Putus karena tahu ternyata hanya dijadikan barang taruhan, bagaimana perasaan kalian? Itulah yang dialami oleh Candra. Mau marah, tapi tidak bisa. Tertekan? Tentu saja, karena tidak bisa meluapkan semua emosinya. Penyebab dari semua ini adalah Arjuno, seorang cowok laknat yang hobinya taruhan.
Butuh waktu bertahun-tahun untuk menyembuhkan luka di hati Candra. Berbagai macam cara dia lakukan demi terlepas dari bayang-bayang Juno. Hingga akhirnya memutuskan terbang ke Paris. Namun ternyata semuanya sia-sia.
Apa yang membuat semua perjuangan Candra sia-sia? Lalu bagaimana kisah Candra ini berlanjut? Akankah Candra menemukan seseorang yang benar-benar mampu menyembuhkannya?
"Jodoh nggak usah dicari, nanti juga datang sendiri." Quotes by Candra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Fujiwara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nanti Gue Pikirin Lagi
Hembusan napas terdengar dari hidung Candra. Bu Maya yang sedang fokus dengan sinetron favoritnya merasa terganggu dengan hembusan napas itu. Ketika Bu Maya hendak menegur, Candra sudah tidak menghembuskan napasnya dengan suara yang mengganggu. Namun baru saja Bu Maya kembali fokus pada sinetron itu, lagi- lagi Candra membuat suara yang mengganggu.
“Can, kamu ganggu Mama nonton! Sana keluar, banyak udara di sana,” usir Bu Maya.
“Ish, Mama. Candra mager.”
“Kamu ganggu Mama nonton, Can,” geram Bu Maya.
“Sejak kapan Mama suka nonton Mas Al?”
“Sejak arisan kemarin itu, ibu- ibu arisan pada ngomongin Mas Al yang katanya ganteng. Jadi Mama penasaran, ternyata beneran ganteng dia,” jelas Bu Maya sangat antusias.
“Sama Papa ganteng mana?”
“Ganteng Mas Al, dong,” jawab Bu Maya cepat. “Eh?”
Bu Maya membulatkan matanya, Pak Haris sudah berdiri di belakang Bu Maya masih dengan pakaian dinasnya. Sementara Candra sudah menghilang dari sana, entah kemana putrinya itu pergi.
Candra tertawa ngakak, dia berhasil kabur dari kedua orang tuanya. Wanita itu kini sedang berjalan- jalan di sekitar rumahnya. Mencari udara segar agar pikirannya sedikit jernih. Suasana jalanan sedikit sepi, padahal malam belum begitu larut. Candra memutuskan untuk mampir ke minimarket. Membeli minuman dan makanan ringan untuk mengisi perutnya.
“Totalnya 50.000, Mbak,” ucap sang kasir minimarket itu.
Candra melirik nametag yang di pakai kasir itu. Ternyata Dimas nama kasir itu. Candra memberikan selembar uang limapuluh ribu, beruntung di kantong celananya ada uang.
“Mas, boleh minta password wifi?”
“Boleh, pakai saja wifinya.”
“Oke, mana password- nya?”
“Pakai saja wifinya.”
“Haa?”
“Itu password- nya, Mbak,” jawab Mas Dimas mesem- mesem.
“Oh, makasih.”
Setelah mendapatkan wifi gratis, Candra duduk di depan minimarket. Dia hendak melakukan video call dengan temannya yang ada di Paris.
Sambungan terhubung dan wajah yang pertama muncul adalah Eric. Candra mendengus melihat wajah dengan senyum sejuta watt milik Eric. Namun wajah itu tidak bertahan lama di depan kamera, karena teman Candra mendorong wajah Eric agar menjauh dari kamera.
“Yoo, Can. Laporannya belum gue kirim ke lo, ya?”
“Nggak apa- apa, nanti aja. Gimana keadaan di sana?” tanya Candra, sepertinya saat ini temannya itu tidak sedang berada di kantor. “Lo dimana, Nov?”
“Haa? Gue lagi makan malam nih sama anak- anak. Ckck, si Eric ganggu mulu daritadi,” decak Novi sebal.
“Ya udah have fun kalian.”
“Oh iya, Can. Hampir lupa gue, ada klien nih dari Indonesia. Jadi rencananya dia mau nikah dan desain pakaiannya mau dari elo. Gimana? Mau lo ambil?”
“Siapa?”
“Zahro namanya, crazy rich Cirebon.”
“Kasih deadline kapan dia?”
“Masih lama, ada kali empat bulan. Atau mau coba lo hubungi dulu?”
“Hmm, boleh deh. Nanti chat gue aja, ya?”
“Candra, I miss you."
Candra yang baru saja menelan keripik kentangnya langsung tersedak. Tiba- tiba saja Eric berteriak kencang dengan wajah close up di depan kamera.
“Gue tutup, ya? Bye Novi.”
Tidak lama kemudian ada notifikasi chat masuk ke ponsel Candra. Chat dari Novi, Candra membuka chat itu yang ternyata sebuah nomor telepon. Setelah menyimpan nomor itu, Candra kembali berkutat dengan ponselnya. Kini wanita itu membuka aplikasi Youtube dan menonton beberapa video di sana.
“Ckck, jumlah episodenya udah banyak banget,” gumam Candra dengan mulut sibuk mengunyah keripik.
Malam sudah semakin larut, tapi Candra masih betah berada di tempat ini. Streaming sebuah drama yang baru saja tamat.
“Candra?” panggilan seseorang itu membuat Candra spontan mendongak.
Dengusan sebal meluncur dari hidung Candra. Namun selanjutnya Candra kembali pada ponselnya, menonton adegan- adegan dari drama itu.
“Lo ngapain di sini?”
“Siapa yang izinin lo duduk di sana?” tanya Candra tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel.
“Can, nggak bisa lo maafin gue? Gue bener- bener nyesel dulu,” ucap orang itu.
“Kalo lo berakhlak dikit. Gue bisa maafin lo, Bang.”
“Gue harus gimana lagi biar bisa dapet maaf dari lo?”
“Beliin gue jajan kayak gini,” jawab Candra menunjuk bungkus keripik yang sudah kosong.
Nata langsung masuk minimarket dan membeli beberapa bungkus keripik untuk sepupunya itu. Semua dia lakukan demi permintaan maafnya.
“Lo udah maafin gue, kan?” tanya Nata setelah kembali dengan sekantong kresek penuh berisi beberapa bungkus keripik.
“Nanti gue pikirin lagi,” jawab Candra cuek.
Nata menjambak rambutnya frustasi mendengar ucapan yang keluar dari mulut Candra. Memang benar dosanya dulu memang sangat berat, salahnya juga yang menggunakan Candra sebagai permainannya. Kini dia sendiri yang menuai hasilnya, bertahun- tahun lamanya sepupunya itu mengibarkan bendera perang padanya dan memasang jarak.
Nata masih setia menunggu Candra yang sepertinya belum juga selesai menonton. Padahal sudah hampir tengah malam. Namun Nata berusaha menahan semua perkataannya. Dia mendongak saat melihat Candra berdiri dari kursinya, spontan Nata ikut berdiri.
“Mau kemana?” tanya Nata.
“Baliklah,” jawab Candra dengan tatapan aneh ditujukan pada Nata.
“Gue anter. Ayo!”
Candra hanya menurut, tapi setelahnya merasa menyesal. Ternyata Nata naik motor. Model motor yang sangat di benci oleh Candra.
“Gue jalan aja,” ucap Candra.
Nata menepuk jidatnya, baru ingat sepupunya itu tidak bisa naik motor dengan jok tinggi seperti miliknya.
“Gue bantu naiknya. Cepet sini!” perintah Nata menarik tangan Candra.
“Jangan di goyang- goyang! Heh!” pekik Candra panik, karena hampir saja motor besar itu oleng.
Sekuat tenaga Nata menahan tawanya. Melihat Candra seperti ini kembali mengingatkannya pada masa- masa dulu. Dimana Nata masih sangat dekat dengan sepupu yang paling dijaganya itu. Maklum, cucu sang Oma hanya mereka bertiga dan Candra paling muda di antara mereka. Kakak Nata kini sudah bekeluarga dan hidup terpisah dengan orang tua mereka, Nata merasa sepi.
...👠👠👠...
Mereka berdua sudah sampai di rumah Candra. Kembali Nata membantu Candra untuk turun dari motor besar itu. Suara heboh Candra membuat Bu Maya lari tergopoh- gopoh keluar. Ternyata kedua orang tua Candra belum tidur.
“Astaga, Mama kira ada apa. Ternyata Candra sama Nata? Kebiasaan nih anak gadis kalau pergi nggak pamit dulu. Nata nginep sini aja, udah malem. Pulang besok, ya?” ucap Bu Maya dan kembali masuk rumah.
“Can, lo udah maafin gue, kan?” tanya Nata sangat berharap.
“Nanti gue pikirin lagi,” jawab Candra dan masuk ke dalam, meninggalkan Nata yang sedang mengepalkan tangannya.
Batinnya menangis karena Candra yang tak kunjung memaafkannya. Pria itu pun mengikuti langkah Candra masuk ke dalam rumah. Namun langkahnya terhenti, telinganya yang tajam mendnegar suara deru mesin mobil di luar pagar. Nata berbalik dan menyipitkan matanya agar bisa melihat dnegan jelas mobil siapa yang berhenti di depan sana.
“Mobil tetangga kali,” gumam Nata dan menutup pintu rumah.
...🥊🥊🥊...
Halo Mas Dimas menyapa
Tertanda: Otornya bafer eh lafer 😴😴😴