanya seorang wanita muda berperut buncit.

"Terima kasih Laras, tapi seharusnya kamu tidak perlu menolongku. Biarkan saja aku mati." Ucap Atlas.

"Apa patah hati membuatmu hilang akal Atlas? Kamu lihat perutku? Aku istri simpanan yang ditinggal pergi setelah aku tidak dibutuhkan."

"Bukankah nasibku lebih buruk darimu?"

"Tapi istriku pergi meninggalkan aku karena kesalahan yang telah aku lakukan. Aku bodoh, aku tidak peka dengan kecemburuannya selama ini. Tidak seharusnya aku dekat dengan wanita lain, sekalipun hanya persahabatan."

"Kamu tidak salah Atlas, tapi istrimu yang tidak bisa memahami perasaanmu. Sekarang kita berdua senasib."

"Bagaimana jika aku dan kamu berbagi kenikmatan, toh tidak ada yang melarang atau menghalangi. Kita tidak terikat oleh apa pun."

"Maaf, Laras aku harus pergi dari sini. Terima kasih sudah menolongku. Tapi kamu tidak harus meminta imbalan dengan tubuhku bukan? Jangan menjadi murah karena penyesalan selalu datang di akhir cerita."

Laras yang merasa malu pun pergi meninggalkan Atlas seorang diri. Laras gadis yatim piatu yang terjebak dunia malam berakhir hamil di luar nikah padahal umurnya baru 20 tahun. Laras kira dengan menolong Atlas, anaknya akan bisa merasakan punya seorang ayah.

"Aku harus mendapatkanmu Atlas, tidak peduli jika kamu terus menolakku."

Tekad Laras semakin kuat kala melihat tubuh atletis Atlas di balik baju lusuhnya. Laras yang terbiasa berurusan dengan sex tentu saja langsung bergairah ingin mendesah di bawah kungkungan seorang Atlas.

Malam hari yang sunyi, dengan menggunakan pakaian tipis yang terbuka. Laras mengendap-endap masuk ke kamar Atlas yang tengah tertidur.

"Laras mendekati Atlas, lalu mulai membelai pipi Atlas yang tirus."

HAP

Tapi, Atlas reflek terbangun dan mencengkeram erat tangan Laras.

"Sedang apa kamu Laras?" Suara dingin Atlas terdengar sexy di telinga Laras yang sudah horny.

"Ayolah Atlas kita bermain-main sebentar, kamu tak perlu membayarku."

"Dasar gila, matilah..."

Brak

"Ahhh..."