Mencari Suami Untuk Mama

Mencari Suami Untuk Mama

BAB 1 Berkorban demi ibu

Hujan turun deras di luar jendela. Bau obat dan disinfektan menyengat di udara. Alia duduk di kursi plastik keras, tubuhnya gemetar menahan cemas. Di balik pintu ICU, ibunya tengah berjuang antara hidup dan mati. Biaya operasi yang mencapai ratusan juta tak mungkin bisa ia tanggung.

Tiba-tiba, suara langkah sepatu hak tinggi terdengar mendekat.

"Alia," ucap Mery, kakak tirinya, dengan nada dingin.

Alia menoleh. Wajah Mery terlihat flawless seperti biasa, tapi ekspresinya sinis dan tak berperasaan.

"Kalau kamu nggak ada uang buat operasi ibu kamu, dia bakal diusir dari rumah sakit dan mati di jalanan," ucap Mery tajam, menyilangkan tangan di dada. "Dokter kasih waktu cuma 2x24 jam."

Alia menunduk. Matanya mulai memerah. "Tolong, Mer... bantu aku. Aku nggak tahu harus cari ke mana lagi. Aku bahkan nggak punya satu juta pun sekarang..."

Mery mendengus, lalu mendekat dan duduk di sebelahnya. Ia mencondongkan tubuh, berbisik dengan suara licik:

"Aku kasih kamu kesempatan, Alia."

Alia menatapnya bingung.

"Gantikan aku tidur dengan seseorang."

"Apa?" Alia nyaris berteriak. Jantungnya berdebar kencang.

"Ssst... jangan norak," potong Mery cepat. "Kamu cuma perlu sekali. Satu malam. Setelah selesai kamu langsung keluar dari kamar hotel itu sisanya biar aku yang urus.

"Tidak mungkin... Aku bukan perempuan seperti itu!"

Mery tersenyum miring. "Tapi kamu perempuan yang butuh 140 juta, kan?"

Alia tercekat.

"Aku kasih uangnya langsung, setelah kamu selesai tidur dengannya 150 juta. Cash. Deal?" Mery menyodorkan selembar kertas—alamat dan waktu pertemuan tertulis di sana.

“Ini alamat hotelnya.” Mery menyelipkan secarik kertas di tangan Alia. “Jam sepuluh malam. Datang, masuk kamar 1703. Selesai. Uangnya langsung kukasih. Besok kamu bisa bayar operasi, dan ibu kamu selamat.”

Alia menatap kertas itu, napasnya sesak.

“Pilihannya cuma dua, Alia,” suara Mery menjadi lebih lembut tapi penuh racun. “Selamatkan ibumu… atau liat dia mati dengan mata kepalamu.”

Mery berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan aroma tajam dan kesunyian yang menampar hati Alia lebih keras dari apa pun.

Alia menggenggam kertas itu erat. Ia memandang ke arah ruang ICU. Di balik kaca, ibunya terbaring dengan selang di hidung, tubuh ringkih, nyaris tak bergerak.

Dia menutup mata.

Tangisnya pecah diam-diam, sementara dalam hati, ia tahu: malam ini, hidupnya akan berubah selamanya.

Alia mengalami pergulatan batin di lorong rumah sakit. Di balik pintu kaca itu, ibunya satu-satunya orang yang ia punya di dunia—terbaring tak sadarkan diri.

Ibunya di diagnosa dokter: kanker payudara. Butuh operasi segera, biayanya seratus empat puluh juta rupiah. Jumlah yang tak akan ia dapatkan meski menggadaikan seluruh hidupnya.

Alia menatap layar ponsel. Puluhan pesan terkirim ke teman-teman lama, kenalan, bahkan dosen kuliahnya dulu. Semua berujung pada satu jawaban: Maaf, aku tidak bisa bantu.

Hatinya berteriak, Tuhan, tolong jangan ambil Ibu…

Namun demi sang ibu, Alia akhirnya menguatkan hati.

Malam itu, ia melangkah pergi membawa alamat di tangan—ke tempat di mana takdir kelam menunggunya.

----

Leonardo Dirgantara, seorang CEO muda dan karismatik dari perusahaan besar , menghadiri pesta perjamuan eksklusif di sebuah hotel bintang lima. Acara itu penuh dengan pengusaha, selebriti, dan tokoh penting.

Leonardo dikenal dingin dan tertutup, tetapi malam itu ia tampak sedikit lebih santai, tidak tahu bahwa ada seseorang yang diam-diam ingin menghancurkan nya malam ini.

"Kamu lihat laki-laki yang di sana?"

"Iya, Tuan."

"Masukkan obat ini ke dalam minumannya."

"Tapi, Tuan... saya nggak berani."

"Saya beri kamu uang ini. Bagaimana?"

Sejenak pelayan muda itu ragu, tapi pandangannya tak lepas dari amplop tebal yang disodorkan. Ia tahu risikonya, tapi jumlah uang itu bisa menutupi kebutuhan keluarganya selama berbulan-bulan.

"Baik, Tuan."

Dengan tangan gemetar, pelayan itu membawa gelas wine ke meja tempat Leonardo Dirgantara duduk, dikelilingi oleh kolega dan mitra bisnis. Ia pura-pura tersenyum saat menaruh gelas itu, lalu mundur cepat, jantungnya berdebar keras.

Leonardo mengangkat gelasnya santai, mengira itu hanya refill biasa. Ia meneguknya perlahan sambil menyimak percakapan. Tapi beberapa menit kemudian, tubuhnya terasa berbeda lebih panas, napasnya mulai tak teratur, dan pikirannya berkabut.

"Ada apa ini...?" bisiknya pelan. Ruangan mulai terasa sempit. Suara-suara bercampur menjadi dengung yang tak jelas. Ia berdiri, mencoba bersikap tenang, lalu meninggalkan ruangan perjamuan menuju lorong hotel yang sepi.

Langkah kakinya limbung, napasnya berat. Ia harus segera ke kamar atau setidaknya tempat yang aman.

"Diego, tolong aku..."

"Anda di mana, Tuan?"

"Di dekat lorong... toilet hotel."

Suara Leonardo terdengar berat dan terputus-putus saat ia menekan tombol komunikasi kecil di dalam jasnya. Nafasnya masih memburu, keringat membasahi pelipisnya, dan dunia di sekelilingnya berputar seperti pusaran air.

Diego, asisten pribadi sekaligus pengawal kepercayaannya, langsung bergerak cepat dari luar area perjamuan. Ia mengenali nada suara Leonardo itu bukan nada biasa. Itu adalah suara seseorang yang sedang diserang... atau dijebak.

Leonardo bersandar pada dinding dingin di lorong sempit dekat toilet hotel. Tangannya meraba dada, mencoba menenangkan detak jantung yang semakin tak terkontrol. Ia tahu ini bukan sekadar kelelahan. Ada yang dimasukkan ke dalam tubuhnya dan ia tak tahu seberapa parah efeknya.

Pintu-pintu kamar di sepanjang lorong terlihat mirip, dan satu di antaranya terbuka sedikit.

Tanpa pikir panjang, tubuhnya bergerak sendiri. Ia mendorong pintu itu kamar dan masuk dalam gelap, berharap bisa beristirahat sejenak, atau sekadar menjauh dari keramaian. Tapi saat pintu itu tertutup di belakangnya… ia tak tahu bahwa nasibnya akan berubah selamanya.

Sementara itu, Diego tiba di lorong hanya untuk menemukan jejak terakhir tuannya: jas yang tertinggal di lantai, dan suara tawa samar dari perjamuan yang semakin jauh.

Ia menatap pintu kamar yang tertutup, bibirnya bergumam, "Tuan… Anda di mana sebenarnya?"

Leonardo berjalan kearah kamar yang telah

Tapi saat membuka pintu kamar dengan angka 1703 yang sedikit terbuka, ia tak sadar bahwa itu bukan kamarnya. Kepalanya semakin pening, tubuhnya semakin panas... dan dalam keadaan setengah sadar, ia masuk ke dalam kegelapan.

Di dalam kamar hotel Alia duduk di pinggir ranjang. Gaun sutranya jatuh lembut hingga lutut. Ia menunggu seseorang yang dijanjikan kakaknya akan datang malam ini. Tapi janji itu terasa hampa. Sudah lewat satu jam, dan tak ada kabar.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka perlahan. Alia menoleh, tapi tidak melihat wajah siapa pun. Hanya sosok tinggi besar yang masuk dalam gelap, tanpa suara.

"Maaf... Anda yang dijanjikan  oleh kakak saya?" bisiknya gugup.

Tak ada jawaban.

Tapi sosok itu berjalan mendekat. Nafasnya terdengar berat. Alia merasa jantungnya berdegup kencang, tapi ia tak bergerak.

Hening menyelimuti kamar itu. Dan dalam gelap, di antara kebingungan dan desakan hasrat yang tak terkendali, malam itu menjadi awal dari kisah yang tak pernah mereka rencanakan.

Terpopuler

Comments

Mericy Setyaningrum

Mericy Setyaningrum

Ya Allah ada nama aku hehe

2025-10-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!