Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."
Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.
Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Gema "Tenang" dari Jarak Ribuan Kilometer
Titik Kolaps
Setelah badai berlalu, dingin di Pulau Sunyi terasa jauh lebih menusuk. Bara menggigil hebat di bawah Pohon Cemara Laut yang daunnya basah kuyup. Ia memeluk Buku Doa Musafir yang kini sebagian besarnya terasa seperti bubur kertas. Air laut dan air hujan telah merusak hampir seluruh halaman janji terpentingnya untuk Nirmala.
Bara merasa ia tidak lagi punya tenaga untuk bergerak. Kolaps fisik benar-benar melandanya. Ia jatuh dan menggigil kedinginan di dekat pohon itu. Ia menutup mata, membiarkan tubuhnya pasrah pada dingin yang menusuk.
Aku sudah memberikan segalanya. Aku sudah menulis janji yang tulus, bahkan saat aku hampir mati.
Bara menatap sisa-sisa halaman yang rusak. Itu adalah pukulan spiritual yang tidak terhindarkan. Kehilangan pensil Mala terasa kecil dibandingkan kehancuran bukti ikhtiar terbesarnya ini.
Ia merasakan puncak frustrasi spiritualnya. Ia telah beriman tanpa melihat hasil, tanpa janji, dan tanpa melihat balasan. Kini, satu-satunya bukti fisiknya juga diambil oleh alam.
“Ya Allah, mengapa Kau ambil satu-satunya bukti keyakinanku?” Bara berbisik, suaranya parau dan penuh air mata dingin.
Ia berteriak dalam hati, sebuah teriakan tanpa suara yang hanya bergema di dalam kepalanya. Aku sudah menyerahkan segalanya! Aku sudah melepaskan harapan untuk pulang, aku hanya meminta janji untuk anakku. Kenapa Kau ambil satu-satunya bukti itu?!
Ia merasa sia-sia. Semua Ikhtiar Tertinggi yang ia lakukan di pulau sunyi ini telah dihancurkan. Ia benar-benar mencapai Titik Nol Takdir. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan, kecuali menunggu mati atau diselamatkan, tanpa tahu apakah doanya di halaman yang rusak itu benar-benar diterima.
Bara memejamkan mata. Seluruh tubuhnya sakit, kepalanya pusing, dan dingin menjalar hingga ke sumsum tulang. Ia berada di ambang ketidaksadaran.
Aku menyerah.
Momen kolaps fisik dan spiritual ini adalah batas akhir Bara di pulau itu, pemicu yang akan segera memanggil campur tangan metafisik yang lebih besar.
Halusinasi Karena Kelelahan
Ribuan kilometer jauhnya, Rina berada di puncak kelelahan emosional. Setelah Bunda Ida mengambil alih kendali keuangan dan merampas buku tabungannya, Rina merasa seperti kehilangan martabat dan otoritas di rumahnya sendiri. Ditambah lagi, ia melihat air mata sunyi Nirmala yang terluka.
Rina terduduk di sofa ruang tamu, mencoba mencari cara untuk bangkit, tetapi sakit kepala hebat menyerang.
Aku gila. Aku pasti gila.
Rina menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Sejak ketukan pintu misterius, ia mulai mempertanyakan kewarasannya.
“Aku hanya kurang tidur. Aku hanya kelelahan,” Rina mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Namun, saat ia membuka mata, ia melihat bayangan samar. Hanya sekelebat, seperti kain putih yang bergerak cepat di sudut ruangan, dekat tiang rumah. Bayangan itu menghilang dalam sekejap.
Rina segera bangkit, gemetar. Ia berjalan ke sudut itu. Tidak ada apa-apa.
“Siapa di sana?” tanya Rina, suaranya bergetar.
Ia menyimpulkan itu adalah efek dari kurang tidur dan tekanan finansial. Rina memejamkan mata, memohon agar kekalutan ini berhenti. Ia merasa kewarasannya terancam.
“Ya Allah, jika ini halusinasi, hentikan. Aku tidak mau gila. Jika ini adalah isyarat, berikan isyarat yang jelas!”
Ia merasa akan menyerah pada keputusasaan dan kepenatan. Tubuhnya lemas, nyaris kolaps seperti yang dialami Bara di pulau sana.
Divine Echo Pertama yang Jelas
Tepat di detik ia merasa akan menyerah pada keputusasaan...
Rina tiba-tiba mendengar sesuatu. Bukan suara ketukan. Melainkan suara yang sangat samar, hampir seperti gema suara, tetapi terasa menenangkan dan hangat di hatinya yang dingin.
“Tenang.”
Hanya satu kata. Gema "Tenang" yang sangat samar, nyaris seperti bisikan angin di malam hari, tetapi terasa lebih jelas dan lebih dekat dibandingkan bisikan laut yang ia dengar saat awal-awal Bara terdampar.
Gema itu terasa seperti air dingin yang tiba-tiba dituangkan ke api kecemasan di dadanya. Rasa panik lenyap dalam sekejap. Sakit kepala Rina mereda drastis, berganti dengan rasa damai yang asing.
Rina terkejut. Kekuatan ini terasa murni, menenangkan, dan jelas bukan berasal dari dirinya. Ini adalah Divine Echo pertama yang sesungguhnya dan merupakan respons langsung terhadap kolaps spiritual Bara.
“Siapa itu?” Rina berbisik, kini tidak lagi takut gila, melainkan takut pada kekuatan luar biasa di sekitarnya.
Ia menyadari, ada campur tangan spiritual di tengah kekacauan mereka. Kekuatan itu datang dari jarak ribuan kilometer, menghubungkannya dengan suaminya yang sedang kritis. Gema itu, meski singkat, memberinya kekuatan untuk bertahan. Ia memiliki konfirmasi nyata pertamanya bahwa ia tidak berjuang sendirian. Namun, muncul ketakutan baru: ia kini tahu suaminya berada dalam bahaya spiritual yang mendalam, karena hanya krisis terdalam yang akan memicu kekuatan sebesar ini.
Intervensi di Pulau Sunyi
Di Pulau Sunyi, Bara masih terbaring kolaps, frustrasi, dan menyerah pada dingin yang menusuk. Ia memeluk buku yang telah rusak. Ia merasa imannya hancur total karena kehilangan bukti fisik doanya.
Tiba-tiba, ia merasakan perubahan atmosfer. Dingin yang menusuk itu seolah ditarik menjauh. Rasa sakit di tubuhnya mereda perlahan, digantikan oleh kehangatan yang samar. Bara yang setengah sadar membuka matanya.
Ia melihat sepasang sandal tua yang tampak bersih dan Tongkat Musafir yang terbuat dari kayu yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Di hadapannya, berdiri seseorang.
Sosok itu mengenakan jubah putih bersih, wajahnya tua dan berjanggut panjang, tetapi matanya memancarkan kedamaian dan ketenangan yang tak terbatas. Syeikh Tua. Wali Allah yang misterius.
Wali Allah itu tidak berbicara, hanya menatap Bara dengan tatapan damai yang menembus hingga ke inti frustrasi Bara. Tatapan itu seolah berkata, Aku tahu kamu telah kehilangan segalanya, termasuk bukti tertulis dari imanmu.
Seketika, Bara melupakan rasa laparnya, melupakan dinginnya. Ia hanya menatap sosok itu, merasakan aura yang begitu tenang, begitu kuat, yang langsung menenangkan jeritan spiritualnya.
Bayangan Samar Syeikh Tua
Rina membuka mata, mencari sumber suara Gema "Tenang" yang baru saja ia dengar. Ia berjalan pelan menuju jendela, mencari apakah ada orang di luar.
Tepat saat Rina melihat ke luar jendela, di senja yang mulai gelap, ia melihat bayangan samar yang menyerupai seseorang berjubah putih. Bayangan itu bergerak sangat cepat dan anggun, menghilang ke balik Pohon Cemara yang ada di halaman depan rumahnya.
Rina bergegas ke luar. Ia mencapai Pohon Cemara dan mengamati sekitarnya. Kosong. Hanya ada dedaunan kering yang berguguran.
Namun, Rina mencium aroma yang sangat tipis dan asing, seperti aroma gaharu yang sangat langka. Aroma itu cepat menghilang, tetapi cukup kuat untuk memberinya getaran.
Rina menyadari: bayangan samar yang menghilang itu adalah respons fisik dari intervensi spiritual yang menyelamatkan kewarasannya. Sosok itu ada di sini, di rumahnya, dan kini telah pergi—seperti ia baru saja selesai menyampaikan pesan penting.
Ia kembali masuk, gemetar namun tenang. Ia tidak gila. Ada kekuatan yang melindungi mereka, dan kekuatan itu baru saja melakukan kontak dengannya. Pertemuannya dengan Gema "Tenang" dan Bayangan Samar Syeikh Tua adalah awal dari perjalanan spiritual Rina yang sesungguhnya.