Tumbuh dewasa di bawah asuhan sebuah panti sosial, membuat Vanila berinisiatif untuk pergi keluar kota. Dengan bekal secarik kertas pengumuman lowongan kerja di salah satu usaha, yang bergerak di bidang cuci & gosok (Laundry).
Nahas, biaya di Kota yang cukup tinggi. Membuat Vanila mencari peruntungan di bidang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggika15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13 (Panti)
Vanila keluar dari pintu sebuah bangunan yang sangat besar, memeluk sesuatu di tubuhnya sambil berjalan cepat ke arah dimana Irgi memarkirkan mobil.
Klek…
Perempuan itu membuka pintu mobil, masuk dan menutupnya kembali.
“Sudah?”
Vanila menatap Irgi sebentar, mengangguk lalu menarik sabuk pengaman agar tubuhnya terjaga.
“Uangnya kamu ambil semua?”
“Kan kata pak Irgi ambil semua aja, tadi!”
“Saya cuma bertanya, Van. Kamu ambil uangnya semua atau tidak,” jelas pria itu.
“Iya sesuai saran bapak, kalau tidak di ambil semua terus yang di dalam ini apaan dong?”
Irgi tidak menjawab, dia segera menurunkan rem tangan, memindahkan persneling kemudian memutar setir saat mobil mulai melaju mundur secara perlahan.
“Kalo pulang naik bisa bawa uang sebanyak ini ngeri ya, pak?”
“Hemmm, … kamu bisa jadi incaran rampog!”
Vanila meringis.
“Yaudah deh, bapak boleh antar saya.”
“Memang sudah tugas saya, pak Edgar yang memberi perintah. Meskipun kamu tolak terus, saya akan tetap antar kamu dan memastikan semua baik-baik saja.”
Vanila mengangguk.
Keadaan hening beberapa saat. Tidak ada obrolan, tidak ada musik. Vanila sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang terus muncul di dalam kepalanya, sementara Irgi fokus menatap jalanan di depan.
Tiba-tiba saja suara notifikasi yang sangat kencang terdengar, dan itu cukup membuat Vanila dan Irgi terkejut.
“Ya ampun sampe kenceng banget itu nada dering!” Vanila mengusap-usap dadanya.
Irgi tidak menyahut, dia segera mengambil ponsel miliknya dan menggeser tombol hijau ketika kontak Edgar melakukan panggilan masuk.
“Selamat siang, pak?”
‘Bagaimana?’
“Baru selesai dari bank, sekarang sedang dalam perjalanan menuju Sukabumi.”
‘Tunggu sampai selesai, setelah itu bawa Vanila kembali. Ktp bisa dikirimkan kapan saja kalau sudah selesai nanti.’
“Baik, pak!” Irgi mengangguk.
‘Kamu sudah memberikan nomor saya kepada anak itu?’
“Sudah pak.”
‘Mana? Kok belum ada hubungi saya!’
“Oh maaf pak, saya lupa mengingatkan.”
Tanpa aba-aba, tanpa basa-basi. Tiba-tiba saja Edgar memutuskan sambungan telepon begitu saja.
Vanila yang hanya memperhatikan sadar, jika raut wajah Irgi berubah. Dan tidak lama setelah itu, Irgi menyimpan kembali ponselnya ke dalam konsol mobil.
“Pak Edgar?”
“Hemm, … dia tanyain kamu tuh. Katanya kenapa belum menghubungi dia,” kata Irgi.
“Ah ya ampun, saya lupa!”
Vanila langsung mengambil handphonenya, lantas segera menghubungi satu-satunya kontak yang kini tersimpan. Siapa lagi kalau bukan milik Edgar.
Tuuuut… .
Suara itu terdengar, bahkan sampai berulang kali. Namun, Edgar tak kunjung menerimanya.
Vanila menatap Irgi, pun dengan pria itu hingga keduanya saling bertanya melalui sorot mata.
“Ga diangkat!”
“Hah!?”
“Bentar-bentar!”
Vanila kembali mencoba menghubungi suaminya.
Hiyaaa, suami konon.
“Ih ga diangkat!” Vanila mulai panik.
“HAYOLOH!”
“Ah jangan bikin panik, pak.”
“Wah pak Edgar marah itu. Dia pasti minta lima ratus jutanya balik, … terus sambil nulis ulasan. Kecewa, bintang satu.”
Irgi bergurau, tapi itu sukses membuat Vanila panik.
Vanila memeluk uang yang ada di dalam amplop besar berwarna coklat di atas pangkuannya.
“Jangan dong, ini mau aku kasih ke adik-adik sama ibu separonya.”
“Saya ga ikutan ah kalau pak Edgar marah, angkat tangan saya sambil dadah-dadah ke kamera.”
“Uji nyali emang?”
Irgi terkekeh, sementata Vanila prengat-prengut sambil menatap layar handphone. Dia mengetik sesuatu, sebelum akhirnya ia kirimkan ke kontak Edgar.
Dan setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu sekitar tiga jam, akhirnya mobil yang Igri kendalikan berhenti tepat di depan sebuah pagar pembatas. Dimana terdapat sebuah plang besar bertuliskan ‘PANTI SOSIAL CINTA & KASIH’.
Jelas, Irgi terlihat sedikit kebingungan.
Vanila ini, relawan? Anak pemilik Yayasan, atau bagaimana?
“Tunggu, pak. Saya buka pintu pagarnya dulu, nanti mobilnya masukin aja ga usah tunggu di pinggir jalan.”
Vanila keluar dari mobil.
Perempuan itu terlihat membungkuk, lalu mendorongnya ke arah dalam sampai pintu pagar terbuka lebar. Tampak dari arah dalam muncul sosok wanita yang sudah berumur, awalnya tampak terkejut. Namun, setelah mengetahui Vanila yang datang, beliau langsung tersenyum dan menyambut Vanila dengan senyuman hangat.
“Akhirnya ingat pulang, ibu kira kamu sudah tidak mau kembali ke sini.”
Suara itu menyambut Irgi ketika ia turun dari mobil.
“Ga mungkin,” Vanila menjawab sambil tertawa.
“Siapa, Van?”
Vanila menoleh.
“Pak Irgi silahkan masuk. Ibu, … ini pak Irgi. Pak, ini ibu saya!”
Irgi tersenyum, kemudian mengulurkan tangannya yang segera diterima oleh wanita yang akrab dipanggil ibu oleh Vanila.
“Pak Irgi mau kasih rezeki buat adik-adik,” ujar Vanila sebelum wanita itu banyak bertanya.
“Ya ampun, terima kasih atas perhatiannya. Kalau begitu silahkan masuk!”
Irgi menatap Vanila dengan kening mengkerut, dia bingung dengan pernyataan gadis di dekatnya.
“Bagaimana usaha laundry nya, pak? Semoga keberadaan Vanila sangat membantu.”
Kini mereka berada di ruang tengah yang tidak terlalu luas, duduk diatas kursi yang terlihat sedikit usang.
“Eee…” Vanila tersenyum canggung.
Entahlah, rasanya takut jika wanita itu mengetahui kebusukannya.
“Saya bukan bosnya Vanila, bu. Saya hanya kepercayaan saja.”
“Oh begitu?” Mengangguk sambil tersenyum.
“Vanila sudah pindah kerjaan, ibu. Terakhir Vanila kena jambret, semuanya diambil sampai Vanila ga bisa bayar kost. Jadinya pindah kerja jadi art saja, … selain makan Vanila juga boleh tinggal di rumah.”
“Rumahnya bapak ini?”
Vanila dan Irgi kompak menggelengkan kepala.
“Pak Edgar. Bos saya, dan bos Vanila juga!” Irgi menjelaskan.
Vanila mengangguk lagi.
“Vanila pulang bawa titipan saja, sekalian mau bikin ktp baru. Jadi kesini ga bisa lama-lama, mau urus-urus setelah itu langsung ke Jakarta lagi.”
Ibu terlihat sedikit kecewa.
“Pak mau kopi atau teh?” Vanila mengalihkan perhatian.
“Kopi boleh deh.”
Vanila tidak mau melihat wajah itu, rasanya selalu sesak. Tapi bagaimana lagi? Vanila harus tetap pergi bukan?
“Eh biar ibu saja, … kamu capek baru sampe.”
“Nggak, nggak. Vanila aja!” Vanila langsung berdiri, berjalan cepat ke arah ruangan lain yang ada di rumah itu.
Pandangan Irgi mengedar, melihat setiap sudut bangunan tua yang masih sangat terawat.
“Terima kasih sekali lagi, pak. Sudah berkenan datang dan memberi santunan,” katanya.
“Oh, iya bu. Uangnya masih di mobil—”
“Duduk dulu saja, tunggu Vanila buatkan kopi.”
Irgi mengangguk canggung.
‘Lagian kalo di ambilin yang mau di kasih ga berapa juta?’ Hati Irgi berbicara.
“Vanila sudah seperti anak saya sendiri, juga kakak sulung anak-anak disini.”
“Lho, memangnya bukan ya? Vanila belum banyak bercerita soal diri dia. Saya tidak tahu!”
“Bukan, bukan!” Sanggah ibu, dia terkekeh sambil menggerakan tangan ke kiri dan kanan.
“Vanila diantar ayahnya kesini saat usia dia baru menginjak tujuh tahun. Kejadian itu sangat menyedihkan, … dia meronta meminta agar tidak ditinggal. Tapi keadaan memang sulit, ibunya sudah tidak ada. Mereka merantau disini, jadi tidak ada sanak saudara untuk di mintai tolong. Sementara kebutuhan hidup terus mendesak, ayahnya pergi bekerja keluar kota. Beliau sempat berjanji akan kembali menjemput Vanila, tapi entah ada dimana ayah Vanila sekarang.”
Irgi langsung terdiam mendengar kata-kata itu.
“Saya kira Vanila anak ibu lho!”
“Memang anak saya, pak. Tadi bukan secara biologis.”
“Ya ampun saya sampai tidak bisa berkata-kata.”
“Keadaan Vanila lebih menyedihkan. Adik-adiknya datang ke sini masih bayi, mereka belum mengerti apa-apa. Tapi Vanila, dia selalu mengharapkan ayahnya, bahkan pergi ke Jakarta bukan hanya soal kerjaan, dia punya misi mencari ayahnya. Padahal Indonesia ini ‘kan luas ya?”
Irgi mengangguk, dia tidak bisa lagi berkata-kata.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jangan lupa like komen. alapyu sekebon😘