NovelToon NovelToon
Blood & Oath

Blood & Oath

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Tentara / Perperangan / Fantasi Timur / Action / Fantasi / Balas dendam dan Kelahiran Kembali
Popularitas:671
Nilai: 5
Nama Author: Ryan Dee

Tharion, sebuah benua besar yang memiliki berbagai macam ekosistem yang dipisahkan menjadi 4 region besar.

Heartstone, Duskrealm, Iron coast, dan Sunspire.

4 region ini masing masing dipimpin oleh keluarga- yang berpengaruh dalam pembentukan pemerintahan di Tharion.

Akankah 4 region ini tetap hidup berdampingan dalam harmoni atau malah akan berakhir dalam pertempuran berdarah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ryan Dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Act 7 - Blood of the sea

Kembali ke Iron Coast

Pov: James

Setelah hampir semalaman berlari tanpa henti, akhirnya kami tiba di ujung sungai. Laut biru terbentang luas di hadapan kami, ganas dan tak berujung. Bau asin dari air laut menyeruak kuat di udara, sementara hembusan angin menghantam tubuh, seolah memperingatkan kami untuk menjauh.

Meskipun kami sudah menempuh jarak begitu jauh, tak satu pun dari kami menunjukkan tanda kelelahan - semua berkat pelatihan keras di Frostmarch, tempat kami dulu mengasah tubuh dan tekad bersama.

Kami berjalan beriringan, terus menatap ke belakang, khawatir para knight masih mengikuti dari jauh.

> "Menurutmu... kita berhasil lolos?" tanya Sandel, napasnya mulai teratur kembali.

"Entahlah," jawabku pelan. "Tapi yang pasti, kita harus terus bergerak. Cari tempat aman dulu."

"Dan setelah itu... kita pikirkan cara menyelamatkan Zein," lanjutku.

Sandel menatapku, lalu tersenyum samar.

> "Aku tahu tempat yang aman."

Kami mengikuti arah yang ia tunjukkan hingga tiba di sebuah desa kecil di pesisir pantai - jauh dari Greywind Beach. Angin laut di sini lebih lembut, membawa aroma rumput laut dan kayu basah. Sandel menunjuk pada sebuah rumah tua di pinggiran desa. Meski tampak rapuh dimakan waktu, rumah itu masih berdiri kokoh dan terawat.

> "Ini rumah keluargaku," katanya sambil membuka pintu.

Begitu kami melangkah masuk, udara hangat dari perapian langsung menyambut. Api yang menari di balik jeruji besi menerangi ruangan, memberi warna oranye lembut pada dinding kayu yang tua. Di meja makan, seorang gadis tengah menata piring sambil dibantu Sandel.

> "Kalian duduklah. Aku dan adikku akan menyiapkan semuanya," ucap Sandel sambil tersenyum.

Gadis itu bertubuh mungil, berambut coklat panjang yang diikat seperti ekor kuda. Matanya berwarna coklat terang, serasi dengan rambutnya.

> "Aku tidak tahu kau punya adik, Sandel," ucap Galland, setengah kagum.

"Kau tidak pernah bertanya," jawab Sandel ringan.

Galland menatap gadis itu dengan pandangan yang terlalu lama. Celeste menyadarinya dan tanpa berkata-kata menendang kaki Galland di bawah meja.

> "Jaga matamu," katanya dingin.

Aku tak bisa menahan tawa kecil. Untuk sesaat, rasanya seperti kami telah kembali ke rumah - seolah semua kelelahan dan ketegangan perjalanan panjang itu lenyap. Tapi di balik kehangatan itu, pikiranku tetap melayang pada Zein. Ia kini terkurung di penjara Greywind, dan entah apa yang dilakukan para knight padanya.

Satu hal yang pasti: aku akan membebaskannya.

---

Greywind Beach Prison - Sehari Setelahnya

Pov: Torren

Pagi itu, seorang knight datang dengan kabar mengejutkan:

Erick dan timnya berhasil menangkap salah satu buronan dari kelompok James.

Tanpa buang waktu, aku segera menaiki kudaku dan bergegas menuju penjara di Greywind. Angin pagi mencambuk wajahku ketika derap langkah kuda menggema di antara pepohonan, cepat dan keras - seperti detak jantung sebelum pertempuran.

Begitu tiba, aku langsung menuju sel tempat tawanan itu ditahan.

Di dalam sana, seorang pria bertubuh besar duduk diam. Tak ada ketakutan di wajahnya - hanya ketenangan aneh yang membuat suasana terasa tegang. Saat aku melangkah lebih dekat, ia berdiri, menatapku lurus dari balik jeruji.

> "Kau pasti komandannya," katanya dengan suara berat.

"Ya," jawabku singkat. "Kudengar kau menolak bicara dengan siapa pun. Maka dari itu aku datang sendiri."

Tatapan kami saling terkunci, seakan mencoba membaca isi kepala satu sama lain.

> "Kenapa kau melakukan itu?" tanyaku.

"Melakukan apa?" ujarnya datar.

"Menyerang Draco dan keluarganya."

Ia menunduk sebentar, lalu tersenyum tipis.

> "Aku tak menyangka seorang komandan pasukan elit mudah percaya pada cerita dari satu sumber."

> "Justru itu sebabnya aku datang," jawabku tegas. "Aku ingin memastikan kebenaran di baliknya."

Senyumnya memudar, berganti dengan ekspresi serius.

> "Kami sedang menjalankan misi pengintaian. Ada aktivitas mencurigakan di kota itu. Tapi seseorang menemukan kami, dan mereka menyerang lebih dulu. Kami hanya membela diri."

Ia berhenti sejenak, lalu menatapku tajam.

> "Apapun yang Draco katakan padamu, itu tidak sepenuhnya benar. Mungkin kami tak punya bukti, tapi aku yakin mereka sedang merencanakan sesuatu... sesuatu besar."

"Termasuk membunuh Lord Victor?"

"Ya. Itu langkah pertama mereka. Sebuah percikan untuk menyalakan perang antara Frostmarch dan Duskrealm."

Aku menarik napas dalam.

> "Aku tak bisa mempercayaimu begitu saja - tidak tanpa bukti."

"Kalau begitu, lepaskan aku," katanya mantap. "Biarkan aku kembali ke teman-temanku. Kami akan menemukan buktinya sendiri."

Tiba-tiba, suara sirene menggema dari arah pantai. Aku menoleh cepat.

> "Aku akan kembali kemari nanti," ucapku sebelum berbalik meninggalkan sel.

---

Aku memacu kudaku secepat mungkin, derap kukunya menghantam tanah basah hingga memercikkan lumpur ke udara. Suara sirine dari menara penjaga bergema di kejauhan-pertanda bahaya datang dari arah pantai.

Tembok besar yang selama ini menjadi satu-satunya benteng melawan para Thal'kren menjulang di depan mata. Asap tipis masih mengepul dari celah dinding yang belum sepenuhnya diperbaiki-lubang besar sisa serangan beberapa minggu lalu.

Para penjaga di gerbang melihatku datang dan segera membuka pintu baja itu. Aku melewatinya tanpa memperlambat laju kuda sedikit pun.

Tangga batu di sisi timur tembok membawa langkahku ke atas, di mana suara teriakan dan deru panah terdengar saling bersahutan. Salah satu knight segera menghampiriku, wajahnya pucat dan mata bergetar.

> "Para Thal'kren kembali menyerang, Komandan! Tapi kali ini... mereka berbeda."

Aku menatap ke bawah dari atas tembok.

> "Berbeda bagaimana?"

> "Jumlah mereka lebih sedikit dari biasanya-tapi mereka membawa senjata."

Alisku berkerut. "Senjata?"

Dari atas tembok aku bisa melihatnya dengan jelas. Barisan Thal'kren berkulit abu kehijauan itu bergerak rapi seperti pasukan terlatih. Kulit keras mereka kini membentuk lapisan seolah-olah sebuah armor, dan di tangan mereka tergenggam tombak serta perisai besi berkarat-seperti senjata manusia yang telah lama tenggelam di dasar laut.

Mereka berbaris dalam formasi. Tidak lagi berlari liar seperti binatang.

> "Pemanah! Siapkan posisi!"

Aku mengangkat tangan, dan lusinan busur teracung ke udara.

> "Lepas!"

Ratusan anak panah melesat, menghujani pasukan di bawah. Tapi dengan gerakan serentak, Thal'kren itu mengangkat perisainya. Bunyi logam dan kayu beradu menggema keras-tidak satu pun panah menembus pertahanan mereka.

Mereka terus melangkah maju, tenang... teratur.

Aku menuruni tangga, menghampiri pasukan elitku.

> "Panggil Silver Sentinel! Temui aku di luar tembok!"

Dua puluh lima knight terbaik Tharion bersiap. Senjata disarungkan, perisai disusun membentuk barisan rapat. Aku memimpin mereka keluar dari gerbang, ke tanah lapang yang dipenuhi kabut asin dari laut.

> "Persiapkan diri kalian!" seruku. "Thal'kren ini bukan makhluk yang sama seperti sebelumnya."

Kami membentuk formasi pertahanan. Aku menempatkan diri di garis depan, tombak di tangan kanan, perisai di kiri, pedang tergantung di pinggang.

> "Berapa jumlah mereka?" tanyaku pada knight di sampingku.

> "Sekitar lima puluh, Komandan."

Cukup sedikit-tapi aura mereka membuat udara di sekitarnya terasa berat.

Aku memastikan barisan rapi ketika seseorang berlari tergesa di belakangku. Erick.

> "Maaf, Komandan! Aku sedikit telat!" katanya, terengah.

Aku tak menjawab. Hanya memberi isyarat agar ia segera masuk ke formasi.

Pasukan Thal'kren berhenti beberapa langkah di depan kami. Dari tengah barisan mereka, satu makhluk lebih besar melangkah maju. Kulitnya tebal seperti baja, dan matanya-biru menyala di bawah sinar bulan. Ia mengangkat tombaknya tinggi-tinggi, lalu menancapkannya ke tanah, tanda bahwa ia tidak datang untuk menyerang.

> "Tahan posisi!" perintahku.

Aku keluar dari barisan, berjalan menembus kabut asin hingga berdiri beberapa langkah dari makhluk itu.

Suara nafasnya berat. Matanya menatapku tajam.

> "K-kembalikan Thalia," suaranya berat, bergema seperti guruh di langit.

Aku menatapnya, sedikit terkejut mendengar makhluk itu berbicara dalam bahasa manusia.

> "Thalia? Siapa itu?" tanyaku.

Tombaknya menghantam tanah hingga tanah di sekitarnya bergetar.

> "Thal'kren yang kau tangkap!" raungnya.

Aku mengernyit. "Kau ingin aku melepaskannya? Setelah semua pembantaian yang bangsa kalian lakukan?"

> "Kami hanya ingin mengambil apa yang menjadi hak kami," jawabnya tegas.

> "Apa maksudmu?"

> "Kami mencari Andorin."

Aku mematung mendengar kata itu. Nama yang juga disebut oleh makhluk lain yang kami tangkap.

> "Jadi benar kalian mencarinya... tapi apa sebenarnya Andorin itu?"

Tatapannya menajam.

> "Jadi benar kalian telah menangkapnya..." katanya pelan, lalu berteriak, "Lepaskan dia! Atau kalian semua akan hancur!"

Tombaknya kembali menghantam tanah.

Aku menegakkan tubuh. "Jika kami melepaskannya pun, kalian takkan berhenti menyerang, bukan?"

Ia terdiam. Lalu raungannya meledak mengguncang udara. Dari belakangnya, seluruh pasukan Thal'kren berteriak bersahutan, menghantam perisai dan tombak mereka hingga bumi bergetar.

> "Bersiaplah untuk hancur!"

Ia berbalik menuju pasukannya, dan aku pun berlari kembali ke formasi.

> "Semua pasukan, bersiap!" teriakku.

> "Pemanah! Lepas!"

> "Formasi bertahan!"

Derap langkah Thal'kren mengguncang bumi, kabut menebal, udara menjadi berat.

> "Bersiap untuk benturan!"

Suara raungan dan logam beradu menggema bersamaan ketika dua kekuatan besar saling bertabrakan di bawah langit kelam Greywind.

---

"Di mana pasukan bantuan dari Heartstone saat kami sangat membutuhkannya..." gumamku dalam hati, menggertakkan gigi.

"Dua puluh lima Silver Sentinel melawan lima puluh Thal'kren... dan aku bahkan belum tahu seberapa kuat mereka sebenarnya."

Para Thal'kren itu terus berlari ke arah kami, formasi mereka tetap rapat. Tidak satu pun dari mereka kehilangan ritme.

DAR!

Suara perisai saling bertabrakan menggema di seluruh pantai. Benturan itu begitu keras hingga formasi kami terseret beberapa langkah ke belakang, pasir beterbangan menutupi pandangan.

"Argh... kuat sekali!" aku mendesis dalam hati, menahan dorongan mereka dengan seluruh tenaga.

> "Tahan!" teriakku.

Otot-otot kami menegang.

> "Sekarang!"

Kami menghentakkan kaki bersamaan lalu mendorong sekuat tenaga. Barisan Thal'kren itu terdorong mundur, beberapa di antaranya kehilangan keseimbangan. Aku menghantamkan perisaiku ke atas, membuat dua dari mereka terlempar ke udara dan jatuh keras ke pasir.

> "Lapisan pertama, mundur!"

Barisan depan segera mundur ke belakang, berganti dengan lapisan kedua yang sudah menundukkan tombak mereka, siap menyambut serangan berikutnya.

> "Formasi bulan!"

Barisan lurus kami perlahan melengkung, membentuk setengah lingkaran seperti bulan sabit. Dari celah perisai, tombak-tombak diluncurkan bertubi-tubi-menembus armor musuh, memantul, menimbulkan percikan api dan suara logam yang bergema di udara asin pantai.

Dari belakang, pasukan cadangan melompati garis depan dengan pedang terhunus, menebas cepat dan presisi. Jeritan dan raungan bercampur jadi satu.

Aku bertarung di garis terdepan. Formasi yang tadinya teratur kini berubah menjadi kekacauan total.

Thal'kren di hadapanku menebas dengan kekuatan luar biasa, tapi aku menangkis dan membalas dengan tiga tebasan cepat. Dua di antaranya memantul di armornya, tapi yang ketiga menembus celah di lehernya-darah biru menyala memancar ke udara.

> "Perhatikan titik lemah mereka!" teriakku. "Setiap Thal'kren punya titik lemah di tempat yang berbeda!"

Aku menangkis satu serangan dari samping, tapi makhluk itu lebih cepat. Tendangannya menghantam dadaku dan aku terpental ke belakang, perisai terlepas dari tangan.

Tanah terasa berputar sesaat. Saat aku mencoba bangkit, Thal'kren itu sudah mengangkat tombaknya, siap menusuk.

TANG!

Suara logam menghantam logam.

Pedang Erick menebas sisi kepala Thal'kren itu. Tebasan pertama tak menembus, tapi makhluk itu terhuyung kesakitan. Erick terus menekan, serangan demi serangan menghantam armor musuh tanpa henti-hingga akhirnya satu tusukan cepatnya menembus helm dan kepala Thal'kren itu pecah menyemburkan darah biru menyala.

Erick menoleh ke arahku, wajahnya berlumur pasir dan darah.

> "Bangkit, Komandan!"

Aku meraih tangannya dan berdiri kembali. Kami bertarung saling menutupi punggung, menahan gelombang serangan yang tak berakhir.

Namun perlahan pasukanku mulai kewalahan. Dua banding satu, dan setiap Thal'kren lebih kuat dari dua manusia biasa. Satu per satu knight tumbang. Nafasku terengah, tanganku mulai gemetar menahan berat pedang.

> "Mundur!! Atur ulang formasi!"

Aku berteriak sekuat tenaga. Kami berlari menembus kabut pertempuran, membawa mereka yang masih bisa berdiri. Pasir bercampur darah memenuhi langkah kami.

Tapi para Thal'kren itu tidak mengejar. Mereka hanya berdiri di kejauhan, mengamati kami. Beberapa di antaranya tersenyum... bahkan tertawa-seolah menikmati penderitaan kami.

DUAR!

Ledakan cahaya dari langit memecah keheningan. Semua mata menatap ke atas.

Cahaya merah keperakan mekar di udara-sebuah sinyal panah suar yang meledak di langit kelam.

Aku terdiam sejenak, napas tersengal.

> "Sinyal dari Heartstone..." ucapku lirih. "Apakah mereka akhirnya datang?"

1
Mr. Wilhelm
kesimpulanku, ini novel hampir 100 persen pake bantuan ai
Ryan R Dee: sebenernya itu begitu tuh tujuannya karena itu tuh cuma sejenis montage gitu kak, kata kompilasi dari serangan disini dan disana jadi gak ada kata pengantar buat transisi ke tempat selanjutnya, tapi nanti aku coba revisi ya kak, soalnya sekarang lagi ngejar chapter 3 dulu buat rilis sebulan kedepan soalnya bakalan sibuk diluar nanti
total 7 replies
Mr. Wilhelm
transisi berat terlalu cepat
Mr. Wilhelm
Transisinya jelek kyak teleport padahal narasi dan pembawaannya bagus, tapi entah knapa author enggak mengerti transisi pake judul kayak gtu itu jelek.
Ryan R Dee: baik kak terimakasih atas kritik nya
total 1 replies
Mr. Wilhelm
lebih bagus pakai narasi jangan diberi judul fb kek gni.
Mr. Wilhelm
sejauh ini bagus, walaupun ada red flag ini pake bantuan ai karena tanda em dashnya.

Karena kebnyakan novel pke bantuan ai itu bnyak yg pke tanda itu akhir2 ini.

Tapi aku coba positif thinking aja
perayababiipolca
Thor, aku hampir kehabisan kesabaran nih, kapan update lagi?
Farah Syaikha
🤔😭😭 Akhirnya tamat juga, sedih tapi puas, terima kasih, author.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!