NovelToon NovelToon
Aji Toba

Aji Toba

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Misteri / Epik Petualangan / Horror Thriller-Horror / TimeTravel / Penyeberangan Dunia Lain
Popularitas:232
Nilai: 5
Nama Author: IG @nuellubis

Masih kelanjutan dari PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN.

Petualangan Aji kali ini lebih kelam. Tidak ada Pretty, dkk. Hanya dirinya, Sari (adiknya), bidadari nyentrik bernama Nawang Wulan, Tumijan, Wijaya, dan beberapa teman barunya seperti Bonar dan Batubara.

Petualangan yang lebih kelam. Agak-agak horor. Penuh unsur thriller. Sungguh tak bisa ditebak.

Bagaimanakah dengan nasib Pretty, dkk? Oh, tenang, mereka masih memiliki porsi di serial ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertemuan Pertama dengan Jaka Kerub

Untuk hari ini, si Raja Regar, ia menyuruh beberapa orang untuk mengantarkan Aji ke seseorang yang Aji cari-cari selama beberapa minggu, semenjak Aji masih di luar kawasan Pulau Samosir. Orang itu bernama Jaka Kerub.

Awalnya Jaka Kerub berasal dari Yawadwipa. Ia--atau tepatnya kakek moyangnya--ikut rombongan dari Yawadwipa. Itu terjadi menjelang berdirinya Sriwijaya. Saat itu, terjadi migrasi besar-besaran ke Suwarnadwipa. Puncaknya, saat Balaputradewa menjadi raja di Sriwijaya. Banyak orang dari Yawadwipa hijrah ke desa-desa di sekitar lokasi Kerajaan Sriwijaya. Satu dari sekian yang hijrah itu adalah kakek moyangnya Jaka Kerub. Sudah lumayan lama keluarga besar Jaka Kerub tinggal di Suwarnadwipa.

"Masih jauh?" Aji ngos-ngosan. Ia berhenti sejenak untuk minum air.

Pandapotan berhenti dan terkekeh. "Manja kali kau, bah. Belum ada satu jam kita berjalan kaki."

Ada sepuluh orang yang menuntun Aji menuju tempat persembunyian Jaka Kerub. Memang dirahasiakan oleh beberapa tua-tua masyarakat di kawasan Samosir dan sekitarnya. Yang mengetahuinya itu hanya segelintir. Sengaja dibuat seperti itu demi menjaga keselarasan.

Aji menghela napas panjang, lalu kembali menegakkan tubuhnya. Ia menyesap air dari bambu wadah minum yang disodorkan Jenari. Air danau itu terasa dingin dan sedikit pahit, namun menyadarkannya. Jalur setapak yang mereka lalui menanjak, menyusuri perbukitan Samosir yang dipenuhi pohon-pohon tinggi dan akar-akar besar mencuat dari tanah. Kabut tipis turun perlahan, membuat hutan seperti berlapis tirai.

“Kalau kau sudah ngos-ngosan begini,” ujar Jenari sambil berjalan di depan, “bagaimana kau bisa berhadapan dengan orang seperti Jaka Kerub?”

Aji tak menanggapi. Nama itu saja sudah membuat dadanya bergetar. Ia mendengar cerita tentang Jaka Kerub dari berbagai penjuru. Ada yang menyebutnya sebagai dukun. Ada yang menyebutnya sebagai perantara roh. Ada pula yang yakin Jaka Kerub sudah tidak sepenuhnya manusia. Namun satu hal yang sama, bahwa Jaka Kerub tahu tentang orang-orang yang tersesat di antara waktu.

“Apakah dia akan mau menolong?” tanya Aji akhirnya.

Pandapotan menyeringai. “Tergantung apa yang kau bawa, bah. Dan bukan hanya benda.”

Ucok yang ikut berjalan di belakang Aji menimpali polos, “Katanya, Jaka Kerub hanya mau bicara sama orang yang sudah pernah mati, tapi belum mati-mati.”

Ucapan itu membuat langkah Aji terhenti sesaat.

“Apa maksudnya?” Aji menoleh.

Ucok mengangkat bahu. “Itu yang kudengar.”

Tak seorang pun meluruskan. Sepuluh orang itu tetap berjalan, seolah kalimat barusan bukan hal penting. Aji menggigit bibir. Dalam hati, ia teringat setiap kali ia ditelan kegelapan, tubuhnya terasa seperti diurai, dihancurkan, lalu disusun kembali. Jika itu bukan mati, ia tak tahu apa namanya.

Perjalanan berlanjut hingga mereka memasuki kawasan yang lebih sunyi. Burung-burung tak lagi bernyanyi. Angin terasa berputar aneh, seperti menabrak dirinya sendiri. Regar benar bahwa jalur ini sengaja dirahasiakan. Bahkan alam pun seolah turut menjaga keberadaan Jaka Kerub.

“Berhenti,” bisik Jenari.

Ke sepuluh orang itu serempak berhenti. Di depan mereka, terdapat celah di antara dua batu besar berlumut. Sekilas tampak seperti jalan buntu, namun Pandapotan maju, menepuk batu di sebelah kiri tiga kali, lalu menghentakkan kaki sekali ke tanah.

Tanah bergetar pelan. Batu itu bergeser, membuka lorong sempit. Dari dalamnya tercium bau tanah basah bercampur asap kayu.

“Ingat,” kata Jenari, menoleh tajam pada Aji. “kami hanya mengantar sampai sini. Setelah itu, kau sendiri yang menghampiri Jaka Kerub itu.”

Aji mengangguk. “Terima kasih.”

Ucok mengulurkan sesuatu. Ada seutas tali kecil dengan simpul aneh. “Ini dari Ompung Regar. Kalau kau merasa tersesat, genggamlah ini.”

Aji menggenggam tali itu erat-erat. “Katakan padanya, aku akan kembali.”

Ucok tersenyum kecil.

Aji melangkah masuk ke lorong. Batu kembali menutup di belakangnya. Ia kini sendirian.

Lorong itu tidak panjang, tetapi terasa seperti berjalan menembus bayangan. Cahaya samar datang dari ujung, kuning keemasan. Saat Aji keluar, ia mendapati sebuah lembah kecil tersembunyi. Di tengahnya berdiri sebuah pondok tua, atapnya dari ijuk, dikelilingi patung-patung batu yang tidak sepenuhnya menyerupai manusia.

“Asing yang datang tanpa pintu,” terdengar suara dari dalam pondok, “biasanya mereka membawa berita buruk.”

Aji menelan ludah. “Aku Aji… dari Yawadwipa.”

Pintu pondok terbuka perlahan. Seorang pria tua muncul. Rambutnya panjang, sebagian terikat, matanya tajam seolah menembus dada Aji. Kulitnya lebih terang daripada orang Samosir kebanyakan, tapi garis wajahnya menyimpan kerasnya tanah Sumatera.

“Nama itu sudah lama bergaung,” kata pria itu. “Masuklah.”

Di dalam pondok, Aji melihat keris-keris tua tergantung, tulang-tulang hewan, dan beberapa benda yang sulit ia jelaskan bentuknya. Api kecil menyala di tengah.

“Kau mencari adikmu,” ucap pria itu datar. “Dan kau mencari dirimu sendiri, pastinya.”

“Apa kau Jaka Kerub?” tanya Aji.

Orang tua itu tersenyum samar. “Itu nama yang tersisa. Duduklah.”

Aji duduk perlahan. “Sari diambil makhluk gaib. Begu ganjang, atau semacamnya.”

Jaka Kerub menggeleng pelan. “Nama itu terlalu sederhana. Yang mengambil adikmu adalah sesuatu yang lebih tertarik padamu daripada pada dirinya.”

“Karena aku?” Aji mengepal tangan.

“Karena apa yang ada di dalammu.” Jaka Kerub menatap tepat ke mata Aji. “Kau ini seperti wadah yang bocor. Dunia-dunia lain mengintip lewat retakanmu.”

Aji terdiam. “Aku ingin menutup retakan itu kembali.”

“Tak bisa dengan mudahnya,” Jaka Kerub menjawab mantap. “Yang bisa kau lakukan hanya memilih. Antara memperlebar, atau mengarahkannya.”

“Bagaimana dengan Sari?”

Jaka Kerub meraih segenggam abu, menaburkannya ke api. Nyala api berubah biru sesaat. Dalam kobaran itu, tampak bayangan seorang gadis berjalan di sebuah tanah asing, dengan sosok tinggi berbayang mengikuti.

“Dia hidup,” kata Jaka Kerub. “Tapi waktu baginya tidak sama dengan waktumu lagi.”

Aji terengah. “Aku akan menjemputnya.”

“Bisa,” ujar Jaka Kerub. “Tapi dengan syarat.”

“Apa pun.”

“Kau harus turun sendiri,” ujar Jaka Kerub pelan. “Ke lapisan dunia tempat makhluk itu berumah. Tak ada Nawang Wulan, tak ada Regar, tak ada orang-orang dari Majapahit yang bisa menyelamatkanmu.”

Aji mengangguk tanpa ragu. “Kalau itu harga yang harus kubayar.”

Jaka Kerub tersenyum lelah. “Baiklah, jika demikian. Tapi ketahuilah, sekali kau melangkah ke sana dengan kesadaran penuh, kau tak lagi hanya pengembara waktu.”

“Aku akan menjadi apa?"

“Penjaga pintu,” jawab Jaka Kerub. “Dan pintu itu… tidak pernah sepi dari yang ingin masuk.”

Api kembali normal. Bayangannya pun hilang.

“Bersiaplah,” lanjut Jaka Kerub. “Malam ini, saat bulan berada tepat di atas Danau Toba. Dunia akan menipis.”

Aji berdiri. Dadanya penuh ketakutan, namun tekadnya lebih berat dari rasa gentar.

“Aku siap,” kata Aji.

Di luar pondok, angin mulai berputar lebih kencang. Jauh di seberang waktu, pun jauh dari Majapahit, sepertinya ada sesuatu ikut menggeliat, merasakan satu anak manusia kembali bersiap menantang batas dunia.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!