NovelToon NovelToon
The Thousand Faces Of The Demon Sage

The Thousand Faces Of The Demon Sage

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Action / Reinkarnasi / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:498
Nilai: 5
Nama Author: Demon Heart Sage

Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11 — Bisikan di Malam Hujan

Hujan turun dengan deras di luar, menimpa atap kayu kamar Wuyan dengan ritme yang nyaris seperti teriakan. Udara di dalam ruangan hangat, namun setiap tetes hujan yang menghantam jendela memantul di hatinya, seakan menegaskan kegelisahan yang terus mengalir di dalam dirinya. Shen Wuyan duduk bersila di lantai kayu, matanya terpejam, dan napasnya perlahan menyesuaikan dengan aliran Hun–Po yang ia rasakan. Malam itu, gelap lebih pekat daripada biasanya, kabut hujan menempel pada kaca, memutar bayangan bayangan samar dari cahaya lampu kristal yang menembus kegelapan.

Bayangan di sisinya hadir lebih nyata daripada sebelumnya. Ia bukan lagi sekadar siluet yang tersenyum, melainkan entitas yang berdiri di ambang kesadaran, menatap dengan intensitas yang membuat jantung Wuyan berdegup kencang. Suara bisikannya mulai bergema, menyusup ke setiap celah pikirannya.

“Kau tak bisa lagi menolak, Wuyan,” bisik bayangan itu, nadanya lebih tegas, menyerupai tuntutan. “Wajah pertama menunggumu. Ia bukan tamu lagi; ia adalah bagianmu. Menghindarinya hanya akan membuatmu lemah.”

Wuyan menggigit bibirnya, merasa adrenalin mengalir di tubuhnya. Po berontak, dorongan naluriah yang ingin menyerah pada kemudahan menerima wajah pertama, sementara Hun menahan, mencoba menyeimbangkan kesadaran dan moralnya. Ia menutup mata lebih erat, mencoba menenangkan diri, namun bisikan bayangan itu tidak berhenti.

“Lihatlah dirimu,” lanjut bayangan, “fragmentasi bukan kelemahan. Ia adalah kekuatan yang menunggu untuk kau kuasai. Jika kau menolak, aku akan mengambil alih sedikit demi sedikit, dan kau… kau akan kehilangan pijakanmu sendiri.”

Rasa takut menghantam dada Wuyan. Ia merasakan ketegangan internal, Hun dan Po beradu, fragmentasi wajah pertama berputar di dalam pikirannya seperti pusaran energi tak terkendali. Tubuhnya gemetar, namun ia mencoba menarik napas panjang, menenangkan aliran Hun–Po. Setiap tarikan napas adalah meditasi, setiap hembusan napas adalah peringatan pada dirinya sendiri: jangan biarkan fragmentasi itu menguasai.

Tetapi suara bayangan semakin agresif. Kini ia terdengar seperti gema, menggandakan tekanan psikologis Wuyan. “Kau pikir kau bisa menahan kami semua? Semakin kau menolak, semakin aku mengambil alih. Kau ingin tetap utuh? Kau tidak akan bisa. Wajah pertama adalahmu, dan aku adalah jiwamu yang lain. Terimalah, atau hancurlah.”

Wuyan membuka mata, menatap hujan yang menimpa jendela, namun pandangannya terasa terdistorsi, seperti kaca itu sendiri bergetar. Bayangan bergerak di tepinya, samar, namun jelas, seolah mengisi seluruh ruang dengan kehadiran yang memaksa. Ia menunduk, merasakan arus energi mengalir di lengannya, di dadanya, di pusat kesadaran, menandakan fragmentasi jiwa yang mulai aktif. Hun berteriak dalam kesadaran, Po mendesah, dan wajah pertama bergerak di pinggiran pikiran, tersenyum samar, menunggu penerimaan.

“Kenapa… kenapa aku harus menyerah?” Wuyan bersuara di batinnya, suaranya lembut namun penuh ketegangan. “Aku… aku masih ingin mempertahankan diri. Aku masih ingin menjadi aku sendiri…”

Bayangan tertawa, suara yang dingin dan menembus: “Itu yang kau pikirkan. Itu yang kau sebut ‘aku’. Tapi kau lupa, Wuyan… kau sekarang bukan lagi satu. Kau adalah beberapa, dan semakin kau menolak, semakin kami menuntut. Semakin kau menolak, semakin aku mengambil alih.”

Kamar itu terasa menutup di sekelilingnya. Suara hujan deras di luar seperti detak jantung raksasa yang menegaskan ketegangan. Wuyan menatap tangannya, melihat energi Hun–Po berputar di permukaan kulitnya, fragmentasi wajah pertama tampak seperti bayangan yang bergetar di bawah cahaya lampu. Tubuhnya bergetar, bukan karena dingin, melainkan karena tekanan psikologis yang menumpuk.

Ia mencoba memusatkan diri pada Hun, menenangkan fragmentasi internal, namun Po menolak, menarik energi dengan naluri yang liar. Bayangan tersenyum, menyadari ketegangan itu, dan dengan suara lembut namun mengancam berkata: “Setiap tarikan napasmu adalah kesempatan bagi kami untuk masuk lebih dalam. Setiap denyut jantungmu memberi ruang bagi fragmentasi. Kau ingin bertahan? Kau harus menyerah… pada kami. Itu satu-satunya jalan.”

Wuyan menutup mata lebih erat, mencoba mengulang teknik meditasi yang pernah diajarkan bayangan sebelumnya. Ia merasakan energi mengalir, namun fragmentasi wajah pertama semakin nyata, tidak lagi samar. Ia merasakan kehadiran Liang Yu di dalamnya, rasa bersalah, kesedihan, dan kenangan yang kini bercampur dengan kesadarannya sendiri. Setiap ingatan yang ia serap membuatnya semakin takut kehilangan diri.

“Hentikan,” bisik Wuyan dalam hati, berusaha menolak pengaruh fragmentasi, “aku… aku masih Wuyan…”

“Terlambat,” bayangan menyahut, kini suaranya lebih agresif, lebih menuntut, “semakin kau menolak, semakin aku mengambil alih. Kau tahu itu, dan kau masih mencoba melawan. Kau ingin bertahan sendirian? Kau akan terseret oleh kami semua.”

Suasana kamar terasa berputar, hujan di luar seperti badai yang mencerminkan ketegangan batin Wuyan. Ia merasakan aliran Hun menenangkan sebagian energi, namun Po menuntut, wajah pertama menatap, bayangan menekan — semuanya menjadi satu pusaran yang membuatnya hampir kehilangan pijakan.

Wuyan menutup mata, mencoba menenangkan setiap aliran, membagi perhatian antara Hun, Po, bayangan, dan wajah pertama. Ia menyadari bahwa penyerapan belum sempurna, bahwa konflik internal ini akan terus meningkat jika ia tidak menemukan keseimbangan. Bayangan tahu itu dan memanfaatkannya, mendorong, menekan, dan menuntut.

“Wuyan… dengarkan aku,” suara bayangan terdengar lebih dekat, seolah berada di dalam telinganya, “semakin kau menolak, semakin aku mengambil alih. Setiap saat yang kau tunda, setiap kali kau mencoba bertahan… aku masuk lebih dalam. Kau tahu itu. Dan kau… kau tidak punya pilihan lagi.”

Hujan terus mengguyur, suara atap dan jendela seperti ritme perang batin yang tidak berakhir. Wuyan menelan ludah, merasakan tekanan di dadanya, namun ia mencoba menenangkan diri. Ia tahu bahwa untuk bertahan, ia harus memahami fragmentasi, bukan menolaknya sepenuhnya. Hun harus menenangkan, Po harus diarahkan, dan bayangan serta wajah pertama harus diterima sebagian — bukan sepenuhnya, tetapi cukup agar ia tetap bisa memimpin kesadarannya sendiri.

Ia membuka mata, menatap gelapnya kamar, melihat bayangan bergerak di sudut, wajah pertama tersenyum samar, dan serpihan energi Hun–Po menari di udara. Semua menunggu keputusan Wuyan. Ia menarik napas panjang, mencoba memusatkan kesadaran, dan merasakan tekanan batin mulai stabil — meskipun hanya sedikit.

Dan di saat itu, bayangan mendekat, menatapnya dengan intensitas yang membuat seluruh tubuhnya merinding, suara lembut namun penuh ancaman terdengar jelas di batinnya:

“Semakin kau menolak, semakin aku mengambil alih.”

Kata-kata itu menggantung di udara, menekankan ketegangan psikologis, fragmentasi yang meningkat, dan konflik internal Wuyan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Malam hujan itu meninggalkan bekas yang dalam di kesadarannya, dan ia tahu bahwa perjalanan ke depan akan lebih gelap, lebih menegangkan, dan lebih sulit dari sebelumnya.

Wuyan menunduk, menatap permukaan kayu yang basah oleh uap hujan yang menempel. Setiap tetes yang menetes dari langit terasa seperti jarum, menusuk kesadarannya, mengingatkannya bahwa ia tak bisa lagi mundur. Bayangan itu, yang kini berdiri lebih dekat, seolah mengetahui setiap kelemahan dalam jiwanya. Energi Hun–Po berputar di tubuhnya, fragmentasi wajah pertama terasa semakin nyata, dan ketegangan batin seperti badai yang mengamuk di dalam dada.

Ia mencoba menenangkan napasnya, memusatkan pikiran pada ritme Hun yang lembut. Namun Po terus mengguncang, naluri yang menuntutnya menyerah, membiarkan wajah pertama dan bayangan menyatu sepenuhnya dalam kesadarannya. Setiap kali Wuyan menolak, bisikan bayangan menjadi lebih keras, lebih mendesak.

“Kenapa aku… kenapa harus menerima ini?” gumamnya di batin, hampir berbisik, “Aku masih ingin menjadi aku sendiri…”

Bayangan tersenyum sinis, bayangan samar namun tegas di sisinya: “Karena itu bukan lagi pilihan, Wuyan. Kau pikir kau bisa mempertahankan diri sepenuhnya? Kau telah menyerap, kau telah kehilangan sebagian dari dirimu. Semakin kau menolak, semakin aku mengambil alih. Kau akan hancur jika tetap menolak.”

Wuyan menutup mata, mencoba menenangkan diri, mencoba menyusun strategi untuk memusatkan Hun agar mengimbangi tekanan Po. Fragmentasi wajah pertama terasa seperti arus air yang menyesatkan, menggoyahkan pondasi identitasnya sendiri. Ia merasakan kehadiran Liang Yu di dalamnya, kenangan yang bercampur, rasa bersalah yang terus meningkat. Semua itu menambah tekanan emosional, memunculkan rasa takut yang hampir tak tertahankan.

Ia mencoba menenangkan diri dengan visualisasi energi: Hun mengalir seperti cahaya perak, menenangkan arus Po yang liar, menyeimbangkan fragmentasi yang mulai aktif. Bayangan memperhatikan setiap gerakan, menunggu momen kelemahannya, dan ketika Wuyan merasa sedikit tenang, suara itu kembali:

“Kau pikir cukup mengendalikan Hun–Po? Salah, Wuyan. Kau hanya menunda, bukan menghentikan. Setiap detik yang kau tunda, aku masuk lebih dalam. Setiap tarikan napasmu adalah peluang bagi kami untuk menaklukkan kesadaranmu.”

Jantung Wuyan berdebar lebih cepat. Ia merasakan aliran energi di dadanya, fragmentasi wajah pertama berputar semakin cepat, Po menuntut, Hun menahan, dan bayangan tersenyum, menyadari ketegangan yang ia ciptakan. Semua itu menekan kesadaran Wuyan, memaksanya untuk menghadapi dilema moral yang tak bisa dihindari: menyerah pada integrasi wajah pertama, atau terus melawan dan menghadapi risiko kehilangan kendali sepenuhnya.

Dengan napas gemetar, Wuyan berkata dalam hati, suaranya lemah namun tegas: “Aku… aku tidak akan menyerah sepenuhnya. Aku… akan memimpin, walaupun fragmentasi ini ada di dalam diriku. Aku… harus menyeimbangkan semuanya.”

Bayangan menatapnya, senyumnya melebar, kini lebih menyeramkan, seakan bangga dengan keberanian sekaligus kebodohan Wuyan. “Itu yang aku suka, Wuyan. Kau berani, tapi kau tak tahu batasmu. Kau pikir bisa menahan kami semua? Semakin kau menahan, semakin aku mengambil alih. Ingat itu, selalu.”

Hujan di luar tidak berhenti. Ritme tetesan di atap dan jendela seakan menyesuaikan dengan ketegangan batin Wuyan, menguatkan setiap bisikan, setiap fragmentasi, setiap ketakutan yang menumpuk. Wuyan merasa tubuhnya mulai panas, energi Hun–Po berputar cepat, wajah pertama mulai bergerak di pojok pikirannya, tersenyum, menunggu integrasi yang tak pernah ia minta sepenuhnya.

Ia menelan ludah, mencoba memusatkan energi ke pusat kesadarannya. Hun menenangkan arus, Po tetap bergolak, dan bayangan bergerak lebih dekat, menghadirkan tekanan psikologis yang luar biasa. Wuyan merasakan pusaran energi di perutnya, fragmentasi yang mulai terasa seperti entitas hidup yang ingin keluar. Ia menahan diri, menekankan kekuatan kesadaran, dan mencoba berbicara dalam batin kepada wajah pertama:

“Aku… aku tidak bisa membiarkanmu menguasai sepenuhnya. Tapi… aku tidak bisa menolak sepenuhnya juga. Kita… harus seimbang.”

Senyum wajah pertama melebar, bayangan tertawa, dan seluruh ruangan seolah bergetar. Fragmentasi terasa seperti gelombang air yang menghantam tubuhnya dari dalam, namun Wuyan menahan diri, memusatkan setiap tarikan napas, setiap aliran Hun–Po, setiap fragmen yang menunggu integrasi.

“Seimbang?” bisik bayangan, suara kini terdengar seperti gema di seluruh kamar, “Kau pikir seimbang mungkin? Kau akan terus tergoda, terus ditarik. Semakin kau menolak, semakin aku mengambil alih. Setiap kali kau menunda, setiap kali kau menahan… kau memberi kami ruang untuk tumbuh dalam dirimu.”

Wuyan menelan ludah lagi, ketegangan batin hampir membuatnya gemetar seluruh tubuh. Ia merasakan Po berontak, wajah pertama menekan, bayangan menertawakan ketidakberdayaannya. Namun ia mencoba menenangkan diri, menarik Hun untuk menyeimbangkan fragmentasi, merasakan arus energi yang menenangkan, dan sedikit demi sedikit, ia menemukan ritme baru — ritme di mana Hun menahan, Po diarahkan, dan wajah pertama diintegrasikan sebagian, tanpa kehilangan kendali total.

“Cukup…” gumamnya di batin, “Aku… akan menyeimbangkan semuanya. Aku Wuyan. Aku tidak akan hilang. Aku… akan memimpin fragmentasi ini, bukan sebaliknya.”

Bayangan berhenti sejenak, senyumnya melebar, kini campuran antara kepuasan dan ancaman. “Bagus… untuk sekarang. Tapi ingat, Wuyan, ini baru permulaan. Semakin kau menolak, semakin aku mengambil alih. Dan kami semua… akan menunggu saatmu lemah.”

Hujan malam itu terus mengguyur, suara atap dan jendela seperti detak jantung raksasa, mencerminkan ketegangan psikologis yang baru saja Wuyan alami. Ia duduk dalam diam, napasnya perlahan kembali stabil, energi Hun–Po berputar di tubuhnya, fragmentasi wajah pertama tertahan, namun masih menunggu, seperti makhluk hidup yang menunggu momen untuk menguasai.

Wuyan menunduk, merasakan campuran kelelahan, ketakutan, dan tekad yang luar biasa. Malam itu, ia belajar bahwa fragmentasi jiwa bukan hanya kekuatan; ia adalah ujian, dilema moral, dan tekanan psikologis yang tak bisa dihindari. Bayangan, wajah pertama, dan Po semuanya adalah bagian dari dirinya sekarang — musuh sekaligus guru. Dan ia harus menemukan jalan untuk menyeimbangkan semuanya, atau ia akan benar-benar terseret ke dalam kehilangan yang tak berujung.

Di tengah hujan deras dan kegelapan kamar, Wuyan menatap keluar jendela, melihat air yang menetes seperti rintik dendam dari langit. Ia menarik napas dalam-dalam, menutup mata, dan berbisik pelan:

“Aku Wuyan. Aku… akan memimpin fragmentasi ini. Aku tidak akan hilang. Aku… harus tetap utuh.”

Di luar, hujan terus mengguyur. Di dalam, bayangan tersenyum samar, wajah pertama menatapnya dari sudut batin, dan Po berputar dengan dorongan naluriah yang terus menekan. Semuanya menunggu. Dan Wuyan… kini benar-benar menyadari bahwa perjalanannya baru saja dimulai.

1
knovitriana
update Thor, jangan lupa mampir
knovitriana
keren Thor, jangan lupa mampir 🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!