Alan Andrew adalah generasi kesepuluh pria dari keluarga Andrew, pewaris tahta kejayaan dalam bisnis otomotif kelas dunia. Ia sempurna di mata banyak wanita; tampan, cerdas, kaya, dan berwibawa. Sosok yang merupakan definisi dari pria idaman. Namun, di balik pesonanya, Alan menyimpan hasrat yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketimuran: ia mencintai tanpa komitmen, menganggap hubungan tak harus diikat dengan pernikahan. Baginya, wanita hanyalah pelengkap sementara dalam hidup, bisa datang dan pergi sesuka hati.
Namun segalanya berubah ketika ia bertemu Maya Puspita, gadis manis dari Jawa Tengah yang datang dari keluarga sederhana namun menjunjung tinggi moral dan etika. Takdir menempatkan Maya bekerja di perusahaan Alan.
Alan sudah menjadikan Maya sebagai ‘koleksi’ berikutnya. Tapi tanpa ia sadari, Maya menjeratnya dalam dilema yang tak pernah ia bayangkan. Sebab kali ini, Alan bukan sekedar bermain rasa. Ia terjebak dalam badai yang diciptakannya sendiri.
Akankah Maya mampu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Mai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HTA13
Siang itu, suasana rumah kecil dan sederhana berukuran 3x6 terasa menegangkan. Maya duduk di ruang tamu dengan wajah tertunduk, gugup. Dua jempolnya tak berhenti bergerak, kebiasaan lamanya saat dilanda cemas. Di depannya, segelas teh dan camilan ringan terhidang untuk Ardi. Ia duduk dengan wajah muram.
“Pak, Maya izin berangkat ke Jakarta lagi. Ini interview terakhir,” ucap Maya pelan, nyaris berbisik.
“Ketemu lagi sama pria sinting itu?” Wajah Ardi langsung memerah. Nada suaranya meninggi, sensitif oleh trauma lama.
“Bukan, Pak. Ini beda perusahaan,” Maya buru-buru menjelaskan, berusaha meyakinkan ayahnya.
“Huh!” Ardi menarik napas berat. Kepercayaan terhadap putrinya kini hanya tersisa dua puluh persen. Wajahnya tampak lesu, pikirannya berkecamuk. Jika ia melarang, ia khawatir Maya justru akan depresi. Tapi jika mengizinkan… luka lama bisa saja terulang.
Apalagi, wacana menikahkan Maya dengan pria lain sudah tak mungkin. Nama putrinya sudah terlanjur buruk di mata masyarakat. Sebagai ayah, Ardi dihadapkan pada dilema yang menyakitkan.
“Boleh, Pak?” Maya kembali memohon, suaranya memecah keheningan. Bola matanya berkaca-kaca. “Maya janji akan menjunjung harkat dan martabat yang sudah tercoreng. Tolong! Beri Maya kesempatan sekali lagi, Pak."
Ardi mengalihkan pandangannya. “Kenapa nggak cari kerja di sini aja? Kenapa harus jauh? Kita nggak punya siapa-siapa di Jakarta. Kalau terjadi apa-apa sama kamu, bagaimana?”
“Maya sudah tahu seluk-beluk Jakarta, Maya cuma butuh doa dan restu, Bapak! Roy harus kuliah, itu tekad Maya.”
Ardi kembali terdiam. Ia menyesap tehnya, dingin, hambar. Dalam hati, ia mengakui: dirinya sudah sakit-sakitan. Tak bisa lagi menopang keluarga seperti dulu.
“Terserah kamu,” nada suara Ardi terdengar memaksakan. “Tapi kalau kamu ulangi kesalahan yang sama, jangan pernah panggil aku Bapak mu lagi. Dan jangan pernah pulang ke rumah ini!” Ardi bangkit dan masuk ke kamar, meninggalkan Maya yang tercekat di tempat.
Meskipun hanya setengah izin, Maya tetap bersikeras. Ia tahu, tak ada waktu untuk ragu. Ekonomi keluarganya harus bangkit. Roy harus kuliah.
Di ujung pintu kamar, Roy berdiri dengan wajah sendu memandangi kakaknya sibuk memasukkan berkas dan beberapa pakaian ke dalam koper kecil. Menyadari kehadiran adiknya, Maya tersenyum.
“Emangnya Mbak udah pasti diterima kerja? tanya Roy polos.
“Belum. Tapi semoga saja, ya. Biar kamu bisa kuliah?” Maya tersenyum, menyentuh pipi adiknya dengan lembut.
“Di sana tinggal di mana? Berapa hari?”
“Paling lama tiga hari. Sementara ini nginap di rumah teman atau cari kos murah," jawab Maya.
“Kalau gagal… pulang?” Roy memastikan.
“Em,” angguk Maya.
Tak lama, Roy menarik koper kakaknya, membawanya ke motor. Ia akan mengantar Maya ke stasiun bus.
Sebelum berangkat, Maya menghampiri Maryam yang tengah duduk di depan mesin jahit. Ibunya itu belum berkata sepatah pun tentang kepergian Maya, namun sorot matanya jelas menahan beban hati.
“Bu…” Maya berlutut di hadapan Maryam. “Maya cuma minta doa dan restu.”
Maryam akhirnya menoleh. Maya langsung memeluk kaki ibunya dan menciuminya penuh haru.
“Maafkan Maya, Bu. Maya janji nggak akan ulangi semua itu lagi.”
Maryam menarik bahu Maya, sambil menahan tangis.
“Sebenarnya Ibuk nggak kasih izin. Tapi karena ibuk melihat niat baikmu. Tolong jangan sampai kau salah gunakan lagi," ucap Maryam meneteskan airmata.
Maya memeluk ibunya erat, menangis dalam pelukan hangat yang penuh kasih dan harapan.
Akhirnya Maya naik dalam boncengan Roy. Motor perlahan melaju.
Ardi memilih berada di kamar, tapi Maryam berdiri di bibir pintu, tubuhnya tak bergerak, hanya tangannya yang melambai pelan. Tatapannya melekat pada punggung Maya yang perlahan menjauh dalam boncengan Roy.
“Ya Allah... lindungilah putriku,” lirihnya dalam hati, nyaris seperti bisikan doa yang tertahan di dada. “Selamatkan ia dari segala hal yang ingin membinasakannya. Yang kutahu… dia tetap putriku yang baik.”
Airmata Maryam menetes perlahan, membasahi pipi tuanya. Ia tak bersuara, tapi isaknya bergema dalam diam yang panjang. Sebab di balik keikhlasannya, ada doa seorang ibu yang menggantungkan seluruh harapan pada langit.
--
Di stasiun bus, lumayan panas bertabur debu, suasana cukup riuh. Maya membeli tiket bus ekonomi. Maya dan Roy duduk bersama menunggu jadwal keberangkatan sambil makan roti bungkusan.
“Mbak… masih cinta sama pria kaya itu?” tanya Roy pelan.
“Sudah tidak lagi,” jawab Maya cepat.
“Tapi kayaknya dia cinta banget sama Mbak.”
“Iya, dia cinta… tapi nggak mau nikah.”
Roy diam. Ia tahu apa artinya itu, meski usianya masih remaja.
Matanya lalu tertuju pada ponsel Maya yang jadul, layar kecil tanpa android
“Mbak serius mau ke Jakarta cuma bawa HP butut itu?” goda Roy iba.
“Uang Mbak nggak cukup, Roy. Kalau beli HP android, udah pas-pasan buat makan dan kosan di Jakarta!"
Roy terdiam sejenak, lalu mengeluarkan kartunya dari HP miliknya. Ia menyodorkannya ke Maya.
“Ya udah, pakai punya Roy aja.”
Maya terkejut. “Itu HP kamu, Roy… Itu hadiah dari Mbak waktu kamu ulang tahun.”
“Mbak kan butuh. Roy nanti beli yang setengah pakai aja”
“Memangnya kamu ada uang?”
Roy hanya tersenyum malu-malu.
“Dari mana?” tanya Maya lembut.
Roy menunduk. “Semalam jaga parkir, dapat uang sedikit…”
Maya langsung memeluk adiknya erat, menangis lagi. “Maafkan Mbak, ya. Mbak sudah bikin kamu malu.”
Roy mengangguk sambil tersenyum. “Enggak apa-apa Mbak yang penting halal," Maya tersenyum bangga buru-buru menyeka airmatanya.
Tak lama, bus tujuan Jakarta tiba. Maya akhirnya menaiki tangga bus dengan langkah mantap. Dari atas, Maya menoleh dan melempar senyum manis ke Roy yang masih berdiri di peron. Tangannya melambai, hatinya berkata: Mbak akan kembali membawa harapan.
--
Mendengar kabar bahwa Maya akan datang ke Jakarta, Alan langsung pulang lebih awal ke apartemennya. Tanpa banyak bicara, ia masuk ke kamar mandi, mencukur rapi brewoknya yang selama ini dibiarkan tumbuh sembarangan. Setelah itu, ia meluncur ke salon pria premium untuk merapikan rambut dan memilih gaya baru agar tampak lebih segar dan muda. Pesona baru Alan yang mematikan para wanita.
Setelah puas merapikan penampilan, Alan melanjutkan langkahnya ke sebuah butik pakaian branded di pusat kota. Ia berdiri lama di depan cermin besar bersama pelayan toko, menimbang-nimbang tiap pilihan dengan serius. Tangannya sibuk memilah beberapa kemeja dan jas premium, memastikan setiap potongan pas, warna sesuai, dan kesan yang ditampilkan sempurna.
Alan berkali-kali gonta-ganti jas dan berputar-putar di depan cermin tanpa lelah terus meminta yang terbaik. Sang pelayan hampir menyerah dan keringat dingin. Padahal AC menyala. Ia sudah mengeluarkan koleksi jas terbaik di toko itu. Bahkan untuk new arrival minggu depan juga sudah diberikan kepada Alan.
Aksinya yang heboh seolah hendak bertemu presiden, padahal hanya untuk berjumpa dengan seorang wanita biasa seperti Maya. Tapi begitulah cinta, membuat hasrat pria dewasa itu kembali seperti remaja puber.
Setelah nyaris satu jam, Alan akhirnya menunjuk satu jas.
“Ini. Ini yang paling pas," tunjuk gembira Alan.
Sang pelayan langsung mengangguk cepat, seperti baru saja lolos dari ujian hidup.
Kali ini kegiatan Alan tanpa didampingi oleh Jacob dan pengawal pribadinya. Ia datang sendiri, menyamar dalam diam, menyembunyikan kegelisahan cinta yang terpendam.
serendah itukah Maya di matamu key...
kalau Maya nanti benar2 pergi dari Alan,bisa jadi gila Alan.
begitu pengorbanan seorang kakak selesai maka selesai juga pernikahannya dengan alan
emang uang segalanya tapi bukan begitu juga