NovelToon NovelToon
CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Romansa
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: GOD NIKA

Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Fondasi Harapan Yang Baru Dan Badai Yang Mengintai

Malam itu, di restoran sederhana yang dipenuhi bisikan-bisikan obrolan dan denting piring, waktu seolah berhenti bagi Lana. Tawaran Leon terasa bagai embusan angin segar yang membawa aroma tanah basah setelah hujan panjang. Bukan hanya sekadar ajakan bekerja, melainkan sebuah undangan untuk membangun, untuk tumbuh, untuk bermimpi bersama. Sebuah janji yang melampaui segala luka dan penderitaan.

Air mata yang berkumpul di pelupuk mata Lana adalah campuran kelegaan, harapan, dan sedikit rasa takut akan hal baru yang begitu besar. Ia menatap Leon, sosok yang dulu ia benci dengan segenap hati, kini di depannya duduk dengan mata memohon, penuh ketulusan yang belum pernah ia bayangkan. Pria itu, yang pernah mengikatnya, kini telah melepaskan segalanya demi dirinya. Melepaskan belenggu kekuasaan keluarga, melepaskan obsesi kontrol yang menyiksa, bahkan melepaskan bayangan kelam Maria yang menghantuinya. Ini adalah Leon yang baru, seorang pria yang sedang berjuang keras untuk menemukan kembali kemanusiaannya.

“Leon…”Lana mengucapkannya perlahan, suaranya sedikit tercekat oleh emosi yang membuncah. Ia menarik napas dalam-dalam, mencari kata yang tepat untuk hati yang begitu penuh dan jiwa yang baru saja menemukan arah. “Kamu... kamu benar-benar serius dengan semua ini?”

Leon mengangguk, genggaman tangannya pada Lana semakin erat, seolah ingin meyakinkan setiap keraguan yang mungkin masih tersisa di dalam hatinya. Jemarinya membelai punggung tangan Lana dengan lembut, sentuhan yang kini terasa menenangkan, bukan mengancam. “aku Sangat serius, Lana. Aku ingin membangun sesuatu yang baru, dari nol. Sesuatu yang bersih, transparan, dan berdasarkan nilai-nilai yang benar. Dan aku... aku tidak bisa membayangkan permulaan itu tanpa kamu di sisiku.”

Ada kejujuran yang begitu gamblang di matanya, kerentanan yang membuat hati Lana berdesir. Ia tahu ini bukan lagi Leon yang dulu, yang memaksa dan mengklaim hak miliknya. Ini adalah Leon yang belajar merendahkan diri, yang belajar meminta dengan hati yang tulus. Luka-luka masa lalu masih terlihat samar di wajahnya, namun kini ada cahaya harapan yang bersinar melalui pandangan matanya.

“Ini pasti akan sangat sulit, Leon,” kata Lana, mencoba menjaga suaranya tetap stabil di tengah gejolak perasaannya. “Membangun perusahaan dari nol, dengan prinsip yang baru, apalagi berhadapan langsung dengan bayangan Ayahmu... Dia tidak akan tinggal diam. Ini akan menjadi pertarungan besar.”

Leon tersenyum tipis, senyum yang menunjukkan tekad baja yang tak tergoyahkan. Ia menatap Lana, matanya penuh keyakinan. “Aku tahu, Lana. Aku tidak bodoh. Tapi aku siap menghadapi semuanya. Aku tidak akan membiarkan bayangan masa lalu mengikatku lagi, atau mengikatmu. Dan dengan adanya kamu di sisiku, dengan pikiran cerdas dan hatimu yang kuat, aku yakin kita bisa melewati badai sebesar apapun.”

Lana menatap tangan mereka yang bertautan di atas meja. Kehangatan menjalari kulitnya, bukan lagi panasnya amarah yang membara, melainkan hangatnya kebersamaan dan janji masa depan. Perjalanan ini memang akan berat, penuh tantangan yang tak terduga, dan mungkin akan menguji batas kemampuan mereka. Namun, ada potensi kebahagiaan yang jauh lebih besar di baliknya, sebuah kebahagiaan yang dibangun atas dasar pengertian, saling percaya, dan sebuah fondasi yang sama sekali baru.

“Aku... aku mau, Leon,” kata Lana akhirnya, sebuah senyuman tulus merekah di bibirnya, senyum yang memancarkan keberanian dan harapan. “Aku mau menjadi bagian dari masa depanmu. Kita akan membangunnya bersama - sama.”

Mata Leon berbinar. Ada kilatan gembira yang tak bisa ia sembunyikan, sebuah kelegaan yang terpancar dari setiap pori-porinya. Ia mengangguk berulang kali, seolah kata-kata Lana adalah hadiah terindah yang pernah ia terima, melebihi kekayaan atau kekuasaannya. “Terima kasih, Lana. Terima kasih. Aku... aku tidak akan mengecewakanmu lagi.”

Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat, diisi dengan semangat baru yang membara. Leon, dengan energi yang meluap-luap dari jiwanya yang kini merasa bebas, segera memulai proses pendirian perusahaannya. Ia memilih nama yang sederhana namun penuh makna; “Revanza Cipta.” Nama itu adalah bagian dari dirinya, identitas barunya, tetapi “Cipta” melambangkan kreasi, sesuatu yang baru, yang dibangun dari tangan nya sendiri, bukan sekadar warisan kelam yang membelenggu dirinya.

Lana ikut terlibat sejak awal, menjadi tangan kanan sekaligus otak kreatif di balik visi baru ini. Ia menggunakan pengetahuannya yang luas tentang manajemen, jaringan relasinya, dan naluri bisnisnya yang tajam untuk membantu Leon menyusun rencana bisnis yang matang, merekrut tim awal yang solid, dan merancang visi perusahaan yang berani. Kali ini, mereka bekerja sebagai partner sejati, bukan atasan dan bawahan yang terikat kontrak. Leon mendengarkan setiap masukan Lana, menghargai setiap ide, dan bahkan terkadang meminta pendapatnya tentang hal-hal personal, menunjukkan betapa ia mulai bergantung pada kebijaksanaan Lana. Mereka sering menghabiskan waktu hingga larut malam di kantor sementara yang sederhana di Sukabumi, berdiskusi, merancang, dan terkadang, hanya saling berbagi tawa atau keheningan yang nyaman, mengisi ruang dengan energi positif yang baru.

Di tengah kesibukan yang menguras tenaga dan pikiran itu, hubungan pribadi mereka juga perlahan mekar, bagai bunga yang membuka kelopaknya di bawah sinar matahari pagi. Kencan-kencan sederhana berlanjut, kini dengan makna yang lebih dalam. Mereka pergi ke taman kota, mengunjungi museum kecil, atau sekadar menikmati kopi di kafe pinggir jalan, saling berbagi cerita dan impian. Leon belajar untuk membuka diri, menceritakan lebih banyak tentang sesi terapinya, tentang bagaimana ia menghadapi bayangan ibunya, dan tentang perjuangannya melepaskan obsesi kontrol yang dulu meracuni hidupnya. Lana mendengarkan dengan sabar, memberikan dukungan, dan sesekali menantang Leon untuk melihat hal-hal dari sudut pandang yang berbeda, mendorongnya untuk terus tumbuh.

Satu malam, setelah seharian penuh rapat dan perencanaan yang melelahkan, mereka makan malam di apartemen Arvino. Arvino, dengan hati lapang dan senyum tulusnya, telah menyiapkan hidangan kesukaan Lana, dan suasana begitu hangat, seperti keluarga yang telah lama bersama.

“Kalian terlihat sibuk sekali akhir-akhir ini,” Arvino berkomentar, senyumnya tipis namun penuh perhatian. Matanya menatap Lana dengan sorot mata yang familiar, campuran cinta dan pengertian tanpa pamrih. “Revanza Cipta, ya? Kedengarannya ambisius.”

Leon mengangguk, ada kebanggaan di suaranya. “Ya. Ini permulaan yang baru, Arvino. Sebuah babak baru.”

Lana melirik Leon, lalu tersenyum pada Arvino, senyum yang penuh syukur atas kehadirannya. “Ini sungguh proyek yang besar. Banyak tantangan, tapi kami bersemangat sekali.”

Arvino menatap Lana, ada sedikit kesedihan yang samar di matanya,mungkin bayangan dari masa depan yang tidak pernah terwujud bersamanya.namun ia menepisnya dengan senyum tulus yang hangat. “Aku senang melihatmu sebahagia ini, Lana. Sungguh. Aku... aku ikut senang untukmu.”

Leon, yang biasanya kaku dan defensif di hadapan Arvino, kali ini menatapnya dengan pandangan hormat dan pengertian. Bukan lagi sebagai rival, melainkan sebagai seorang pria yang mengerti makna persahabatan yang tulus. “Terima kasih, Arvino. Kau sudah menjadi teman yang luar biasa untuk Lana. Aku... aku sangat menghargai itu.”kata Leon tulus.

Arvino hanya mengangguk, suasana di antara ketiga orang itu terasa nyaman, sebuah harmoni yang tak terduga. Lana tahu, ia telah memilih jalan yang benar. Ia tidak kehilangan Arvino, melainkan mendapatkan Leon yang baru, yang lebih jujur, yang lebih manusiawi, dan yang paling penting, yang kini memahami arti sesungguhnya dari kepercayaan dan kebebasan.

Namun, kedamaian itu tidak berlangsung lama. Beberapa minggu kemudian, berita tentang Revanza Cipta dan keterlibatan aktif Lana di dalamnya akhirnya sampai ke telinga Tuan Besar Hartono. Sebuah panggilan telepon dari kantor Leonhart Group yang lama, sebuah gema dari masa lalu yang tak bisa dihindari, membawa ancaman terselubung yang Leon terima.

“Kau pikir bisa lepas dari bayanganku, Leonhart?” suara ayahnya terdengar dingin, tajam, dan penuh kemarahan yang membakar. “Kau telah menantangku. Kau telah menodai nama Hartono dengan perusahaan baru yang tak jelas itu. Dan sekarang kau bahkan membawa gadis itu bersamamu? Kau mengulang kesalahan ibumu, Leonhart! Kau akan hancur seperti dia!”

Leon mengepalkan tangannya di bawah meja, urat-urat di lehernya menonjol, namun suaranya tetap tenang dan terkontrol, hasil dari terapi yang telah ia jalani. “Aku tidak mengulangi kesalahan siapa pun, Ayah. Aku membangun masa depanku sendiri. Dan Lana... Lana adalah partnerku. Bukan korban. Dia adalah kekuatanku.”

“Kau akan menyesal, Leonhart,” Tuan Besar Hartono mengancam, suaranya bagai geraman predator. ”artono Group tidak akan membiarkan pengkhianatan ini. Kau akan kehilangan segalanya, termasuk gadis itu. Aku bersumpah.”

Leon menutup telepon, rahangnya mengeras, wajahnya tegang. Ia menatap Lana, yang sedari tadi mendengarkan dengan cemas, merasakan hawa dingin dari ancaman itu.

“Ayahmu?” tanya Lana, suaranya pelan.

Leon mengangguk, matanya menunjukkan perpaduan amarah dan tekad yang kuat. “Dia tidak suka. Dia akan menyerang. Kali ini, dia akan menggunakan semua kekuatannya. Tapi aku siap, Lana. Kita siap.”

Ancaman itu adalah pengingat yang brutal bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah. Mereka akan menghadapi badai yang lebih besar dari sebelumnya, sebuah konfrontasi total dengan masa lalu Leon yang kelam. Tapi kali ini, Lana tidak lagi sendirian. Ia bersama Leon, pria yang telah berjanji untuk berubah, pria yang kini melangkah maju untuk membebaskan dirinya dan membangun masa depan yang baru, bersama. Kupu-kupu di leher Lana terasa berdenyut, seolah sayapnya telah sempurna terbuka, bersiap untuk terbang lebih tinggi, melewati setiap badai yang menghadang, bersama dengan Leon yang baru.

Bagaimana Leon dan Lana akan menghadapi serangan dari Tuan Besar Hartono? Akankah perusahaan baru mereka, Revanza Cipta, berhasil bertahan dari intrik dan tekanan dari Hartono Group yang jauh lebih besar dan kuat?

1
Risa Koizumi
Bikin terhanyut. 🌟
GOD NIKA: Terima kasih🙏🥰🥰
total 1 replies
Mít ướt
Jatuh hati.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!