Di Kota Pontianak yang multikultur, Bima Wijaya dan Wibi Wijaya jatuh hati pada Aisyah. Bima, sang kakak yang serius, kagum pada kecerdasan Aisyah. Wibi, sang adik yang santai, terpesona oleh kecantikan Aisyah. Cinta segitiga ini menguji persaudaraan mereka di tengah kota yang kaya akan tradisi dan modernitas. Siapakah yang akan dipilih Aisyah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjejak Jejak di Bumi Cenderawasih
Beberapa minggu setelah kembali dari Jerman, tim "Warna Warni Nusantara" masih sibuk menangani banyak pesanan yang masuk dari berbagai negara Eropa. Saat mereka sedang berdiskusi tentang rencana ekspansi produksi di ruang kerja Toko Kreatif Din, Sal,l Surabaya, sebuah amplop besar berlabel pemerintah provinsi Papua Barat diterima oleh staf depan. Isinya bukan hanya surat undangan, tapi juga sebuah paket kecil berisi anyaman pandanus berwarna cerah dan foto-foto karya pengrajin dari berbagai daerah di Bumi Cenderawasih.
"Kami punya banyak pengrajin berbakat di sini, tapi lokasi kita yang terpencil membuat karya mereka sulit sampai ke pasar luas," tulis bagian dari surat tersebut yang ditandatangani Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Papua Barat. "Kita ingin belajar dari kolaborasi kalian antara Jawa dan Bali, agar kekayaan budaya Papua juga bisa dikenal bersama dengan daerah lain di Indonesia. Bahkan, beberapa pengrajin di sini sudah mulai mencoba membuat motif baru dengan menggabungkan ide dari cerita 'Jembatan Solo-Surabaya' yang mereka baca dari artikel online."
Baca surat itu membuat hati seluruh tim menjadi hangat. Tanpa ragu, Andini dan timnya beserta dua pengrajin dari Bali yang ahli dalam anyaman dan satu dari Yogyakarta yang menguasai teknik batik serta desain memutuskan untuk berangkat. Persiapan perjalanan memakan waktu hampir seminggu mereka harus menyusun paket alat kerja, bahan baku cadangan, serta modul pelatihan yang disesuaikan dengan kondisi daerah terpencil. Mereka juga membawa beberapa contoh produk kolaboratif dari seri pertama "Warna Warni Nusantara" untuk menunjukkan kepada pengrajin Papua bagaimana kerjasama antar daerah bisa menghasilkan karya yang luar biasa.
Perjalanan tidaklah mudah. Setelah beberapa jam terbang dari Surabaya ke Jakarta, lalu meneruskan perjalanan dengan pesawat kecil menuju Manokwari, mereka harus menunggu satu hari karena cuaca buruk yang membuat penerbangan tidak bisa berlanjut ke bandara kecil di dekat desa tujuan. Ketika akhirnya bisa melanjutkan perjalanan darat, mereka harus naik mobil empat roda selama enam jam menuju pedalaman, melewati jalan yang bergelombang dan sering tergenang air hujan setelah hujan deras yang turun semalaman. Jalan yang sempit seringkali harus dibagi dengan kendaraan berat yang mengangkut bahan bangunan, serta kelompok sapi yang sedang ditemparkan oleh penduduk lokal.
Namun, segala kesulitan perjalanan lenyap begitu mereka tiba di desa Wondiboy. Di gerbang desa, puluhan warga telah berkumpul dengan mengenakan pakaian adat berwarna-warni. Suara gendang khas yang dibunyikan dengan irama kuat dan penuh semangat menggema di udara segar pegunungan, diikuti oleh tarian tradisional yang dilakukan oleh kelompok pemuda dan pemudi desa dengan gerakan yang penuh keanggunan dan makna. Di tengah kerumunan, seorang pria dengan wajah keriput yang menunjukkan pengalaman namun mata yang bersinar penuh semangat menghampiri mereka itu adalah Pak Yohanis, seorang pengrajin ukiran kayu yang telah menguasai teknik dari ayahnya dan kini menjadi pemimpin kelompok pengrajin di desa tersebut.
Pak Yohanis datang dengan membawa sebuah patung kayu yang setinggi badan orang dewasa, menggambarkan sosok leluhur pelindung desa yang dikenal dengan nama "Warmadewa". Permukaan kayu yang terbuat dari jenis kayu cendana lokal yang langka itu diukir dengan detail luar biasa – mulai dari wajah leluhur yang penuh kasih sayang, hingga motif daun dan bunga khas hutan hujan tropis yang mengelilingi tubuhnya. "Setiap ukiran di sini punya makna khusus," ucap Pak Yohanis sambil dengan hati-hati menunjukkan setiap bagian patung. "Motif daun kelapa di bahu melambangkan kesuburan tanah, sedangkan pola lingkaran di dada adalah simbol persatuan masyarakat kita. Ini bukan hanya hiasan, tapi cerita tentang asal-usul kita, bagaimana leluhur kita datang dan membangun kehidupan di tanah yang subur ini."
Dia melanjutkan cerita sambil mengajak tim untuk berjalan ke pusat kerajinan desa yang terletak di tengah pemukiman, sebuah bangunan besar yang dibuat dari bambu dan kayu dengan atap dari dedaunan rumbia. Di dalamnya, puluhan pengrajin – dari anak muda hingga orang tua – sedang sibuk bekerja. Beberapa duduk di lantai menguasai kayu dengan pahat yang sudah digunakan selama puluhan tahun, yang lain sedang menyusun serat pandanus menjadi pola yang rumit, dan sebagian lagi sedang memoles batu akik hingga mengkilap dengan cara tradisional menggunakan bubuk batu dan air. "Kita ingin membuat produk yang bisa diterima pasar luar," ucap Pak Yohanis sambil melihat karya-karya yang sedang dibuat. "Tapi tidak mau menghilangkan makna budaya yang ada di dalamnya. Kadang kita bingung, apakah harus mengubah motif agar lebih menarik bagi orang luar, atau tetap menjaga apa yang telah ada sejak dulu kala."
Selama dua minggu, tim mereka menjelajahi berbagai desa di Papua Barat untuk mengenal lebih dekat kerajinan yang ada. Di pesisir Sorong, mereka bertemu dengan kelompok pengrajin wanita yang membuat anyaman dari serat pohon pandanus dengan motif khas laut dan bintang laut. Mereka menjelaskan bahwa setiap warna yang digunakan memiliki makna tertentu biru melambangkan laut yang memberi kehidupan, merah adalah simbol keberanian, dan kuning adalah warna matahari yang memberikan cahaya dan panas. Di daerah Pegunungan Arfak, mereka mengunjungi sebuah desa yang terletak di lereng gunung dengan pemandangan danau yang indah di kejauhan. Di sana, mereka melihat bagaimana pengrajin membuat perhiasan dari batu akik lokal yang diukir dengan gambar burung kasuari – simbol kebanggaan masyarakat setempat yang dianggap sebagai utusan dari dunia roh. Selain itu, mereka juga menemukan kerajinan anyaman dari serat rotan yang dibentuk menjadi berbagai macam peralatan rumah tangga dan dekorasi dengan motif yang berbeda dari yang ada di Jawa atau Bali.
Namun, tantangan tidak lama lagi muncul seiring dengan semakin dalamnya mereka memahami kondisi pengrajin di sana. Banyak pengrajin kesulitan mendapatkan bahan baku berkualitas karena akses yang terbatas – kayu cendana yang baik harus ditemukan di dalam hutan yang jauh dari desa, dan serat pandanus yang berkualitas hanya bisa diambil di daerah tepi pantai yang seringkali sulit dijangkau saat musim hujan. Sebagian besar produk masih dibuat dengan cara manual yang memakan waktu lama – sebuah patung kayu kecil saja bisa memakan waktu hingga dua minggu untuk diselesaikan dengan sempurna. Selain itu, ada kekhawatiran yang mendalam dari sebagian pengrajin tentang bagaimana menjaga keaslian motif tradisional saat harus disesuaikan dengan selera pasar global. Mereka takut bahwa karya mereka akan kehilangan makna jika harus diubah terlalu banyak hanya untuk menarik perhatian pembeli dari luar daerah.
Untuk mengatasinya, tim "Warna Warni Nusantara" bekerja sama dengan pemerintah daerah dan yayasan lokal yang telah lama bekerja dengan masyarakat setempat untuk membuat rencana kolaboratif yang komprehensif. Pengrajin dari Yogyakarta, Bu Sri yang telah membuat batik selama lebih dari tiga puluh tahun, mengajarkan teknik finishing batik yang bisa diterapkan pada permukaan kayu. Dia menunjukkan bagaimana mencampur lilin batik dengan bahan pelindung kayu agar motif batik bisa menempel dengan baik dan tidak mudah pudar, sehingga menghasilkan kombinasi unik antara ukiran kayu tradisional dan motif batik yang kaya akan makna. Sementara itu, pengrajin dari Bali, Ibu Made yang ahli dalam anyaman bambu dan pandanus, berbagi cara memadukan anyaman tradisional dengan desain modern untuk membuat tas dan dompet yang lebih praktis untuk digunakan sehari-hari. Dia menunjukkan bagaimana menambahkan bagian kantong dalam yang dibuat dari kain katun berkualitas, serta cara memasang resleting dan tali yang nyaman digunakan tanpa mengubah keindahan pola anyaman yang ada.
Sebagai balasan, pengrajin Papua dengan senang hati mengajarkan teknik ukiran unik yang tidak ditemukan di daerah lain di Indonesia. Pak Yohanis sendiri mengajarkan cara menguasai kayu dengan sudut yang tepat agar menghasilkan permukaan yang halus tanpa perlu banyak pemolesan, serta cara memilih jenis kayu yang tepat untuk setiap jenis karya agar tahan lama dan tidak mudah retak. Para pengrajin wanita dari Sorong mengajarkan rahasia membuat warna anyaman yang awet dan tidak pudar meskipun terkena air, menggunakan bahan alami dari akar tanaman dan kulit kayu yang tumbuh di sekitar desa.
Selain berbagi ilmu teknis, tim mereka juga merencanakan pembangunan pusat pengolahan bahan baku kecil di desa Wondiboy yang akan dikelola langsung oleh kelompok pengrajin lokal. Pusat ini akan menjadi tempat untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyimpan bahan baku sehingga pengrajin tidak perlu lagi jauh-jauh mencari bahan atau khawatir akan kualitasnya. Mereka juga akan memberikan pelatihan penggunaan teknologi sederhana seperti mesin pemotong kayu kecil dan alat pemoles yang lebih efisien untuk mempercepat produksi tanpa mengurangi kualitas hasil akhir. Bagi anak muda dari desa yang ingin belajar lebih banyak tentang pengelolaan usaha dan pemasaran, tim mereka menyusun program belajar secara daring yang akan menghubungkan mereka dengan pengrajin berpengalaman di Solo dan Surabaya. Setiap minggu, mereka akan mengikuti kelas online tentang cara membuat akun bisnis di platform penjualan daring, bagaimana mengambil foto produk yang menarik, dan cara berkomunikasi dengan pelanggan dari berbagai daerah.
Pada hari terakhir kunjungan, mereka mengadakan pertemuan kecil dengan seluruh pengrajin yang terlibat dalam kolaborasi ini di halaman pusat kerajinan desa. Udara yang sejuk dipenuhi dengan suara tawa dan obrolan antar pengrajin yang berasal dari berbagai daerah dengan latar belakang budaya yang berbeda namun kini sudah seperti keluarga besar. Di tengah acara, Pak Yohanis dengan bantuan dua orang pengrajin muda membawa sebuah patung kayu kolaboratif yang telah mereka kerjakan selama seminggu terakhir. Patung yang berbentuk seperti bunga matahari besar itu memiliki bagian atas yang diukir dengan motif khas Papua gambar burung kasuari yang sedang terbang di antara awan dan gunung. Bagian bawahnya diberi finishing batik dari Yogyakarta dengan motif parang yang melambangkan keberanian dan ketahanan, serta aksen anyaman dari Bali yang menyusun pola seperti akar yang kuat dan kokoh di dasar patung.
"Ini bukan hanya produk baru," ucap Pak Yohanis dengan mata berkaca-kaca karena emosi yang luar biasa. "Ini bukti bahwa kita semua adalah bagian dari satu keluarga besar Indonesia. Meskipun jauh dan berbeda dari pulau Jawa yang ramai hingga pegunungan Papua yang tenang, dari budaya yang sudah dikenal luas hingga tradisi yang masih tersembunyi kita bisa saling melengkapi. Setiap daerah punya kelebihan dan kekayaan yang bisa dibagikan, dan ketika kita bekerja sama, hasilnya akan lebih indah dari yang bisa kita bayangkan sendiri."
Setelah acara berakhir dan hadiah serta cinderamata telah ditukarkan antara lain anyaman dari Papua, batik dari Yogyakarta, dan kerajinan kayu dari Bali tim mereka mempersiapkan diri untuk berangkat pulang. Sebelum naik mobil, Pak Yohanis mendekati Andini dan erat menjabat tangannya. "Kami menunggu kedatangan kalian kembali," katanya dengan suara yang tegas namun penuh harapan. "Kita sudah punya banyak ide untuk produk baru mulai dari perhiasan yang menggabungkan batu akik Papua dengan anyaman Bali, hingga meja dekoratif dengan ukiran Papua dan finishing batik Yogyakarta."
Tim mereka berjanji akan segera kembali dalam waktu tiga bulan dengan rencana produksi seri produk baru dari Papua, serta mengajak delapan pengrajin lokal untuk bergabung dalam pameran kerajinan tangan internasional berikutnya yang akan diadakan di Jepang. Di jalan pulang menuju Manokwari, ketika mobil melaju melewati pemandangan pegunungan yang hijau menyembul di balik kabut tipis dan laut yang biru jernih membentang luas di kejauhan, Andini tersenyum melihat wajah-wajah tim yang penuh semangat meskipun lelah.
"Kita baru saja menemukan salah satu permata tersembunyi Indonesia," katanya kepada timnya sambil melihat keluar dari jendela mobil. "Banyak orang mungkin belum tahu betapa kaya dan indahnya budaya di sini, betapa berbakatnya para pengrajinnya. Sekarang tugas kita adalah membantu permata ini bersinar bersama dengan permata lain dari seluruh nusantara, sehingga dunia bisa melihat betapa luar biasa nya keragaman dan keindahan budaya Indonesia."
Saat matahari mulai terbenam dan memberikan warna jingga dan merah pada langit pegunungan Papua, mobil mereka terus melaju menjauh dari desa Wondiboy. Namun, hubungan yang telah terjalin antara pengrajin dari berbagai daerah di Indonesia tidak akan pernah pudar sebaliknya, akan terus tumbuh dan berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar dan lebih indah.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*