Pertemuan antara Yohanes dan Silla, seorang gadis muslimah yang taat membawa keduanya pada pertemanan berbeda keyakinan.
Namun, dibalik pertemanan itu, Yohanes yakin Tuhan telah membuat satu tujuan indah. Perkenalannya dengan Sila, membawa sebuah pandangan baru terhadap hidupnya.
Bisakah pertemanan itu bertahan tanpa ada perasaan lain yang mengikuti? Akankah perbedaan keyakinan itu membuat mereka terpesona dengan keindahan perbedaan yang ada?
Tulisan bersifat hiburan universal ya, MOHON BIJAK saat membacanya✌️. Jika ada kesamaan nama tokoh, peristiwa, dan beberapa annu merupakan ketidaksengajaan yang dianggap sengaja🥴✌️.
Semoga Semua Berbahagia.
---YoshuaSatio---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
keselnya udah nggak biasa
Rasa enggan tak kunjung bisa Silla singkirkan. Ia terus saja merutuki rasa kesalnya sendiri. Tapi demi pekerjaan, demi nasib usaha sang paman, Silla harus berusaha profesional.
“Jadi disinilah staf kami mengerjakan design, membuat pola dan melakukan perhitungan lainnya,” terang Silla lalu membalikkan badan menatap Tara.
Yohan. Meneguk berat salivanya, saat matanya jelas menangkap wajah tak asing di depannya. ‘perempuan aneh itu lagi!’ batinnya.
Dari sudut matanya, Silla menangkap wajah Yohan yang terlihat terkejut. ‘Nah kan … dia baru sadar … manusia kok nggak ada peka-pekanya sama sekali!’ gerutunya menghakimi.
Silla kembali fokus pada pekerjaannya, meski itu sangat sulit, dipaksanya bibir mungil itu untuk membuat kilasan senyum ke arah Tara, lalu mempersilakan Tara untuk melanjutkan langkah ke ruangan besar selanjutnya.
“Di sinilah poros kehidupan tempat ini, seluruh proses manual dengan tangan manusia dibantu beberapa mesin produksi, dimulai dari proses pemotongan bahan sesuai pola, lalu dilanjutkan pembagian pekerjaan ke bagian penjahit di depannya.”
Tara mengangguk sebagai respon mengerti, sedangkan Yohan tetap pada cara yang biasanya, mengangguk kecil, dan mengamati para pekerja.
Yohan pun kembali fokus pada pekerjaan. Ia memperhatikan situasi ruang produksi dengan karyawan yang lumayan banyak, tengah sibuk dengan tugas masing-masing.
Namun ekpresi datar yang terkesan tak peduli dengan kehadiran Silla, bahkan tanpa berniat menyapanya, hal itulah yang membuat Silla semakin jengkel. ‘Tuh manusia benar-benar dah, cuek banget!’
“Saya kira cukup, mari kita kembali istirahat ke depan!"ajak Silla sedikit menjeda ucapannya. "Jadi intinya ... di sini, kami semua bekerja keras mengontrol kualitas produk, bahkan kualitas emosinya juga, bekerja nggak cuma ngandelin kecerdasan otak, tapi hati juga ditempatkan di tempat yang tepat. Biar nggak sembarang cetak perasaan dongkol!” kelakar Silla sedikit melirik ke arah Yohan. “Eh, maksudnya cetak sablonnya ….” imbuhnya saat menyadari bingungnya ekspresi Tara.
Sontak membuat Tara merasa lucu dan terbahak. “Hahahah … mbak bisa lucu juga. Tapi … apa kalian saling kenal sebelumnya, saya perhatikan ….” ucap Tara tergantung tak selesai, ia merasa sedikit canggung.
“Enggak!” jawab spontan Silla.
Yohan tersenyum kecil, awalnya ia memilih tak menjawab, namun mendengar jawaban spontan Silla, membuatnya buka suara.
“Kita profesional saja, ini urusan pekerjaan, kita kesampingkan dulu hal-hal yang tidak perlu.”
Mendengar jawaban datar Yohan, Silla semakin murka. “Ouh, jelas saya juga profesional, gak sangkut pautin urusan pribadi, cuman kadang saya lebih suka nambahin prosa aja, Om!”
“Om?!” reaksi spontan Tara terlihat sangat kaget.
“Ah, maksudnya kan Pak Yohan ini punya dua keponakan, mereka manggilnya Om, saya jadi terngiang-ngiang.” Tanpa sadar Silla menjawab asal.
‘Aduh, kenapa itu kata terngiang-ngiang ikut kecetak di mulut sih! Aduh mulut ini kenapa punya otak sendiri, mana lebih kreatif lagi, aduh malu gue! Dasar mulut durhaka!' perang batin Silla menyesali ucapannya sendiri, seraya menggigit bibir bawahnya dan tertunduk menahan malu.
“Lingkungan kerja lumayan, tolong pastikan kebersihannya, meskipun nanti akan dicuci sebelum dipakai, tapi tadi saya lihat ada beberapa penjahit yang abai dan menginjak bahan. Standar kesadaran menjaga kebersihan bahan hingga akhir produksi akan saya jadikan tolak ukur pemesanan selanjutnya.”
Sangat tegas dan terkesan tak memiliki ampun. Selain agar percakapan kembali pada hal semestinya, Yohan ingin menegaskan beberapa poin yang mungkin sering diabaikan produsen-produsen atau pekerja, tapi hal itu justru menjadi perhatian para buyer.
Tak terima dengan kesan yang menurutnya kasar, Silla pun menyahut, “Kami juga tahu itu, Pak! Kami sudah melakukan pembersihan total, lantai kami sapu, kami pel, bahkan kabel-kabel kami lap sampai kinclong! Pagi dan sore!”
Yohan tak begitu terpengaruh dengan perubahan intonasi ucapan Silla yang terdengar sedikit menajam. Ia mendengus berusaha menahan diri agar tak terpancing. ‘Ah! Sialan! Dia kambuh lagi!’ batinnya.
“Hal kedua yang akan membuat buyer kembali dengan pesanan yang lebih besar adalah keramahan stafnya! Bagaimana buyer akan merasa nyaman melakukan kunjungan jika staf penanggungjawabnya tidak bisa menjaga ke-profesional-an kerja.” Sebisa mungkin Yohan tak memberi tekanan pada setiap ucapannya.
“Kamu menyindir saya?” sahut Silla dengan wajah yang semakin memerah.
“Kalian ….” Tak selesai ucapan Tara yang bingung dengan situasinya.
Beruntung pak Abdi tiba di waktu yang tepat. Di saat kecanggungan dan benih kekesalan hampir saja tumbuh subur.“Sudah selesai ya? Sudah kamu tunjukin semua tempatnya,Sill?”
“Ah, bagus anda sudah kembali, semua hal sudah disampaikan baik oleh staf anda, keluhan mengenai beberapa hal juga sudah saya sampaikan pada staf anda yang sangaaat ramah ini, silahkan segera diproses, semoga lancar tanpa saya harus kembali melihat lagi kesini!” terang Yohan dengan kalimat sedikit panjang dan penambahan penekanan pada kata ‘sangat’.
Selesai dengan sidak lokasi hari ini, Yohan berpamitan untuk kembali ke kantor, meninggalkan Silla yang belum selesai dengan gundahnya.
“Bagaimana tadi, keluhan apa yang di itu … sama Pak Yohan?” tanya pak Abdi dengan penasaran penuhnya.
“Nggak ada, Om … tuh orang aja yang sok bersih! Tempat kita udah sesuai standart, sehari sapu dan pel dua kali … kabel ditempatkan dengan jalur yang rapi … dan kalau misal kain keinjek dikit kan harusnya nggak masalah dong, dia aja yang sengaja nyari-nyari kekurangan kita!” sewot Silla dengan batin masih merutuki Yohan.
“Hahaha … kenapa kamu malah marah-marah, ya biasa lah, mereka merasa punya duit, mereka nggak mau produknya kotor, ya bagus itu malahan ….” pak Abdi tak bisa menahan tertawa dengan polosnya sikap Silla.
“Bagus apanya Om? Dia seenaknya sendiri kritik-kritik kita, tapi dianya sendiri kayak orang nggak punya hati, ngomong seenaknya sendiri, jangan dikasih diskon kalau kata aku mah!”
Pak Abdi menepuk pundak Silla yang terlihat sangat kesal dengan kedua lengan yang bersedekap di dada.
“Silla, kita harusnya seneng dong, dia mau jujur mengingatkan hal kecil seperti itu, coba kalau buyer lain, pasti langsung stop pesan dan cari tempat lain. Ayolah jangan terlalu kesal seperti itu."
“Ah, Om nggak tahu cara dia ngomong sih … ekspresi muka nya ituloh Om … ngeselin pakai imbuhan banget-banget-banget!”
“Jangan terlalu membencinya, kita ini masih pengusaha kecil, kalau kita terlalu jaim dan jual mahal, nanti Om-mu ini bisa kehilangan banyak buyer. Apa kamu nggak kasihan? Sudah ya keselnya, nanti ke depannya kita bakal masih sering ketemu mereka soalnya.”
Sementara di perjalanan, Yohan pun tak ayal sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan Tara.
“Aku agak nggak yakin kalau pak Yohan nggak kenal, tapi stafnya pak Abdi tadi kelihatan banget loh kalau dia itu macam benci banget sama Bapak, apa ….”
“Memang nggak bisa kalau dikatakan nggak kenal, tapi ya memang aku nggak begitu kenal. Cuma tahu aja kalau dia perempuan aneh bin ngeselin,” jawab Yohan datar seraya tetap fokus pada kemudinya.
Dan jawaban itu justru mengundang gelak Tara.
“Aduh! Baru kali ini aku lihat Pak Yohan sekesel itu sama orang. Pasti sulit ya menahan marah tapi harus tetap profesional. Aku tadi nahan ketawa mulu pas Pak Yohan dengan kalimat entengnya tapi menohok. Hahaha ….”
“Udah, nanti kering gigimu, kamu turun di depan ya, aku masih harus memastikan sesuatu, tadi lupa.”
Tepat di depan kantor, Yohan menurunkan Tara yang masih tak bisa berhenti terkekeh.
...****************...
Bersambung ....