Seorang pria misterius menggunakan 2 sumber kehidupan untuk membentuk klon Dao yang sempurna. tapi tidak seperti klon pada umumnya, klon yang dia buat dari dua sumber kehidupan berubah menjadi bola cahaya bewarna biru yang isinya sebuah jiwa janin. apa yang akan dia lakukan dengan itu?
jika penasaran langsung saja baca novelnya!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permintaan Maaf Sang Istri!!
Langit mulai meredup, menyelimuti langit Kekaisaran Bizhou dengan cahaya jingga yang lembut. Di dalam kamar sederhana milik Chen Yu, keheningan menjadi teman satu-satunya.
Setelah menerima hadiah besar sebagai juara utama pertempuran antar sekte, Chen Yu menolak ajakan Xining dan Puyou untuk berpesta. Wajahnya tetap tenang dan dingin seperti biasanya.
“Aku ingin istirahat. kalian bersenang-senanglah,” ucap Chen Yu singkat.
Puyou dan Xining pun mengangguk memahami. Di balik ekspresi polos Puyou, dia tahu Chen Yu masih menyimpan luka batin yang belum pulih. Dan Xining hanya bisa menatap punggung Chen Yu yang perlahan masuk ke kamarnya.
Kamar itu sunyi. Hanya aroma teh hangat yang tersisa sejak tadi siang.
Chen Yu duduk di sisi ranjang. Matanya menatap kosong ke luar jendela yang terbuka. Cahaya bulan malam ini seolah tak bisa menembus ketebalan pikirannya.
Namun, tiba-tiba.
Seseorang memeluknya dari belakang.
Pelukan itu hangat... namun tubuh yang memeluknya bergetar. Lalu suara tangis yang tertahan terdengar... lembut, menyayat.
“Chen Yu apa kau membenciku?”
Chen Yu membeku sejenak. Ia mengenal suara ini. Itu adalah suara istrinya. MuWan.
Wangi lembut khas dirinya menyeruak dalam pelukan itu. Tubuhnya gemetar, air matanya jatuh membasahi punggung Chen Yu. Tangannya menggenggam erat, seolah takut lelaki di depannya akan pergi sekali lagi.
Chen Yu tidak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam dan perlahan berkata:
“Aku tidak pernah membenci istriku.”
Suara itu dingin, tapi bukan karena kemarahan. Melainkan karena perasaan yang tidak bisa di ungkapkan.
Chen Yu lalu membalikkan badan. Matanya menatap langsung ke wajah MuWan yang sembab dan merah karena tangis. Dia mengangkat tangannya, menyentuh lembut pipi MuWan yang basah.
“Jangan menangis,” ucapnya pelan.
“Istriku jadi tidak terlihat cantik.”
Kalimat itu sederhana tapi membuat hati MuWan semakin bergetar.
“Aku... aku bodoh… aku hanya cemburu dan tidak berpikir panjang dan jadi menyakitimu.”
Chen Yu hanya memandangnya tanpa mengubah ekspresi. Lalu dengan lembut, dia mendekatkan wajahnya dan mencium pipi MuWan.
Kecupan ringan. Singkat. Tapi hangat.
“Kau tidak perlu meminta maaf” ucap Chen Yu “Karena pada akhirnya. aku tetap akan memilih memaafkanmu.”
MuWan menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis yang ingin pecah kembali. Tapi air matanya tetap jatuh tanpa bisa dicegah.
“Terima kasih Chen Yu.”
Keduanya terdiam dalam pelukan. Tidak ada kata tambahan, hanya detak jantung mereka yang perlahan kembali selaras. Untuk sesaat, luka-luka di hati mereka terasa sedikit lebih ringan.
Malam perlahan menyelimuti bumi. Angin lembut berhembus di luar jendela kamar, membawa aroma dedaunan yang segar. Di dalam kamar, MuWan masih dalam pelukan Chen Yu. Kepalanya bersandar di dada lelaki itu, mendengar degup jantung yang stabil. yang membuat hatinya merasa tenang.
Pelukannya erat, seakan takut jika melepaskannya. Chen Yu akan menghilang.
“Chen Yu.” gumamnya lirih.
“Kau tidak akan meninggalkanku, kan?”
Chen Yu yang sedang duduk bersandar menatap langit-langit, menunduk perlahan dan menatap wajah MuWan dengan lembut. Tangannya mengelus rambut hitam panjang wanita itu dengan gerakan perlahan.
“Apa kau tidak kembali ke Sekte Langit Merah?” tanya Chen Yu, suaranya datar namun lembut.
MuWan menggigit bibirnya pelan dan menggeleng.
“Aku tidak ingin kembali. Aku ingin bersamamu.”
Untuk beberapa saat, Chen Yu tak menjawab. Tapi tangannya tak berhenti mengusap lembut rambut MuWan. Akhirnya, dia mengangguk.
“Baiklah jika itu yang kau mau.”
MuWan mengangkat kepalanya perlahan, mata mereka bertemu. Dalam tatapan itu tidak ada lagi dinding, tidak ada lagi keraguan. Hanya dua hati yang pernah terluka. kini mencoba menyatu kembali.
“Chen Yu.” ucap MuWan pelan,
“Seperti yang aku janjikan waktu itu. malam ini adalah waktunya.”
Chen Yu tertegun sejenak.
Tatapannya masih teduh, tapi sorot matanya berubah. Tak ada kata lain yang keluar. Ia hanya membungkuk, lalu mengangkat MuWan ke dalam pelukannya, melangkah pelan menuju tempat tidur.
Setelah itu MuWan berkata pada Chen Yu untuk menutup pintu dan jendela. Setelah itu Chen Yu kembali ke tempat tidur.
MuWan dengan perlahan melepas pakaian yang dikenakan nya dan Chen Yu. Pada awalnya MuWan dengan sabar mengajari cara melakukan kultivasi ganda.
Chen Yu mengikuti arahan MuWan dengan serius. Sampai akhirnya Chen Yu mengambil kendali.
Saat itu Chen Yu ingin berhenti. Karena melihat darah ditempat yang dia masuki. Tetapi MuWan berkata itu hal biasa untuk seorang gadis perawan.
Lalu pada malam itu terdengar suara teriakan kecil yang saling bersautan. Chen Yu yang pada awalnya tidak tau tentang hal seperti kultivasi ganda. Sekarang bergerak seperti seorang ahli.
Chen Yu bergerak sangat cepat di atas MuWan, gerakkan maju mundur disertai bunyi ceplak cepluk yang nyaring. Terlihat MuWan melingkarkan kakinya di pinggang Chen Yu. Seakan-akan dia tidak ingin Chen Yu berhenti.
Kejadian itu berlangsung tanpa henti. Terkadang MuWan di atas Chen Yu. Lalu berubah seperti posisi kuda. Terkadang juga Chen Yu menggendong MuWan di depan nya. Mereka berhenti setelah menyadari pagi akan tiba.
Pagi hari di kamar Chen Yu.
Cahaya mentari pagi menembus celah jendela, jatuh ke atas selimut berwarna hangat. MuWan terbangun perlahan, matanya setengah terbuka. Rambutnya sedikit berantakan, pipinya masih memerah.
MuWan menolehChen Yu masih tertidur di sampingnya. Wajah lelaki itu terlihat tenang dan damai dalam tidur nya.
MuWan tersenyum kecil. Ia menyentuh pipi Chen Yu dengan jemari halusnya, lalu perlahan menunduk dan mengecup pipi suaminya.
“Suamiku ini sangat bersemangat tadi malam” bisiknya malu-malu.
Namun tiba-tiba, mata Chen Yu membuka perlahan. Ia menatap MuWan tanpa berkata-kata. MuWan tersentak kecil, lalu langsung menarik selimut menutupi seluruh tubuh dan separuh wajahnya, wajah MuWan memerah seperti kepiting rebus.
Chen Yu hanya menghela napas pelan.
“Jangan sembunyi. Aku sudah melihat semuanya,” katanya datar.
MuWan makin salah tingkah dan menggumam pelan, “Kau menyebalkan.”
Tapi meski wajahnya memerah. matanya berbinar. Karena akhirnya, dia tahu—Chen Yu tidak pergi. Ia tetap di sini. Bersamanya.
Lalu Chen Yu yang hendak bangkit dari tempat tidur, tubuhnya terasa sedikit kaku, setelah semalaman ber kultivasi ganda bersama MuWan.
Namun sebelum ia benar-benar berdiri, sebuah tangan halus menarik lengannya kembali.
"Jangan pergi." ucap MuWan, lirih namun penuh ketulusan.
Chen Yu menoleh, menatap wanita itu. Matanya masih setengah mengantuk, namun sorotnya dipenuhi dengan rasa nyaman.
"Kalau aku tetap di sini, bisa-bisa kita mengulang apa yang terjadi tadi malam." katanya datar tapi terdengar seperti menggoda.
Wajah MuWan langsung memerah, namun ia tidak menolak. Dengan manja ia membenamkan wajahnya di dada Chen Yu.
"Kalau itu keinginan suamiku. aku tidak keberatan," bisiknya malu-malu.
Chen Yu tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap wajah wanita di pelukannya. wanita yang telah membuat hatinya berkecamuk, lalu hening, lalu tenang kembali.
Dalam keheningan kamar, keduanya hanya saling menatap saling memahami. Lalu melepaskan seluruh pakaian mereka perlahan lahan.
Pagi ini suara jeritan kecil yang bersautan terdengar kembali. Terlihat kaki putih bersih seputih Giok melingkarkan di pinggang Chen Yu. Dan tangan nya memeluk dengan erat.
Suara ceplak cepluk terdengar sangat keras sampai akhirnya jeritan panjang dari dua suara terdengar. Lalu terlihat wajah MuWan yang sangat merah muda. Mulut terbuka dengan nafas terengah-engah.
Mereka terdiam beberapa waktu. Menikmati momen indah di puncak kenyamanan.
Udara di luar sudah mulai menghangat. MuWan dan Chen Yu akhirnya bangkit dari tempat tidur. Keduanya berjalan menuju pemandian di dalam kamar khusus tamu sekte, membawa pakaian bersih masing-masing.
Chen Yu melihat ke arah tempat tidur dan mengerutkan kening. "Sepertinya kita terlalu banyak berkeringat semalam." ucapnya pelan.
MuWan menoleh dan tersipu.
"Itu semua karena kau yang tidak berhenti bergerak." katanya sambil mendorong Chen Yu pelan.
Chen Yu tertawa kecil, langka sekali ia tertawa seperti itu belakangan ini. Ada nuansa ceria yang perlahan-lahan kembali muncul di wajahnya.
"Baiklah. Kali ini kita mandi sungguhan, bukan latihan teknik apapun," katanya tenang.
MuWan menggandeng tangannya tanpa menjawab. Mereka pun masuk bersama ke ruang pemandian, hanya ditemani suara air yang mengalir dan perasaan hangat yang mengendap di antara mereka.
Uap tipis memenuhi ruangan mandi, menyelimuti udara dengan hangat yang mendamaikan. Di dalam kolam batu hangat, Chen Yu dan MuWan duduk berdua. Air yang jernih memantulkan cahaya lilin di dinding, menciptakan suasana tenang dan intim.
MuWan bersandar di bahu Chen Yu, tubuhnya tenggelam hingga bahu di dalam air. Wajahnya memerah, bukan hanya karena suhu air, melainkan karena perasaan yang membuncah di dadanya.
“Suamiku,” bisiknya lirih, “terima kasih sudah mengizinkanku tetap berada di sisimu.”
Chen Yu menoleh perlahan. Mata tenangnya menatap lurus ke dalam mata MuWan.
“Aku tidak pernah benar-benar marah padamu,” jawabnya datar tapi jujur. “Aku hanya takut. perasaanku tak memiliki tempat di hatimu.”
MuWan menggenggam tangan Chen Yu di dalam air.
“Kau selalu punya tempat di hatiku. Aku hanya terlalu bodoh waktu itu.”
Mereka duduk dalam keheningan, suara gemericik air seolah menghapus semua luka yang pernah muncul di antara mereka. Chen Yu mengangkat tangan dan membelai rambut basah MuWan yang menempel di pipinya. Lalu perlahan, ia mengecup keningnya dengan lembut.
Terkadang tangan Chen Yu memegang buah nya MuWan. Terkadang juga membelai lembut kolam spritual nya MuWan. Melihat tindakan yang dilakukan Chen Yu, MuWan mencubit pinggang Chen Yu dengan lembut.
Dalam balutan uap dan kehangatan air, mereka tidak berbicara banyak. Tapi keheningan itu lebih nyaring dari kata-kata. Hati mereka kembali menyatu.
Setelah beberapa saat, mereka pun keluar dari kolam. Chen Yu mengenakan jubah putih sederhana, sementara MuWan dengan rambut masih lembap mengenakan pakaian merah khas wanita muda sekte.
Saat pintu kamar mandi terbuka.
“Chen Yu—!”
Suara familiar menggema dari arah lorong.
Xining berdiri di sana, mematung. Tatapan matanya bergeser dari Chen Yu ke MuWan yang berdiri di belakangnya, lalu kembali ke wajah Chen Yu.
Chen Yu mengangkat alis. Wajahnya tetap tenang.
“Xining,” sapa Chen Yu ringan, “kau datang pagi sekali.”
Xining tersenyum kaku. Meski dia berusaha tampak biasa saja, matanya tak bisa menyembunyikan rasa rumit yang melintas. Tapi dia cepat menguasai dirinya, seperti biasa.
“Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja setelah pertarungan kemarin,” katanya sambil menunduk sedikit. “Aku akan kembali nanti.”
Chen Yu mengangguk. Tapi sebelum Xining berbalik pergi, MuWan melangkah maju.
“Xining.” ucapnya pelan, namun tulus.
Xining menoleh. Pandangan mereka bertemu. Ada ketegangan yang tidak mudah diurai, namun juga tidak dipenuhi kebencian.
MuWan menatapnya dengan mata jujur.
“Terima kasih. sudah merawat suamiku.”
Xining menghela napas pelan.
“Tak perlu berterima kasih. selama dia bahagia, itu sudah cukup.”
Setelah berkata demikian, Xining berbalik dan pergi, meninggalkan sepasang suami-istri yang masih berdiri dalam diam. Chen Yu melihat punggung Xining yang perlahan menjauh.
MuWan menatap Chen Yu.
“Aku tahu. selama aku tak ada, dia selalu di sisimu.”
Chen Yu hanya menatap langit biru di kejauhan.
“Orang-orang baik selalu datang. saat yang lain memilih untuk pergi.”
MuWan menggenggam tangan Chen Yu dengan erat.
“Dan aku tidak akan pergi lagi.”
Setelah mandi bersama, Chen Yu dan MuWan kembali ke kamar mereka. Udara pagi masih terasa sejuk, dan cahaya matahari lembut menembus kisi-kisi jendela kayu, menerangi ruang kamar yang kini dipenuhi aroma harum sabun bunga dan rempah spiritual.
Chen Yu duduk santai di pinggir tempat tidur, mengenakan jubah putih bersih. Sementara itu, MuWan masih sibuk mengeringkan rambutnya, duduk di dekat meja rias dengan pakaian lembut berwarna merah muda.
Melihat tempat tidur mereka yang basah oleh keringat semalam, MuWan mendecak gemas.
“Chen Yu, lihat ini. semua basah gara-gara kamu!” katanya dengan nada menggoda, pipinya bersemu merah.
Chen Yu menoleh, lalu tertawa kecil.
“Aku? Bukankah kau yang bilang ‘semuanya tergantung suamiku’ tadi malam?” ujarnya sambil menyeringai jahil.
MuWan melempar bantal ke arahnya.
“Hush! Jangan sebut-sebut itu.”
Keduanya tertawa ringan, menciptakan suasana hangat yang sudah lama tidak mereka rasakan bersama.
Chen Yu menarik MuWan ke dalam pelukannya, mengusap rambut basahnya dengan lembut.
“Aku bahagia bisa bersamamu seperti ini,” bisik Chen Yu.
MuWan tersenyum dan menyandarkan kepalanya di dada suaminya. Namun momen itu tiba-tiba terganggu oleh ketukan di pintu.
Tok... Tok...
“Chen Yu, bolehkah aku masuk?”
Suara itu lembut, tenang namun berwibawa.Chen Yu mengenalnya.
“Silakan masuk,” jawabnya.
Pintu terbuka, dan masuklah seorang wanita cantik berusia sekitar tiga puluhan, mengenakan jubah anggun berwarna biru langit dengan simbol Sekte Tianming di dada kirinya. Ia adalah Guru Qing Shanyue, salah satu tokoh terkemuka dari sekte tersebut, terkenal akan ketenangannya dan penglihatan tajamnya terhadap bakat.
Tatapan wanita itu jatuh pada Chen Yu dan MuWan yang masih berdiri berdekatan, dan ia tersenyum lembut.
“Maaf mengganggu pagi kalian. Aku datang untuk menanyakan sesuatu yang penting.”
Chen Yu memberi hormat.
“Tentu, Guru Qing. Silakan.”
Wanita itu duduk tenang dan langsung menyampaikan tujuannya. “Chen Yu, seperti yang telah diumumkan, kau adalah juara pertama dalam pertempuran antar sekte. Maka, Surat Rekomendasi ke Kekaisaran Zhou Agung kini menjadi milikmu. Sekte Tianming akan mengantarmu ke sana. Aku ingin tahu, kapan kau berniat berangkat?”
Suasana di ruangan mendadak berubah hening.
MuWan menunduk perlahan. Jemarinya mencengkeram lengan baju Chen Yu tanpa sadar.
Chen Yu menyadari perubahan di wajah istrinya, namun tetap menjawab dengan sopan.
“Aku belum menentukan tanggal pastinya, tapi aku tahu aku harus pergi. Jalan itu adalah bagian dari takdir yang harus kujalani.”
Guru Qing mengangguk.
“Baik. Jika sudah siap, datanglah ke paviliun Tianming. Kami akan menunggumu.”
Setelah itu, guru itu bangkit dan meninggalkan kamar, menutup pintu perlahan. Keheningan kembali menyelimuti ruangan. MuWan duduk di sisi tempat tidur, menunduk diam.
“Kau benar-benar akan pergi.?” tanyanya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan.
Chen Yu mendekat, duduk di sampingnya. Ia menggenggam tangan MuWan dengan lembut.
“MuWan. aku ingin kuat. agar bisa melindungimu, melindungi semua orang yang penting bagiku. Perjalanan ke Kekaisaran Zhou Agung adalah bagian dari jalanku sebagai kultivator.”
MuWan menggigit bibirnya.
“Tapi aku takut kehilanganmu.”
Chen Yu mengusap pipinya, lalu mengecup dahinya dengan lembut. “Kau tak akan pernah kehilangan aku. Aku akan kembali. Dan saat itu tiba aku akan berdiri di sisimu, lebih kuat dari siapa pun di dunia ini.”
MuWan memeluk Chen Yu erat. Dalam keheningan itu, tak ada yang perlu diucapkan lagi. Hanya suara detak jantung mereka yang saling beradu, seolah bersumpah untuk tetap bersama meskipun terpisahkan jarak dan waktu.
dusah GHOBLOK lembek lagi,
mendingan gak usah di lanjutkan lagi ini alur ceritanya