Cinta seharusnya tidak menyakiti. Tapi baginya, cinta adalah awal kehancuran.
Yujin Lee percaya bahwa Lino hanyalah kakak tingkat yang baik, dan Jiya Han adalah sahabat yang sempurna. Dia tidak pernah menyadari bahwa di balik senyum manis Lino, tersembunyi obsesi mematikan yang siap membakarnya hidup-hidup. Sebuah salah paham merenggut persahabatannya dengan Jiya, dan sebuah malam kelam merenggut segalanya—termasuk kepercayaan dan masa depannya.
Dia melarikan diri, menyamar sebagai Felicia Lee, berusaha membangun kehidupan baru di antara reruntuhan hatinya. Namun, bayang-bayang masa lalu tidak pernah benar-benar pergi. Lino, seperti setan yang haus balas, tidak akan membiarkan mawar hitamnya mekar untuk pria lain—terutama bukan untuk Christopher Lee, saudara tirinya sendiri yang telah lama mencintai Yujin dengan tulus.
Sampai kapan Felicia harus berlari? Dan berapa harga yang harus dibayar untuk benar-benar bebas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Cahaya keemasan senja merangkak malas melalui jendela-jendela tinggi di Perpustakaan Pusat Universitas Hanseong, menciptakan garis-garis siluet panjang di antara rak-rak buku yang menjulang. Suasana di lantai dua, area khusus jurnal dan publikasi hukum, seharusnya terasa sunyi dan fokus. Namun, bagi Lee Lino, area ini hanyalah tempat persembunyian yang sempurna.
Lino Lee adalah mahasiswa tingkat akhir Hukum, ia duduk di meja sudut yang terisolasi, berpura-pura serius membaca laporan kasus konstitusi. Secara fisik, ia adalah gambaran ideal: wajah cerdas, rahang tegas, dan pembawaan yang tenang. Ia adalah mahasiswa berprestasi, calon pengacara sukses, dan kekasih Han Jiya.
Namun, di balik citra yang nyaris sempurna itu, tersembunyi kekosongan yang dingin.
Matanya yang tajam tidak tertuju pada teks-teks hukum di hadapannya. Tatapannya terkunci pada lantai satu, pada area umum perpustakaan, di mana Yujin duduk di salah satu meja komunal, sibuk dengan laptop dan buku sketsa.
Yujin tidak sendirian disana.
Di seberangnya, Kim Taehyung, sang dosen stylish, tengah membungkuk sedikit ke arah Yujin, sesekali menunjuk layar laptop Yujin, diselingi tawa renyah yang bahkan terdengar samar hingga ke lantai dua. Mereka jelas sedang membahas pekerjaan butik Vanté, jauh melampaui urusan akademis murni.
Napas Lino tertahan di tenggorokan. Gelombang kemarahan dingin menyapu dirinya, memadamkan ketenangan palsu yang ia ciptakan. Ia mencengkeram sampul buku tebal di bawah tangannya, buku yang sama sekali tidak ia baca sedari tadi, hingga buku itu berkerut tipis.
𝘒𝘦𝘯𝘢𝘱𝘢 𝘥𝘪𝘢 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪 𝘥𝘦𝘬𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢?
Ini bukan kali pertama Lino mengamati adegan ini. Sejak Yujin memulai pekerjaan sampingannya dengan Taehyung, Lino telah menjadikan kegiatan mengintai ini sebagai ritual pribadinya. Ia datang ke kampus dengan dalih belajar atau rapat organisasi Hukum, padahal tujuan utamanya adalah memastikan Yujin tidak 'dicuri' oleh pria lain.
"𝘋𝘪𝘢 𝘮𝘪𝘭𝘪𝘬𝘬𝘶. 𝘚𝘦𝘫𝘢𝘬 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢, 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘥𝘪𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘥𝘪 𝘨𝘦𝘳𝘣𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘮𝘱𝘶𝘴 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘵𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘶𝘩 𝘥𝘶𝘬𝘢, 𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘥𝘪𝘢 𝘥𝘪𝘵𝘢𝘬𝘥𝘪𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬𝘬𝘶. 𝘋𝘪𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘫𝘪𝘸𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘳𝘶𝘴𝘢𝘬 𝘥𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘣𝘢𝘪𝘬𝘪𝘯𝘺𝘢."
Lino mencondongkan tubuhnya, berusaha mendengar tawa Yujin, suara yang selalu terdengar renyah dan jujur. Tawa yang tak pernah ia dengar saat Yujin bersamanya.
"𝘛𝘢𝘱𝘪 𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘥𝘪𝘢 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨. 𝘋𝘪𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘵𝘢𝘸𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘪 𝘣𝘦𝘥𝘦𝘣𝘢𝘩 𝘪𝘵𝘶. 𝘒𝘪𝘮 𝘛𝘢𝘦𝘩𝘺𝘶𝘯𝘨, 𝘴𝘪 𝘱𝘦𝘤𝘶𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘨𝘶𝘯𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘵𝘰𝘳𝘪𝘵𝘢𝘴𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘥𝘰𝘴𝘦𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘬𝘢𝘵𝘪 𝘮𝘢𝘩𝘢𝘴𝘪𝘴𝘸𝘪 𝘮𝘶𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘰𝘭𝘰𝘴. 𝘋𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘰𝘣𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘶𝘳𝘪 𝘠𝘶𝘫𝘪𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘮𝘱𝘶𝘳𝘯𝘢, 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘶𝘢𝘵𝘶𝘳."
Kebencian Lino pada Taehyung bukan hanya cemburu. Kebenciannya berakar pada keyakinan bahwa pria lain tidak layak menerima perhatian tulus dari Yujin. Hanya dirinya, Lino, yang memahami kedalaman jiwa Yujin yang sepi.
Ia melirik jarinya, tempat ia seharusnya mengenakan cincin pasangan dari Jiya. Ia tidak pernah memakainya. Mengapa harus? Cincin itu adalah simulasi, hanyalah perwujudan dari jembatan yang harus ia lalui untuk mencapai harta karun utamanya—Yujin.
Jiya adalah kekasihnya serta sahabat Yujin, adalah figur yang mudah ia kendalikan. Jiya terlalu cinta dan terlalu percaya padanya. Lino hanya perlu memberikan perhatian secukupnya, dan Jiya akan memberinya informasi tentang Yujin, tentang apa kegiatan Yujin, bahkan tentang kekhawatiran Yujin yang mendalam.
Jiya hanyalah alat. Taehyung adalah ancaman nyata.
Lino ingat bagaimana Yujin berusaha menjaga jarak darinya sejak insiden 'percikan api' yang membuat Jiya cemburu. Yujin tidak pernah menerima bantuannya, selalu sopan namun dingin, menolak semua ajakannya.
Tapi dengan Christopher, Yujin sangat terbuka. Dengan Taehyung, Yujin tampak nyaman.
Perasaan tidak dihargai oleh Yujin adalah racun yang merayap di pembuluh darah Lino. Ia telah mengorbankan waktu dan emosinya, mempertahankan sandiwara dengan Jiya, merancang strategi mendekati Yujin, tetapi Yujin tetap menolak kehadirannya.
"Kau akan menyesalinya, Yujin. Kau akan tahu betapa bodohnya kau mengandalkan pria-pria lain. Mereka tidak akan pernah mencintaimu seperti aku mencintaimu. Cintaku lebih besar dan lebih dalam, bahkan lebih kekal."
Kata 'kekal' itu adalah delusi. Baginya, mencintai Yujin berarti memilikinya sepenuhnya, mengendalikan setiap aspek kehidupannya, dan menghilangkan semua pengaruh luar, termasuk Taehyung dan terutama Christopher.
Ia menyaksikan Taehyung menyentuh bahu Yujin, mungkin karena bercanda atau hanya memberi arahan desain. Namun, bagi Lino, itu adalah tanda kepemilikan yang tidak sah. Tangannya mengepal di bawah meja.
𝘈𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘢𝘱𝘶𝘴 𝘴𝘦𝘯𝘵𝘶𝘩𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶. 𝘈𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘴𝘵𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘳𝘪𝘢 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘯𝘵𝘶𝘩𝘮𝘶 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘵𝘶, 𝘬𝘦𝘤𝘶𝘢𝘭𝘪 𝘢𝘬𝘶.
Taehyung berdiri, memberi isyarat kepada Yujin untuk membereskan barangnya. Pertemuan mereka sudah selesai.
Lino segera mengambil langkah. Ia harus bergerak sekarang, sebelum Yujin dan Taehyung meninggalkan perpustakaan bersama. Ia bangkit, melangkah ke lorong Hukum, kemudian turun menggunakan tangga darurat untuk memotong jalur.
Ia mencapai lantai dasar tepat saat Yujin keluar dari area perpustakaan, berjalan menuju loker untuk mengambil mantelnya. Taehyung sudah berada di luar, menunggu di mobilnya.
Saat Yujin mendekati loker, Lino melangkah keluar dari bayangan pilar.
"Yujin," panggil Lino, nadanya ramah dan terkesan kebetulan.
Yujin terkejut. Ia menoleh, ekspresi wajahnya seketika berubah menjadi waspada, berusaha menyembunyikan rasa risihnya.
"Lino Oppa," sapa Yujin sopan. "Ada apa?"
Lino tersenyum, senyum yang disempurnakan selama bertahun-tahun di depan cermin. Senyum yang selalu berhasil menipu Jiya.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya melihatmu dari jauh. Kau terlihat lelah sekali," kata Lino, mendekat satu langkah. "Sejak bekerja dengan Dosen Kim, kau terlihat terlalu memaksakan diri."
Yujin mundur selangkah, menciptakan jarak yang nyaman. "Aku baik-baik saja, Oppa. Ini hanya tuntutan pekerjaan dan tugas kuliah."
"Kau tahu, kau tidak perlu memaksakan diri seperti ini," Lino merendahkan suaranya, memancarkan kepedulian palsu. "Aku bisa membantumu. Aku kenal beberapa kenalan yang bisa membuat portofolio desain yang sempurna untuk tugas kuliahmu. Gratis, tentu saja."
Yujin menggeleng tegas. "Terima kasih banyak, Oppa. Tapi aku tidak bisa menerima bantuan semacam itu. Aku harus mengerjakannya sendiri."
Penolakan itu menusuk Lino, namun ia tidak menunjukkannya. Ia sudah terbiasa dengan penolakan sopan Yujin.
"Kau terlalu keras kepala," Lino terkekeh, seolah itu adalah sifat yang manis. "Itu yang membuatmu unik."
Kemudian, Lino mengalihkan pandangannya ke luar jendela, tempat Taehyung menunggu di mobilnya.
"Aku melihatmu dengan Dosen Kim. Kalian tampak... dekat sekali," Lino menjeda, suaranya sedikit lebih berat. "Jiya bercerita, dia sering melihatmu akrab dengan Dosen Kim di butiknya."
Yujin merasakan alarm berbunyi kencang di kepalanya. Lino sedang memancing, dan Lino menggunakan Jiya sebagai alibi.
"Itu hanya pekerjaan, Oppa," jawab Yujin dingin, nada sopannya kembali. "Taehyung Ssaem adalah mentor profesionalku. Tidak lebih dari itu. Dan Jiya tidak perlu khawatir padaku. Kami berdua hanya membahas desain."
Lino kembali menatap Yujin, tatapannya menyiratkan keraguan yang mendalam, meskipun itu hanyalah sandiwara. "Tentu. Aku percaya padamu. Tapi kau harus hati-hati, Yujin. Pria di dunia mode itu... mereka sering mengambil keuntungan. Terutama ketika melihat gadis sepolos dirimu."
Peringatan palsu itu adalah cara Lino untuk menanamkan benih kecurigaan dan ketidakpercayaan Yujin pada semua pria selain dirinya.
Yujin merasa muak. Ia tahu Lino tidak sedang melindunginya; Lino sedang mencoba mengendalikan pergaulannya.
"Terima kasih atas sarannya, Oppa. Aku harus segera pergi. Taehyung Ssaem sudah menunggu." Ia membalikkan badan, berjalan cepat menuju pintu keluar, meninggalkan Lino sendirian di dekat loker.
Lino menyaksikan kepergian Yujin, senyum palsunya menghilang digantikan ekspresi dingin dan penuh perhitungan. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengambil foto Yujin yang sedang masuk ke mobil Taehyung dari kejauhan.
Foto itu menjadi bukti. Bukan bukti perselingkuhan, melainkan bukti keberhasilan Taehyung menjadi penghalang.
"Kau memilih dia? Kau memilih pria lain? Setelah semua yang kulakukan untuk mengatur skenario agar kau hanya melihatku?"
Kebenciannya memuncak, bercampur dengan keinginan posesif yang membakar. Lino menghapus foto itu. Ia tidak butuh bukti untuk Jiya; ia butuh strategi baru.
𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘠𝘶𝘫𝘪𝘯 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘬𝘶𝘩𝘶𝘣𝘶𝘯𝘨𝘪 𝘥𝘪 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘥𝘪 𝘬𝘢𝘮𝘱𝘶𝘴, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘨𝘶𝘯𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘑𝘪𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘦𝘧𝘦𝘬𝘵𝘪𝘧.
Dengan langkah mantap, Lino berjalan keluar dari perpustakaan. Ia tidak lagi memikirkan kasus konstitusi. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara membuat Jiya semakin yakin akan cintanya, sehingga Jiya bisa menjadi mata-mata yang sempurna, atau, yang lebih buruk, menjadi pion yang akan ia korbankan demi mengklaim kepemilikan atas Lee Yujin.
.
.
.
.
.
.
.
— Bersambung —