 
                            Alia adalah gadis sederhana yang hidup bersama ibu kandungnya. Ia terjebak dalam kondisi putus asa saat ibunya jatuh koma dan membutuhkan operasi seharga 140 juta rupiah.
Di tengah keputusasaan itu, Mery, sang kakak tiri, menawarkan jalan keluar:
"Kalau kamu nggak ada uang buat operasi ibu, dia bakal mati di jalanan... Gantikan aku tidur dengan pria kaya itu. Aku kasih kamu 140 juta. Deal?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alesha Aqira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 MSUM
"Kate, panggil polisi! Cepat!" ucap Pak Bram tegas.
Namun Kate menatap kakeknya ragu. "Tapi, Kakek... aku rasa masalah ini belum selesai."
"Aku bilang panggil polisi," ulang Pak Bram. "Gelangnya sudah ditemukan, orang yang mencurinya juga sudah ditemukan. Masalahnya cukup sampai di sini."
Kate menunduk sedikit. "Baik, aku mengerti."
Pak Bram menghela napas panjang. "Kate, aku sudah cukup lelah hari ini. Aku akan beristirahat. Pesta ini... silakan kamu yang lanjutkan."
"Baik, Kakek," jawab Kate lirih.
Pak Bram lalu menoleh pada Alia, sorot matanya lembut. "Alia, yang terjadi hari ini sudah sangat merugikanmu. Sekali lagi, aku minta maaf atas nama cucuku."
Alia mengangguk sopan. "Tidak apa-apa, pak bram. Aku mengerti apa yang dirasakan oleh Nona Kate."
Pak Bram tersenyum kecil, lalu berkata, "Kalau begitu, ayo kita naik ke atas. Ada yang mau aku sampaikan kepadamu."
Lalu ia menoleh pada Leonardo. "Kamu juga, Leonardo. Ikut kami."
"Baik, Pak," jawab Leonardo singkat.
Sementara itu, Mery berdiri mematung di tengah aula yang mulai hening. Matanya memandangi Pak Bram, Alia, dan Leonardo yang berjalan menjauh.
"Kenapa Pak Bram sangat dekat dengan Alia...? Mereka seperti sudah kenal lama," batinnya penuh curiga.
Tatapannya kemudian berubah menjadi dingin, penuh dendam. "Alia... lihat saja. Urusan antara kamu dan aku belum selesai."
"Alia, kejadian tadi... aku tahu masalahnya tidak sesederhana itu. Tapi tanpa bukti yang kuat, aku tidak bisa menuduh orang sembarangan," ucap Pak Bram tenang.
Alia menunduk sedikit, matanya menatap dalam. "Aku tahu itu, Pak Bram. Dengan Anda percaya kepadaku saja, itu sudah sangat cukup," balasnya tulus.
Alia tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam sakunya.
"Oh iya, ini untukmu. Hadiah dari ayahku. Hadiah ini dibuat sendiri oleh dia."
Pak bram terkejut saat membuka kotak itu. Sebuah jam mahal dengan ukiran halus di tengahnya tergeletak indah.
"Hadiah ini... sangat berharga untukku. Sampaikan terima kasihku kepada Ayahmu, ya Alia."
"Iya, nanti kusampaikan," jawab Alia sambil tersenyum hangat.
Kemudian ia menoleh ke arah Leonardo. "Leonardo, aku sudah tua. Mungkin aku tidak bisa membantu proyek yang kamu inginkan."
Leonardo tampak kecewa. "Tapi, Pak Bram, proyek Alesha ini sangat berharga. Hanya Anda dan Pak Angga yang pantas menjadi desain utama dalam proyek ini."
"Pak Angga sedang berada di luar negeri. Kalau Anda juga..."
Pak Bram mengangkat tangannya, memotong kalimat Leonardo.
"Kamu lihat wanita ini?" ucapnya sambil menatap ke arah Alia.
Alia sedikit terkejut dan menunjuk dirinya sendiri. "Saya, Pak?"
"Iya, kamu, Nak," sahut Pak Bram sambil tersenyum bijak. "Meskipun Alia masih muda, tapi dia adalah penerus langsung dari Pak Angga. Dia baru saja memenangkan kompetisi desain besar. Soal kemampuan, kamu tidak perlu khawatir."
"Kalian pasti belum saling mengenal."
"Iya, Pak Bram."
"Leonardo Dirgantara."
"Alia, Pak."
"Senang berkenalan dengan Anda." Ucap Alia
Leonardo menatap Alia lebih dalam, lalu mengangguk. "Kalau memang dia utusan dari Pak Bram, aku setuju."
"Nona, ini kartu namaku. Besok datang tepat waktu ke kantor," ucap Leonardo sambil menyerahkan kartu namanya.
"Baik, Pak. Terima kasih atas kepercayaannya," jawab Alia.
Leonardo berpamitan. "Pak Bram, aku pergi dulu."
"Baik, silakan."
Setelah Leonardo pergi, Alia menoleh pada Pak Bram. "Pak Bram, apa ini?" tanyanya, memegang sebuah map yang sebelumnya diberikan oleh Pak Bram.
"Itu yang diminta ayahmu untuk diberikan kepadamu. Ayahmu bilang dia sudah mengajarkan semua tentang desain kepadamu. Kamu bisa ambil kesempatan ini untuk karirmu, agar lebih berkembang lagi."
Alia tersenyum penuh rasa haru. "Aku mengerti. Terima kasih, Pak Bram."
____
"Mereka tidur dengan nyenyak," ucap Alia sambil menatap kedua anaknya yang tertidur pulas di kamar.
"Pasti kamu sangat kerepotan mengurus mereka," lanjut Alia, kini menatap Meila yang sedang melipat selimut.
"Tidak merepotkan sama sekali," jawab Meila sambil tersenyum. "Anak-anak sudah kuanggap seperti anakku sendiri. Mereka tidak menyusahkanku sama sekali."
Alia tersenyum lega. "Oh iya, Alia... kenapa kamu pulang malam sekali?"
"Oh, jangan bahas itu, Mei. Ada masalah di pesta tadi. Aku baru bertemu Pak Bram saat pesta hampir selesai," jawab Alia sambil melepas antingnya.
"Masalah apa? Tapi kamu nggak apa-apa, kan?"
"Aku nggak apa-apa, Mei. Masalahnya sudah selesai, kok."
"Oh iya, aku punya kabar baik untukmu!" seru Alia dengan antusias. "Wah, Al... dari mana kamu bisa dapat kartu nama Pak Leonardo?"
"Pak Leonardo? CEO dari Global Holdings?" Meila nyaris tidak bisa menyembunyikan kekagumannya.
"Iya," jawab Alia tenang.
"Perusahaan mereka itu salah satu manufaktur terkemuka, lho! Produk-produknya selalu laku di pasaran. Mereka produksi kosmetik, parfum, tas, dan masih banyak lagi. Tapi kalau perhiasan, mereka baru memulainya tahun ini, jadi belum ada peluncuran besar," jelas Meila dengan semangat.
"Pak Bram yang mengenalkanku dengannya. Bahkan, beliau memintaku untuk ikut berkontribusi dalam proyek terbaru mereka," ucap Alia pelan, namun matanya berbinar.
"Bagus sekali, Al! Dengan keahlianmu, aku yakin kamu pasti bisa melakukannya! Saat proyek ini nanti meledak di pasaran, bukan hanya Global Holdings yang akan terkenal, tapi namamu juga pasti akan ikut naik!" kata Meila bangga.
"Seperti sekali mendayung, dua pulau terlampaui," jawab Alia sambil terkekeh.
"Benar! Tapi sekarang Mores akan jadi tanggung jawabmu ya, Mei. Aku pasti akan banyak di perusahaan Pak Leonardo nanti."
"Jangan khawatir, biar aku yang tangani. Oke?"
Alia mengangguk. Kemudian ia terdiam sejenak, pikirannya kembali pada pria yang ia temui tadi siang.
"Leonardo... dia orang yang aku tolong waktu penusukan di hotel. Dan dia juga punya hubungan dengan Mery... tapi sepertinya, dia tidak terlalu peduli dengan Mery."
Tatapan Alia mengarah ke jendela, kosong namun penuh pertanyaan. "Dan juga... wajahnya sangat mirip dengan Arel," batinnya.
"Permisi, Nona. Saya ingin bertemu dengan Pak Leonardo," ucap Alia sopan kepada resepsionis.
"Apakah Nona sudah membuat janji?"
"Iya," jawab Alia dengan tenang.
"Baik, tunggu sebentar, Nona."
Sang resepsionis lalu mengangkat telepon dan berbicara pelan.
"Pak Diego, ada tamu yang ingin bertemu dengan Pak Leonardo."
"Suruh dia menunggu di ruang tunggu. Aku akan ke bawah," jawab Diego di seberang.
"Baik, Pak."
Sesaat kemudian, Diego kembali menelepon.
"Pak, Nona yang disuruh oleh Pak Bram untuk menggantikannya sudah di bawah."
"Kalau begitu, tolong jemput dia ke bawah," ucap Leonardo.
"Iya, Pak."
Namun sebelum Diego sempat melangkah, Leonardo menahan langkahnya.
"Tunggu... lebih baik aku pergi sendiri."
"Baik, Pak."
____
Saat Alia menunggu di ruang tunggu, tiba-tiba terdengar suara menyebalkan yang tidak asing lagi.
"Hei, kamu! Alia! Ternyata kamu lagi!"
Alia menoleh dan mendapati Mery berdiri di sana dengan ekspresi tak suka.
"Halo, Mery. Wah, kebetulan sekali," ucap Alia tenang, lalu menambahkan dengan nada sedikit menyindir, "Sepertinya kita memang banyak kebetulan untuk selalu bertemu."
"Tentang pesta kemarin, masalah itu belum selesai! Dan juga, kenapa kamu berada di sini?!" tuntut Mery.
Alia tersenyum tipis. "Apa yang harus diselesaikan? Bukannya masalahnya sudah beres dan pelakunya sudah ditemukan?"
Lalu dengan nada dingin, ia melanjutkan, "Dan juga, kamu camkan baik-baik... kemanapun aku pergi dan apapun yang aku lakukan, itu tidak ada urusannya denganmu. Jadi, kamu jangan terlalu ikut campur dalam urusanku."
"Sepertinya kamu sangat takut dengan apa yang akan aku lakukan," tambah Alia, nadanya sinis namun tetap tenang.
"Kamu...!" Mery hampir kehilangan kendali.
"Alia... sudah semakin berani saja padaku. Padahal dulu dia tidak seperti ini," batin Mery, menahan amarah dan rasa tidak terima melihat Alia kini berdiri lebih percaya diri dan tak gentar.
 
                     
                     
                    