Pada tahun 2086, umat manusia berdiri di puncak kejayaan teknologi. Negara-negara besar bersatu di bawah Proyek Helios — percobaan menciptakan sumber energi tak terbatas dengan memanipulasi ruang dan materi gelap.
Namun pada malam ketika Helios Reactor diaktifkan untuk pertama kalinya, sesuatu terjadi. Langit di atas Samudra Pasifik retak seperti kaca yang dilempar batu. Membentuk celah raksasa bercahaya ungu, berdenyut seperti nadi dunia yang terluka.
Seekor makhluk bersisik emas, bersayap seperti petir, mengaum di atas laut. Lalu menyusul bayangan-bayangan lain: raksasa dari batu, wanita bersayap burung gagak, binatang bertanduk dari legenda kuno.
Nuklir ditembakkan, senjata diluncurkan. Sebuah kedatangan para makhluk mitologi yang mengancam ras manusia berdatangan dan membawa pesan,
“Kalian membuka pintu tanpa izin. Dunia kami hancur karenanya. Kini, keseimbangan harus ditegakkan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon See You Soon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa Sakit
"Aku hanya punya tujuh kali serangan. Jika ini gagal. Tidak, ini harus berhasil," gumam Hayama pelan, menutup matanya untuk memetakan setiap langkah dan jarak. Nafasnya diatur sedemikian rupa hingga denyut nadi di ujung jarinya terasa senada dengan detak waktu.
Ia membuka mata.
"Aku mulai."
Telinga tajam Caelendir menangkap gesekan halus di belakangnya. Sekejap kemudian, dua shuriken meluncur menembus udara seperti meteor yang jatuh dari langit. Ia berputar, berusaha menghindar. Logam tajam itu melintas hanya sejengkal dari pipinya. Namun itu hanyalah pengalihan.
Dua kunai berikutnya datang dari arah berbeda. Tubuh Caelendir yang sudah kehilangan banyak tenaga hanya sempat menghindari satu. Kunai kedua menancap di bahu kirinya, meneteskan darah perak yang jarang sekali terlihat dari bangsa elf.
“Lima kali lagi,” desis Hayama dari balik pilar kristal.
Sebuah bayangan melintas cepat di atas Caelendir. Ia mendongak, lalu menghindar. Namun dari sisi lain, sebuah kunai lagi. Datang dari dalam pantulan cahaya. Meluncur tanpa suara dan menancap di dahinya.
Elf itu terhuyung. Ia mencabut kunai tersebut, lalu tersenyum samar.
“Jadi seperti ini rasanya... rapuh?” bisiknya pelan.
“Kupikir aku mulai mengerti... kenapa manusia begitu gigih melawan keterbatasannya.”
Tiga shuriken berikutnya melesat bersamaan, mengarah ke berbagai titik vital. Tapi Caelendir tidak bergerak. Kakinya gemetar, darah menetes dari pelipis dan bahu.
“Jadi... rasa sakit itu... mengeluarkan darah, ya?” Ia menatap cairan itu di telapak tangannya. “Aku hanya tahu dari cerita. Baru sekarang aku... benar-benar mengalaminya.”
Ia mencabut seluruh senjata manusia yang menancap di tubuhnya, menatapinya seolah tengah menatap bukti keberanian yang asing namun indah.
Sebuah kunai terakhir meluncur. Kali ini disertai bola mesiu. Senjata itu menancap di lantai, tepat di depan Caelendir. Elf itu menatapnya, nyaris tanpa reaksi. Lalu, kunai berikutnya meluncur dan memantik bola mesiu. Ledakan membelah udara, menghempaskan tubuh Caelendir ke belakang.
Namun perlahan, ia bangkit kembali. Tubuhnya goyah, tapi matanya menyala.
“Aku merasa... aku tak boleh kalah di sini.”
Suara sorak dari kubu elf menggema. Bukan teriakan kesombongan seperti sebelumnya, melainkan luapan haru yang getir. Mereka menyaksikan pangeran mereka berdarah. Hal yang bahkan tak pernah terjadi selama berabad-abad.
Di tribun, beberapa elf menunduk. Sebagian lainnya terisak. Mereka mulai memahami... mungkin inilah yang membuat manusia tak mudah menyerah. Rasa sakit.
Sesuatu yang mereka hindari selama berabad-abad, tapi justru menjadi sumber kekuatan bagi bangsa fana itu.
Dua kunai selanjutnya meluncur berpasangan, ujungnya terikat oleh benang kawat tipis yang berkilau memantulkan cahaya altar. Udara berdesir, dan sebelum Caelendir sempat bereaksi, kawat itu sudah membelit tubuhnya. Menjeratnya seperti seekor kuda yang terperangkap oleh tali koboi.
Tangannya terkunci, pedang Elysiara terlepas dari genggamannya, dan cahaya di sekelilingnya meredup bersamaan dengan detak jantung yang melemah.
Bayangan perlahan tumbuh di atas kepalanya, membesar seperti piringan hitam yang menelan sinar langit. Ia mendongak, menatap siluet Hayama yang meluncur turun dari puncak pilar bagaikan gerhana yang menelan matahari.
Namun tak ada ketakutan di matanya. Hanya ketenangan.
“Kami pernah melihat gerhana sebelumnya,” ucap Caelendir pelan, suaranya nyaris seperti bisikan doa.
“Saat cahaya tertelan oleh bayangan, kami merasa gelisah... karena kami tak pernah hidup dalam kegelapan.
Dan sekarang... aku baru menyadari. Bahwa bayangan memang tak pernah bisa dipisahkan dari cahaya.”
Hayama mengencangkan pegangan pada pedangnya. Napasnya berembus berat.
“Aku akan mengakhiri ini—Tebasan Air Terjun!”
Tubuhnya meluncur cepat, menembus sisa cahaya altar seperti anak panah menembus air. Dalam sekejap, suara angin terbelah diikuti percikan cahaya yang berjatuhan seperti serpihan kaca.
Namun Caelendir justru tersenyum. Bukan senyum keangkuhan seperti sebelumnya, melainkan senyum tulus yang memantulkan ketenangan seorang makhluk yang akhirnya memahami arti rapuh.
“Mungkin... inilah akhirnya,” katanya lembut. “Rasa sakit menuju kematian... akhirnya, aku merasakannya.”
Pupil Hayama membesar. Dalam sepersekian detik sebelum tebasan menyentuh tubuh Caelendir, sesuatu dalam dirinya bergetar. Ia mengubah posisi kuda-kuda, memutar pergelangan tangan, dan mengalihkan jalur serangan.
“Sayatan Gerimis di Musim Panas!”
Tebasan itu meluncur. Lembut tapi presisi, seperti hujan pertama yang turun di tengah hari yang terik. Udara terbelah, dan dalam keheningan yang menggantung, cahaya altar pecah menjadi ribuan butir kecil seperti embun yang jatuh perlahan.
Ni mungkin lebih alami dan baik kalo dirimu gak maksa make gpt buat proofreading paksa
Jangan dipaksa, manual aja, suruh dia koreksi/nyari typo, habis tuh benerin sendiri manual, kelihatan entar kemampuanmu yang asli ama kagak
mampir nih .
peperangan di abad serba canggih yah !