Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senin Berdarah Cilok (Bagian 2)
“Gue lupa. Tapi ini lebih gila. DIA—NGASIH NOMOR WHATSAPPNYA. Secara sukarela. Secara dingin. Tapi juga kayak…ya ampun, gue nggak ngerti. Dia kayak… manusia.”
“Ya iyalah manusia. Apa lo kira dia Alpaca yang undercover nyari kolor buat eksperimen jadi manusia?”
“JANGAN NGOMONG KOLOR! Gue masih trauma! Tapi sumpah ya, pas dia bilang ‘lo bisa hubungi gue kalau butuh bantuan’ tuh… huh… perasaan gue kayak baru dibayar gaji tiga bulan sekaligus. Padahal cuma ngasih nomor!”
Rahma tertawa usil.
“Cie… mulai goyah nih!”
“Nggak, Ya Tuhan. Jangan sampe gue naksir. Dunia belum siap. Gue juga belum. Dompet gue jangan ditanya. Rasa malu gue juga belum sirna. Lagian…dia terlalu tenang. Terlalu… bener. Gak kayak cowok-cowok sbelumnya. Gak ada red flag. Itu mencurigakan.”
“Lebih mencurigakan mana dari Mas barista hot dekat komplek lo itu?”
Rahma langsung batuk-batuk karena ngakak.
Tapi tiba-tiba dia berhenti mendadak. Matanya melotot.
“Meisya, itu….”
Aku yang masih dalam euphoria tentang Felix, ikut berhenti.
“Hah? Apaan?”
Rahma mengarahkan tunjuknya ke samping dekat escalator.
“Calon laki gue. Bareng… cewek lain. Tangannya… pegang tangan cewek itu, Meisya. PEGANG!”
“Mungkin itu sepupunya? Teman masa kecil?”
Rahma tampak meledak. Nada suaranya naik 7 oktaf.
“Meisya, tangan dia itu udah menyatu. Itu bukan pegangan sepupu. Itu pegangan yang ada niat!”
Aku berusaha menenangkan Rahma yang sudah seperti hendak menelan seisi mall.
“Ma, sabar dulu…”
Dia makin marah. Sambil narik tasnya dengan tenaga penuh dendam. Dia melangkah cepat menuju kedua manusia tersebut.
“Enggak. Gue gak sabar. Hari ini adalah hari clarity. Gue akan mengklarifikasi semua sebelum dia menikah sama gue tapi pikirannya di perempuan lain.”
Dan begitu aja, Rahma melesat bak drama Korea episode klimaks. Membawa tasnya. Termasuk dompetku. Ponselku yang tadi aku titipan ke dia.
Lalu aku?
Berdiri kayak patung di depan tenant softlens.
Tujuh menit kemudian aku masih berdiri di tempat yang sama, menyaksikan Rahma yang sudah mulai naik volume suara.
“OH JADI GINI CARANYA LO, ANDIKA!” teriak Rahma sambil menunjuk-nunjuk cowok yang sekarang mukanya udah pucat kayak liat cicilan rumah bocor.
Lalu…
Felix muncul. Di sampingku tanpa suara.
Dengan hoodie gelap, celana jeans bersih, sepatu tanpa suara dan ekpresi I’m too cool for this world.
“Lo lagi nonton drama Live?” suaranya datar.
Aku hampir melompat karena kaget.
“YA AMP—Felix? Lo bisa gak sih muncul kaya manusia normal, bukan teleport dari bayangan pilar?”
Dia melirik kearah Rahma yang lagi marah-marah sambil tangannya main di udara.
“Siapa yang lagi ngamuk? Dia?”
Aku menghela nafas.
“Itu Rahma. Sahabat gue. Dia lagi ngelabrak calon suaminya…dan… mungkin calon pelakor.”
“Menarik. Mau duduk? Gue popcorn-in kepala gue dulu.”
Aku melongo, mencoba mencerna absurditas yang baru saja keluar dari mulutnya. Reaksinya bukan seperti yang aku harapkan. Aku kemudian ngakak.
“Gue juga butuh popcorn. Tapi yang lebih penting HP dan dompet gue. Yang sekarang…ya…lagi dibawa kabur oleh Rahma.”
Tiba-tiba, Rahma selesai marah. Dia ngeloyor pergi dengan gaya diva habis konser. Diikuti oleh Andika dengan panik. Lewatin aku tanpa kata. Tanpa salam. HP dan dompetku pun ikut.
Aku berdiri tertegun. Di tengah mall. Tanpa alat komunikasi. Tanpa uang. Tanpa martabat. Dan tidak bisa apa-apa selain menyesali keputusanku menitipkan hidupku padanya.
Aku melirik Felix. Dia tampak santai dengan permen di mulutnya. Nggak goyah. Kayak stand- up comedy di depan mayat hidup.
Aku ngucek tangan. Ragu untuk bicara.
“F-Felix… gue… boleh minjem duit gak?”
Dia menoleh. Ngedip pelan. Lalu menjawab dengan nada datar.
“Nggak.”
Hatiku mencelos. Bingung dan juga malu. Aku berdiri kaku kayak barcode scanner rusak. Tapi senyum kecil di sudut bibirnya berkata lain.
“Oke. Itu… beneran jawaban yang dingin. Kalau gitu gue berdiri di sini aja deh. Nunggu Rahma tenang dan sadar kalau dia bawa seluruh hidup gue.”
Felix tampak acuh. Dia udah lanjut jalan. Sepuluh Langkah. Tapi tiba-tiba berhenti. Balik badan.
“Lo gak ikut? Lo mau tidur di sini sampe sahabat lo ingat dia nyulik dompet dan HP lo?” dengan suara datar tapi nadanya nancep kayak tusukan silet.
Aku melangkah pelan-pelan dengan tatapan kosong. Menyerah.
“Gue ikut. Tapi, ini karena keadaan. Bukan karena lo keren atau semacamnya.”
Dia lanjut jalan. Bergumam dengan suara pelan.
“Kalau gue keren juga lo gak akan ngaku.”
Dan begitulah…
Aku mengikuti Felix menuju mobilnya… kayak bebek.
Bebek yang baru kehilangan martabat dan ciloknya.
Di mobil Felix. Saat aku membuka kursi penumpang, isinya kayak dunia parallel tempat ketenangan jadi konsep hidup. Tapi bersih. Dan wangi yang sama yang tercium saat aku berada di dekatnya.
Aku duduk di jok penumpang sambil meresapi kenyataan.
Cilok gagal.
Drama Mall Rahma.
Dompet hilang.
Harga diri? Ya… setengahnya udah ke bawah escalator.
Felix duduk tenang di sebelah, nyetir dengan satu tangan, tangan satunya ngelurusin hoodie-nya.
Aku gelisah. Dan dengan suara pelan aku mulai membuka pembicaraan.
“Lo beneran tega ya tadi nolak gue pinjem duit, gue udah tau sedingin apa lo, tapi ini lebih gak manusiawi gak sih?”
“Gue bilang ‘enggak’ dulu. Biar lo belajar ngereset ekspektasi.” Jawabnya dengan mata fokus ke jalan tapi aku bisa melihat bibirnya sedikit terangkat.
“Ekspektasi apa? Bahwa temen yang muncul kayak hantu di mall bisa nolong lo dari krisis eksistensial pas kehilangan dompet?”
Dia mengangguk pelan. Tapi masih menjawab dengan suara datar.
“Yap. Dan sekarang lo naik mobil gue. Jadi… siapa yang menang?”
Aku mencibir seperti ikan cupang yang nyari udara.
“Menang sih enggak. Cuma… bisa gak sih lo lebih manusiawi? Gimana bisa lo ninggalin cewek se-polos dan se-murni gue di mall sendirian? Gimana kalau gue di culik?”
Dia diam. Tapi aku bisa lihat kalau dia sedang menahan tawanya yang aku yakini adalah tawa ejekan.
“Lo sedingin freezer frozen food. Lo pasti gampang banget ‘bekuin hati cewek-cewek yang nge-crushin lo.”
Kali ini dia tersenyum. Tipis. Nyaris tidak terlihat. Tapi aku bisa merasakan kalau dia tidak marah dengan komentarku. Setelah sepersekian detik, dia buka suara.
“Kalau gue freezer, lo microwave. Ribut, dikit-dikit meledak.”
Tentu saja jawabanya terdengar sarkas di telingaku. Aku membuang muka ke samping.
“Lo tuh… kayak nyetir jalan tol ke neraka. Tenang tapi nyesek.” Gerutuku pelan.
Tapi Felix acuh dan terus menatap lurus ke depan.
Setelah drama mobil yang penuh sarkasme lembut ala Felix, aku sampai di rumah dengan perasaan setengah kesal, setengah lega.
Rahma udah di sana. Duduk kalem sambil makan mi instan kayak nggak abis ngelabrak cowok dua jam yang lalu.
Dompet dan HP ku sudah ada di meja.
Aku masuk rumah sambil lepas sepatu kayak jiwaku terhisap realita. Lalu dengan nada tinggi dan tangan di pinggang aku berteriak,
“RAHMA. LO TUH BAWA HIDUP GUE DALAM BENTUK FISIK.”
Dia menyeruput kuah mie. Lalu lanjut dengan sesendok besar mie sampai mulutnya penuh.
“Sorry, Bro. Gue lagi emosi tadi. Tapi gue berhasil bikin dia keringetan segentong. Bener-bener kayak sinetron indosiar.” Jawabnya tanpa rasa bersalah.
Aku mendengus layaknya sapi yang hendak di kurbankan. Lalu mengambi dompet dan HP ku dengan dramatis.
“Gue hampir jual kehormatan ke Felix gara-gara lo, tau gak sih? Dia tuh nolak buat mimjemin duit ke gue. GUE. CEWEK YANG LAGI MALANG INI.”
Dia nelen mie kemudian tertawa ngakak.
“Untung akhirnya dia mau nganter gue pulang.”
“Felix pasti nyetir sambil doa sabar. Bawa lo pulang tuh kayak rescue mission NASA.”
“Lo kayaknya suka banget ngetawain nasib gue. Gue korban di sini!”
Dia masih tertawa sampai-sampai dia harus mengusap air mata yang mengalir di pipinya.
“Soalnya lo tuh lucu banget. Felix tuh mau ngater lo karena dia… care.”
Aku mendengus kasar. Mendumel sambil membuka boba yang masih utuh di atas meja.
“Care? Itu manusia kalau care ekspresinya minimal kayak CPU yang loading. Tapi ya…dia udah mau bawa gue pulang sih. Jadi… mungkin… dia gak seburuk itu.”
“Lo mulai suka, ya?” tuduhnya sambil mengangkat alis penuh curiga.
Aku cepat-cepat menyesap boba, “Gak! Ngapain gue suka sama cowok dingin dengan tampang hacker gitu? Bisa-bisa gue jadi beruang kutub.”
Dia nyengir tapi matanya masih disipitkan pertanda dia masih curiga dengan ku. Kemudian dia angkat kedua bahunya.
“Sure, Meisya. Sure.”