Niat hati hanya ingin mengerjai Julian, namun Alexa malah terjebak dalam permainannya sendiri. Kesal karena skripsinya tak kunjung di ACC, Alexa nekat menaruh obat pencahar ke dalam minuman pria itu. Siapa sangka obat pencahar itu malah memberikan reaksi berbeda tak seperti yang Alexa harapkan. Karena ulahnya sendiri, Alexa harus terjebak dalam satu malam panas bersama Julian. Lalu bagaimanakah reaksi Alexa selanjutnya ketika sebuah lamaran datang kepadanya sebagai bentuk tanggung jawab dari Julian.
“Menikahlah denganku kalau kamu merasa dirugikan. Aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku.”
“Saya lebih baik rugi daripada harus menikah dengan Bapak.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Ijinkan Aku Melamarmu
Ijinkan Aku Melamarmu
“Sialan kamu, Cok. Kamu sudah gila apa?” umpat Robin merasa kesal dengan temannya yang satu ini. Ia sampai terlonjak kaget, menarik punggungnya dari sandaran kursi. Hatinya yang semula cemas memikirkan Alexa, didera amarah seketika.
“Kan kamu sendiri yang minta, Bin.” Ucok bersikeras, tak ingin disalahkan dalam renggangnya hubungan persahabatan Robin dan Alexa. Pendengarannya belum tuli saat kemarin Robin meminta obat darinya untuk diberikan pada Alexa. Karena tahu Robin sudah lama menyukai Alexa, tanpa bertanya lebih banyak, ia langsung memberikan obat per*angsang pada Robin.
“Jadi obat yang kamu kasih ke aku kemarin itu obat per*ngsang, Cok?”
Ucok mengangguk. “Iya. Kamu kan sudah lama naksir Alexa tapi ditolak terus. Jadi aku pikir obat itu mungkin bisa membantumu.”
“Sialan kamu, Cok. Br*ngsek. Kan sudah aku bilang obat pencahar, Cok. Pen - ca- har. Apa kamu tuli? Kenapa kamu ngasihnya malah obat per*angsang. Terus gimana dengan Alexa?” omelnya risau. Bayang-bayang Julian dalam pengaruh obat itu pun bermain-main dalam benaknya.
Katanya, Alexa sudah memberikan obat itu pada Julian sewaktu Alexa menemui dosen itu untuk bimbingan skripsi. Jika obat itu dikonsumsi oleh Julian, lalu apakah Julian ...
“Sial!” umpatnya lagi. Ia teringat Alexa yang menangis di kafe sore tadi. Saat ia bertanya mengapa gadis pujaannya itu menangis, Alexa tidak menjawab. Perasaannya pun mendadak menjadi tak enak. Mungkinkah Julian sudah berbuat macam-macam terhadap Alexa?
“Alexa memangnya kenapa, Bin? Itu obat dosisnya tinggi, loh. Kalau kamu kasih semuanya, bisa ganas dia.”
“Ganas bacotmu. Kamu bikin aku kesal saja, Cok. Pengen rasanya kutonjok muka jelekmu itu.” Robin mengepalkan tinjunya, hendak melayangkan tinju itu ke wajah Ucok. Namun terhenti di udara, menariknya kembali sebab Ucok langsung memasang mode menangkis.
“Sorry, Bin. Sorry. Aku yang salah,” kata Ucok.
“Lain kali tanya dulu, Cok. Tanya!”
“Sorry, Bin. Sorry banget. Aku niatnya cuma mau bantu kamu mendapatkan Alexa.”
“Masalah mendapatkan Alexa itu gampang untukku, Cok. Aku punya cara sendiri untuk mendekati dia, bukan dengan cara bi*dab seperti itu. Akkkh ...” Robin mengacak rambutnya dengan jengkel. Sejak tahu obat yang ia berikan kepada Alexa itu ternyata adalah obat yang mengandung zat afrodisiak dengan dosis tinggi, kecemasannya semakin menjadi-menjadi yang turut menimbulkan kecurigaan dengan perubahan sikap Alexa yang mendadak. Perasaannya kini benar-benar tidak enak. Apalagi Alexa berkata bahwa gadis itu akan berhenti kuliah. Apa jangan-jangan ...
“Dasar bodoh!” umpatnya lagi saking kesal dengan keteledorannya sendiri.
***
Sejak peristiwa itu Julian jadi kehilangan konsentrasi, baik dalam kesehariannya maupun pekerjaannya di kampus. Fokusnya selalu terganggu oleh bayang-bayang Alexa.
Ia yang tak tenang berusaha mencaritahu tentang Alexa. Sampai detik ini gadis itu belum menampakkan diri di kampus. Alexa seperti menghilang ditelan bumi. Padahal skripsinya sudah di-ACC. Alexa sudah bisa mengajukan diri untuk sidang.
Berulang kali ia menghubungi ponsel Alexa. Pada panggilan pertama tersambung, tetapi tidak dijawab oleh Alexa. Pada panggilan berikutnya, ponsel Alexa malah dimatikan. Membuat ia menjadi kesulitan untuk menghubungi gadis itu.
“Ee ... Julia ...” Hendak pulang, Julian tak sengaja berpapasan dengan Maya.
Maya tersentak kaget, refleks menoleh pada seorang dosen tampan paling populer di kampus itu yang memanggilnya dengan nama Julia.
“Kamu Julia kan, temannya Alexa?” tanya Julian memastikan. Sebab ia masih ingat tempo hari Alexa memanggil mahasiswi itu dengan nama Julia.
Maya yang tidak mengerti apa-apa itu hanya bisa mengangguk disertai senyuman canggung bercampur bingung.
“Eh i-iya, Pak. Saya Julia, teman Alexa.” Terpaksa Maya mengiyakan. Padahal ia sendiri tidak tahu mengapa Alexa mengganti namanya.
“Kalau begitu kebetulan. Apa kamu bisa membantuku?”
“Membantu Bapak? Bi-bisa, Pak? Bapak butuh bantuan apa dari saya?”
Karena Alexa yang sulit dihubungi belakangan ini, Julian tiba-tiba terpikirkan satu ide yang mendadak melintas di benaknya begitu melihat Maya.
***
Maya duduk gelisah di sudut kafe menunggu kedatangan seseorang. Matanya tak lepas dari pintu utama, memperhatikan setiap pelanggan yang masuk. Begitu sosok yang dinanti terlihat memasuki kafe, ia lantas mengangkat tangannya.
“Di sini, Al.”
Alexa menoleh, mendapati Maya duduk sendirian pada salah satu meja di sudut kafe. Ia langsung menghampiri lalu mengambil duduk di depan Maya.
“Sorry ya, Al, aku minta kamu datang ke sini. Kamu tidak sedang sibuk kan?” Belum hilang kebingungan Maya mengapa Julian meminta bantuannya untuk bertemu dengan Alexa. Karena ponsel Alexa yang tidak bisa dihubungi, ia pun terpaksa menghubungi ponsel Sandra. Untungnya Sandra masih berada di rumah.
“Tidak apa-apa, May. Kamu ada keperluan apa sih sampe minta ketemu di kafe segala.”
“Emm ... i-itu, Al. Aku cuma mau ... emm ...” Maya menggaruk kepala, merasa tak enak hati membohongi sahabatnya seperti ini. Akan tetapi ia pun tidak bisa menolak saat dosen di kampusnya meminta bantuan padanya.
“May, tidak biasanya loh kamu minta ketemu di kafe seperti ini. Biasanya juga kamu langsung ke rumah. Mau kamu punya masalah atau hanya sekedar main.” Maya adalah sahabat Alexa sejak SMA. Maya sudah terbiasa datang ke rumah Alexa kapanpun dia mau tanpa mengenal waktu.
“Emm ... itu, Al. Aku tuh sebenarnya ...” Maya tidak melanjutkan kalimatnya. Matanya malah melirik ke arah belakang Alexa dengan ekspresi cemas. Cemas jika Alexa nanti salah paham kepadanya.
Melihat keanehan di wajah Maya, Alexa pun menoleh ke belakangnya dan menemukan Julian sudah berdiri di sana, memandanginya dengan sorot penuh tanya.
“Pak Julian?” gumam Alexa heran.
“Sorry ya, Al. Aku minta kamu datang ke sini karena Pak Julian yang nyuruh aku. Tolong kamu jangan marah sama aku ya? Kalau begitu aku tinggal dulu. Daaah, Al.” Maya melambaikan tangan, cepat-cepat pergi meninggalkan kafe itu. Ia tak ingin diomeli Alexa yang dengan sengaja membohonginya.
Sepeninggal Maya, Alexa juga langsung berdiri dari duduknya hendak pergi dari tempat itu. Namun tangan Julian dengan cepat mencekal lengannya, mencegahnya pergi.
“Sebenarnya apa sih mau Bapak? Saya rasa urusan diantara kita sudah selesai,” kesal Alexa membuang muka, merasa benci melihat wajah Julian.
“Tolong duduk dulu sebentar. Ada yang ingin aku sampaikan sama kamu.”
“Maaf, saya tidak punya waktu.”
“Hanya sebentar, Alexa. Tidak akan lama.”
“Memangnya apa yang mau Bapak sampaikan?”
“Makanya duduk dulu. Malu dilihatin orang-orang.”
Alexa melirik ke sekeliling. Beberapa pengunjung memang sedang mengalihkan perhatian mereka kearahnya. Bahkan ada yang saling berbisik, menjadikan ia dan Julian sebagai bahan bergosip. Ia pun terpaksa menurut, lalu duduk kembali pada tempatnya.
Julian ikut duduk, mengambil tempat yang semula diduduki oleh Maya.
“Kamu sudah bisa maju untuk sidang skripsi. Aku sudah mengurus semua keperluan kamu. Kamu hanya tinggal datang ke kampus dengan berpakaian rapi.” kata Julian membuka obrolan.
“Pak Julian tidak perlu repot-repot. Saya sudah memutuskan untuk berhenti kuliah. Toh masa depan saya juga sudah hancur.”
“Tolong pikirkan lagi, Alexa. Jangan biarkan perjuangan kamu berakhir sia-sia.”
“Memang semuanya sia-sia. Perjuangan saya selama 4 tahun sudah berakhir sia-sia. Satu-satunya kebanggaan yang saya miliki sudah direnggut dengan paksa.”
Diingatkan kembali pada peristiwa malam itu, Julian semakin didera perasaan bersalah. Bagi perempuan lain, kehilangan keperawanan mungkin adalah hal yang biasa. Tetapi hal itu tidak berlaku untuk Alexa. Gadis itu sangat menjaga kehormatannya meski dia terlihat banyak bergaul dengan laki-laki.
“Perjuanganmu tidak akan berakhir sia-sia andai kamu mau mendengarkan aku, Alexa.”
“Memangnya Bapak siapanya saya? Bapak itu cuma dosen. Bukan teman, kerabat, apalagi suami. Jadi Bapak tidak berhak ngatur-ngatur hidup saya.”
“Baiklah.” Julian mengangguk paham. Kemudian menghela napas panjang sejenak, sebelum kemudian tangan kanannya merogoh kantong celana, lalu menaruh sebuah kotak kecil berwarna hitam di atas meja, tepat di depan Alexa. Yang membuat Alexa menatapnya heran.
“Aku memang bukan siapa-siapamu. Aku tidak berhak ikut campur dalam kehidupanmu. Kalau begitu, ijinkan aku melamarmu,” imbuhnya berkata serius.
To Be Continued ...
Maaf baru bisa update 🤗🤗 Kemarin aku lagi nemenin bocil latihan gerak jalan. Bentar 17an, pada bocil lagi pada sibuk ikutan lomba. Jadi emak² ini ikutan repot buat ngejagain para bocil🤭🤭. Teman² ada yang ikutan kegiatan 17an juga😄
nanti setelah nikah
kamu jerat dia dengan perhatian tulusmu
Maka cinta Akan melekat dalam hati alexa
jangan lupa
sering Bawa ke panti asuhan
melihat bagaimana kehidupan kecil tanpa ibu /ayah
akhirnya menerima pernikahan
kamu gak tau alexa, klo pak Julian anak tunggal perusahaan yg kau incar ditempat lamaranmu kerja
selamat buat nona kecil/Rose//Rose//Rose/
kaget gak tuh Al