NovelToon NovelToon
Misteri Kematian Sandrawi

Misteri Kematian Sandrawi

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Matabatin / Mata Batin / TKP / Tumbal
Popularitas:969
Nilai: 5
Nama Author: lirien

“SANDRAWI!”

Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.

Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.

Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kontrasepsi

Renaya menggenggam erat pulpen yang baru saja ia temukan di kamar Sandrawi. Kakinya melangkah menuju halaman depan, tempat Adibrata telah menunggunya di atas motor.

“Lah, belum juga ganti baju toh, Mbak?” Adibrata menyipitkan mata, mencibir penampilan kakaknya yang masih mengenakan pakaian kemarin, bahkan belum sempat menyentuh air.

Renaya hanya mendengus kecil, tak menggubris sindiran itu. Ia melompat ke atas motor tanpa basa-basi. “Emangnya kamu rela telat cuma buat nungguin Mbak mandi?”

“Ora sudi!” balas Adibrata cepat, berujung satu kepalan tangan mendarat mulus di punggungnya.

“Gas sekarang!” perintah Renaya ketus. Adibrata pun tak menunggu aba-aba dua kali, motornya meraung meninggalkan halaman rumah yang terasa semakin sumpek di dada Renaya.

Di tengah laju kendaraan yang berderu, Renaya melirik pulpen hitam dalam genggamannya. “Brat, selama Ibu ke luar negeri, Bapak pernah kerja nggak?”

Adibrata menjawab santai, tangannya lincah memainkan gas motor, “Sejak Mbak Kinasih lulus sarjana, Bapak ‘kan udah nggak kerja lagi, Mbak.”

Renaya mengangguk pelan, tak asing dengan kenyataan itu. Dari dulu, Baskoro selalu mengutamakan pendidikan Kinasih. Begitu Kinasih meraih gelar sarjana, Baskoro berhenti bekerja. Keputusan itulah yang memaksa Ratih mengambil langkah berat menjadi pekerja migran, demi menopang kebutuhan kuliah Sandrawi dan sekolah Adibrata.

“Oh, gitu ya,” gumam Renaya. “Mbak kira Bapak kerja di perusahaan kontraktor,” celetuknya, matanya masih lekat pada logo kecil di badan pulpen.

Adibrata terkekeh, sempat menoleh sebentar ke belakang. “Ijazah Bapak aja nggak lulus SMP, gimana bisa kerja kantoran Mbak?”

Renaya tersenyum miris, menyetujui ucapan sang adik. Bagi pria sekelas Baskoro, yang hanya lulusan sekolah dasar tanpa keahlian mumpuni, hampir mustahil menembus perusahaan semacam itu.

Logika Renaya berputar cepat. Satu hal yang pasti, pemilik pulpen ini bukan Baskoro. Tapi, siapa orangnya? Kenapa pulpen ini bisa berada di kamar Sandrawi?

“Udah sampai, Mbak!” seru Adibrata, menghentikan motor di sebuah pelataran luas yang dikelilingi deretan kamar-kamar kos dengan cat kusam.

Renaya turun sambil menatap sekitar. Tempat ini jauh dari bayangannya. Ia sempat mengira Sandrawi tinggal di tempat layaknya apartemen sederhana, namun kenyataannya jauh lebih menyedihkan. Pagar pun tak ada, dindingnya mengelupas, aroma lembap menyengat sejak dari luar.

“Kuncinya mana?” Renaya mengulurkan tangan.

“Gak ada, Mbak,” jawab Adibrata ringan. “Setiap aku ke sini, kamarnya Mbak Sandrawi nggak pernah dikunci. Katanya sih kuncinya udah jebol.”

Renaya mengerutkan kening dalam, hatinya penuh tanda tanya. Tinggal di kamar tanpa kunci? Bagaimana Sandrawi merasa aman? Atau... mungkinkah ada hal lain yang disembunyikan?

“Mbak! Malah bengong. Turun cepat, aku bisa telat ini,” omel Adibrata sambil menepuk betis kakaknya.

Renaya terkesiap dari lamunannya, buru-buru turun. Sebelum sang adik melaju, ia buru-buru menahan lengan jaketnya. “Pulang sekolah jemput Mbak, ya.”

“Siap, Mbak,” balas Adibrata singkat, lalu melesat meninggalkan Renaya dengan berjuta pikiran yang menggantung di benaknya.

Beruntung saat Renaya tiba, suasana kos-kosan itu masih lengang. Hanya seorang perempuan yang terlihat baru keluar kamar, rambutnya dililit handuk putih yang masih meneteskan sisa air mandi.

“Permisi, Mbak…” Renaya mendekatinya dengan langkah terukur. Posisi kamar perempuan itu tepat bersebelahan dengan kamar Sandrawi.

Perempuan itu menoleh, menyunggingkan senyum tipis. “Lagi cari kamar kosong ya, Mbak?” tanyanya ramah.

Renaya menggeleng pelan. “Oh… tidak. Aku ke sini mau lihat kamar Sandrawi.”

Ekspresi perempuan itu berubah seketika, lalu mengulurkan tangan dengan gerakan ringan. “Oh, saya Ayu Lestari. Teman sekamarnya Sandrawi.”

Renaya membalas jabatan tangan hangat itu. “Renaya. Kakaknya.”

Ayu Lestari mengangguk, ada kilatan kebingungan yang samar terpantul di matanya. “Sandrawi ke mana, Mbak? Udah beberapa hari ini nggak kelihatan. Masih sakit ya dia?”

Renaya menarik napas panjang. Dari sorot matanya, Ayu Lestari jelas belum mendengar kabar buruk itu. Pantas saja wajahnya terlihat datar, tak menyiratkan duka apapun.

“Sandrawi… sudah nggak ada,” ucap Renaya lirih.

Dahi Ayu Lestari berkerut. “Maksudnya nggak ada… ke mana, Mbak?”

Renaya mengatupkan bibirnya sesaat sebelum menepuk pundak Ayu Lestari pelan. “Dia sudah meninggal.”

Tubuh Ayu Lestari mendadak goyah. Nyaris jatuh ke tanah kalau Renaya tidak sigap menopangnya, membimbingnya ke kursi kayu lusuh di dekat tangga.

“Sandrawi… meninggal?” suara Ayu Lestari bergetar. Masih sulit baginya menerima kenyataan itu. “Terakhir aku ketemu… dia semangat banget… katanya nggak sabar nunggu ibunya pulang… kok bisa…”

Renaya hanya menunduk, menahan sesak yang kembali menghantam dada. “Sandrawi… bunuh diri.”

Tangis Ayu Lestari pecah seketika, pecahannya menggema di lorong kumuh itu. Namun Renaya tak ingin larut terlalu lama. Ada hal yang harus ia cari. Ada kebenaran yang harus terungkap di kamar adiknya.

Pelan, ia melangkah masuk ke kamar Sandrawi, meninggalkan Ayu Lestari yang masih tergugu dalam tangisannya.

“Sandrawi… Mbak datang,” bisik Renaya begitu kakinya menjejakkan langkah ke dalam kamar. Angin menyelinap lembut lewat celah jendela, menggoyangkan gorden kusam yang tergantung setengah hati.

Sejak kemunculan Sandrawi beberapa malam lalu, rasa takut itu perlahan menguap. Kini, ia bahkan berharap adiknya hadir kembali, membantu mengurai simpul kebingungan yang masih membelenggunya.

“Semoga ada jawaban yang tersisa di kamar ini…” gumamnya.

Renaya membuka jendela lebar-lebar, membiarkan udara pengap berganti. Ia berdiri sejenak, memutar pandangan ke setiap sudut kamar, sebelum akhirnya langkahnya terhenti di depan lemari pakaian. Dengan pelan ia mulai menarik keluar pakaian-pakaian Sandrawi, menatanya di atas ranjang satu per satu.

Tak ada yang mencurigakan. Koleksi bajunya terlihat sangat sederhana, bahkan terbilang sopan. Tidak ada satupun pakaian ‘berani’ seperti yang sering menjadi bahan gosip murahan. Semua pakaian Sandrawi tampak wajar. Sopan. Bersih. Lurus.

Kerutan di kening Renaya semakin dalam. Jika benar apa yang selama ini ia dengar… lantas mengapa isi lemarinya begitu polos? Kalau Sandrawi bukan seperti yang orang-orang tuduhkan, lalu dari mana kabar kehamilan itu berasal?

Tangannya otomatis menekan pelipis. Kepalanya terasa berdenyut, dipenuhi pertanyaan tanpa jawaban.

Ia menarik keluar lipatan pakaian terakhir dari lemari. Tangan-tangan gelisahnya mengobrak-abrik bagian paling dalam.

Kosong.

Tak ada yang aneh. Tak ada petunjuk.

Renaya menghela napas panjang, lalu berbalik hendak meninggalkan lemari. Namun matanya terpaku pada sesuatu, sebuah kotak mungil berwarna merah, tersembunyi di sudut lemari yang sempit.

Renaya mengulurkan tangan, jari-jarinya meraih benda kecil yang tersembunyi di sudut lemari. Namun detik berikutnya, sepasang matanya membelalak tak percaya. Tubuhnya terasa bergetar saat menyadari benda itu adalah… sekotak kondom.

Dadanya sesak. Kakinya seolah kehilangan daya untuk menopang tubuh sendiri.

Dengan gerakan perlahan, ia membuka kotak itu, menemukan beberapa bungkus yang telah kosong, hanya menyisakan sebagian. Nafasnya tercekat. Ini bukan sekadar barang yang mengendap tak terpakai, beberapa jelas telah digunakan.

Renaya memejamkan mata sejenak, menahan gemuruh kecewa yang menyelimuti dada. Ia tak ingin menghujat almarhum adiknya. Ia pun sadar, kehidupannya sendiri jauh dari kata sempurna. Namun tetap saja, ada gurat penyesalan mendalam yang menghujam. Sandrawi… kenapa harus mengambil jalan sesulit ini?

“Apa harus aku percaya… Sandrawi bunuh diri demi menutupi aib yang dipikulnya sendiri?” bisik Renaya, suaranya menggantung pilu.

Tanpa sadar, tubuhnya terhempas ke atas tumpukan pakaian yang berserakan di tempat tidur. Kondom di tangannya terlepas, melayang sembarangan ke sudut ruangan.

Baru saja ia hendak bangkit, ingin meninggalkan kamar itu dengan hati kalut, matanya menangkap pemandangan tak terduga dari balik kaca jendela.

Seseorang datang, seorang pria dengan wajah sangat akrab di ingatan Renaya. Ia turun dari motor, melangkah mantap ke arah kamar Sandrawi.

Refleks, Renaya membatalkan niat untuk keluar. Ia bergegas menyelinap ke kamar mandi, menutup pintu perlahan namun menyisakan celah kecil. Dari sana, ia mengamati.

Kriettt.

Suara pintu kamar terbuka, langkah kaki berat memasuki ruangan. Pria itu menggerutu kecil, matanya langsung menelusuri ruangan sebelum membungkuk memungut sesuatu, kondom yang tadi dilempar Renaya.

“Nah… ini dia…” gumamnya ringan, seolah sedang mengambil barang miliknya sendiri.

Namun sebelum ia sempat berbalik dan melangkah pergi, suara pintu kamar mandi bergeser pelan.

Renaya melangkah keluar, matanya menatap lurus penuh kecurigaan.

Pria itu terlonjak, nyaris terjatuh saking terkejutnya. “Re… Renaya?” suaranya terbata, gugup luar biasa. “Ng… ngapain kamu di sini?”

1
Ruby
semangat ya Thor, aku bakal balik lagi kok. Ceritanya bagus, penuh misteri!!
Anonymous: Aww trimksih banyak yaa
seneng banget ada yang support begini🌷☺️🫶
total 1 replies
Ruby
Wahh curiga sama bapaknya /Drowsy/
Ruby
terus pria yang sebelumnya menatap sandrawati b*ndir siapa?
Ruby
siapa yang naruh bawang di sini?!/Sob/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!