Berkisah mengenai Misha seorang istri yang baru saja melahirkan anaknya namun sayangnya anak yang baru lahir secara prematur itu tak selamat. Radit, suami Misha terlibat dalam lingkaran peredaran obat terlarang dan diburu oleh polisi. Demi pengorbanan atas nama seorang istri ia rela dipenjara menggantikan Radit. 7 tahun berlalu dan Misha bebas setelah mendapat remisi ia mencari Radit namun rupanya Radit sudah pindah ke Jakarta. Misha menyusul namun di sana ia malah menemukan sesuatu yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lamaran Tak Terduga
Hari itu, langit terasa begitu cerah, seolah ikut merayakan kebahagiaan yang menyelimuti Warung Bahagia. Pak Raharjo, Bu Lastri, dan Misha berdiri di atas panggung, mengenakan pakaian rapi. Di hadapan mereka, Wali Kota tersenyum, memegang sebuah piagam penghargaan. Penghargaan itu diberikan atas kontribusi Warung Bahagia yang dinilai memberikan dampak positif kepada masyarakat.
"Atas nama pemerintah kota, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Warung Bahagia, yang telah memberikan contoh nyata bagaimana sebuah usaha dapat memberikan dampak sosial yang luar biasa," kata Wali Kota, suaranya lantang. "Kisah Warung Bahagia tidak hanya tentang makanan yang enak, tetapi juga tentang kebaikan, ketulusan, dan semangat pantang menyerah."
Misha menunduk, air mata mengalir di pipinya. Ia tidak menyangka, kisahnya akan membawa mereka sampai sejauh ini. Ia menatap Pak Raharjo dan Bu Lastri, yang kini menangis haru. Mereka tidak bisa lagi menahan air mata.
Setelah pidato Wali Kota selesai, ia memberikan piagam penghargaan kepada Pak Raharjo. "Selamat, Pak Raharjo," kata Wali Kota. "Semoga Warung Bahagia terus sukses dan terus memberikan kebaikan kepada masyarakat."
"Terima kasih, Bapak Wali Kota," jawab Pak Raharjo, suaranya bergetar. "Ini semua berkat doa dan dukungan dari Bapak dan Ibu semua."
Penghargaan itu membuat Warung Bahagia semakin dikenal luas. Berita tentang warung itu menyebar di berbagai media sosial dan televisi. Pelanggan baru datang dari berbagai kota, penasaran dengan masakan yang disebut-sebut sebagai "legenda". Antrean yang panjang kini menjadi pemandangan biasa di depan ruko baru.
Untuk mengimbangi lonjakan pelanggan, Pak Raharjo memutuskan untuk memberlakukan layanan pesan antar. Mereka bekerja sama dengan berbagai mitra ekspedisi, seperti Go-Food, GrabFood, dan ShopeeFood. Keputusan itu membuat Warung Bahagia menjadi semakin populer. Pelanggan kini tidak perlu lagi mengantre di depan ruko, mereka bisa memesan makanan dari mana pun.
"Misha, kamu cek lagi pesanan yang masuk," kata Pak Raharjo. "Pesanan dari ShopeeFood banyak sekali."
"Siap, Pak," jawab Misha, sibuk memeriksa ponselnya.
Bu Lastri, yang sibuk memasak di dapur, tersenyum. "Alhamdulillah, Pak. Rezeki kita tidak ada habisnya."
****
Suatu sore, Rendy datang ke Warung Bahagia. Ia tersenyum melihat warung itu begitu ramai. Ia melihat Misha yang kini terlihat sangat bahagia. Ia tahu, ia telah melakukan hal yang benar.
"Misha, selamat ya," kata Rendy, suaranya lembut. "Saya senang melihat Anda bahagia."
"Terima kasih, Pak Rendy," jawab Misha. "Ini semua berkat Bapak."
"Bukan berkat saya, Misha," jawab Rendy. "Ini berkat kerja keras Anda, Pak Raharjo, dan Bu Lastri. Dan juga berkat kebaikan hati Anda."
Misha tersenyum tulus. "Semua ini mengajarkan saya, Mas. Bahwa setelah badai pasti ada pelangi. Setelah penderitaan, pasti ada kebahagiaan."
Rendy mengangguk, hatinya terasa hangat. Ia melihat Misha, yang dulu rapuh, kini menjadi wanita yang tangguh dan penuh keyakinan. Ia tahu, Misha telah menemukan kebahagiaannya. Ia pun bahagia melihatnya.
"Misha... saya ingin bicara," kata Rendy, suaranya bergetar.
"Bicara apa, Mas?" tanya Misha.
"Saya ingin... saya ingin melamar Anda," kata Rendy, suaranya berbisik. "Saya tahu, ini terlalu cepat. Tapi... saya tidak bisa menyembunyikannya lagi. Saya... saya mencintai Anda."
Hati Misha mencelos. Ia tidak menyangka, Rendy akan melamarnya. Air mata mengalir di pipinya. Ia menatap Rendy, matanya memancarkan kebingungan dan kebahagiaan.
"Pak Rendy..." Misha tidak bisa berkata-kata.
Rendy tersenyum. "Saya tidak meminta Anda untuk menjawab sekarang. Saya hanya ingin Anda tahu, saya akan selalu ada untuk Anda. Saya akan menunggu Anda, sampai kapan pun."
Misha mengangguk, lalu tersenyum. Ia tahu, ia telah menemukan kebahagiaan yang selama ini ia cari. Bukan pada harta, bukan pada popularitas, melainkan pada kebaikan dan ketulusan hati. Ia tahu, ia akan baik-baik saja.
****
Senja telah berganti malam. Di ruko baru Warung Bahagia, hanya tersisa Pak Raharjo, Bu Lastri, dan Misha. Setelah membersihkan warung, mereka duduk bersama di meja makan, menyeruput teh hangat. Suasana hening, hanya ada suara jangkrik dari luar. Misha menunduk, tangannya memegang cangkir teh, hatinya berdebar tak karuan. Ia tahu, ia harus membicarakan sesuatu.
"Pak... Bu... ada yang ingin saya sampaikan," kata Misha, suaranya pelan.
Pak Raharjo dan Bu Lastri saling berpandangan, lalu menatap Misha dengan tatapan penuh perhatian. "Ada apa, Nak? Cerita saja," kata Pak Raharjo, suaranya lembut.
Misha menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan hatinya. "Tadi sore... Pak Rendy... dia... dia melamar saya."
Seketika, Pak Raharjo dan Bu Lastri terkejut. Mata mereka membelalak, lalu senyum lebar terukir di wajah mereka. "Benarkah?! Ya ampun! Alhamdulillah!" seru Bu Lastri, suaranya dipenuhi kegembiraan.
"Dia bilang, dia mencintai saya," bisik Misha, air mata mengalir di pipinya. "Dia bilang, dia akan menunggu saya sampai kapan pun."
"Nak... ini... ini berita yang sangat membahagiakan," kata Pak Raharjo, suaranya bergetar. "Pak Rendy itu pria yang sangat baik. Dia adalah pria yang tepat untukmu."
Misha menggelengkan kepalanya. "Saya... saya tidak tahu harus bagaimana, Pak. Saya masih trauma. Saya takut, saya akan membuat kesalahan lagi."
Bu Lastri berjalan mendekati Misha, lalu memeluknya erat. "Nak, jangan begitu. Pak Rendy tidak seperti pria-pria yang lain. Dia tulus mencintaimu. Dia sudah banyak berkorban untukmu."
"Iya, Nak. Bapak sudah lihat sendiri," kata Pak Raharjo, matanya berkaca-kaca. "Pak Rendy itu sudah seperti malaikat penolong yang dikirim oleh Allah untukmu. Dia sudah banyak membantumu, tanpa meminta balasan apa pun."
"Tapi... saya takut," isak Misha. "Saya takut, saya tidak pantas untuknya. Saya takut, dia akan menyesal."
Pak Raharjo melepaskan pelukan Bu Lastri, lalu menatap Misha dengan tatapan tegas. "Dengar, Nak. Kamu pantas bahagia. Kamu sudah banyak menderita. Ini saatnya kamu bahagia."
"Betul kata Bapak, Nak," kata Bu Lastri, tersenyum. "Pak Rendy tidak akan menyesal. Dia mencintaimu apa adanya. Dia mencintaimu dengan semua kekuranganmu."
Misha menangis. Ia merasa sangat bersyukur. Ia merasa, ia sudah menemukan keluarga baru. Keluarga yang mau menerima dirinya, keluarga yang mau membantunya, dan keluarga yang mau mendoakannya.
"Saya... saya tidak tahu harus berkata apa," bisik Misha, suaranya parau.
"Tidak usah berkata apa-apa, Nak," kata Pak Raharjo, suaranya lembut. "Cukup katakan 'ya' pada Pak Rendy. Dia sudah menunggu terlalu lama."
****
Misha menatap Pak Raharjo dan Bu Lastri. Hatinya terasa sangat hangat. Mereka sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Mereka tidak hanya sekadar majikan, tetapi juga orang tua.
"Nak, kamu tahu? Sejak pertama kali kamu datang ke warung Bapak, Bapak sudah merasakan ada sesuatu yang istimewa dari dirimu," kata Pak Raharjo, suaranya bergetar. "Bapak tahu, kamu adalah wanita yang baik. Bapak tahu, kamu adalah wanita yang kuat."
"Iya, Nak," kata Bu Lastri. "Setiap kali kamu menderita, kami ikut merasakan sakit. Setiap kali kamu bahagia, kami ikut merasakan senang. Kami sudah menganggapmu seperti anak sendiri."
Air mata Misha mengalir deras. Ia memeluk Pak Raharjo dan Bu Lastri, membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan hangat mereka. Ia merasa, ia sudah menemukan rumah. Rumah yang selama ini ia cari.