Sekuel dari novel Cintaku Dari Zaman Kuno
Azzura hidup dalam kemewahan yang tak terhingga. Ia adalah putri dari keluarga Azlan, keluarga terkaya dan paling berpengaruh di negara Elarion. Namun, dunia tidak tahu siapa dia sebenarnya. Azzura menyamar sebagai gadis cupu dan sederhana semua demi kekasihnya, Kenzo.
Namun, tepat saat perkemahan kampus tak sengaja Azzura menemukan sang kekasih berselingkuh karena keputusasaan Azzura berlari ke hutan tak tentu arah. Hingga, mengantarkannya ke seorang pria tampan yang terluka, yang memiliki banyak misteri yaitu Xavier.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merubah Penampilan
Pagi itu, suasana kampus Asteria mulai ramai seperti biasa. Cahaya matahari menyorot lembut ke halaman terbuka di belakang gedung utama, tempat sekelompok mahasiswa para anggota BEM sedang berkumpul.
Di antara mereka, Rica duduk dengan gaya congkak, bersandar santai di bangku batu sambil memainkan rambutnya yang bergelombang rapi.
Liza dan Mona, dua sahabat Rica, duduk di kiri-kanannya seperti pengiring setia. Beberapa mahasiswa lain termasuk Kenzo, Boby, dan Johan ikut bergabung, membawa obrolan ringan yang sebentar lagi akan berubah jadi percakapan penuh racun.
“Aku masih kesel banget,” ucap Rica sambil menghela napas dramatis. “Kemarin di butik, si Azzura sok banget.”
Kenzo mengangkat alis. “Sok gimana, sayang?”
Rica menoleh ke arah Kenzo, bibirnya menyungging senyum sinis. “Dia ngatain aku, Sayang. Katanya, aku nggak pantes belanja di sana. Bisa bayangin nggak sih? Cewek cupu, miskin, nyolot kayak gitu!”
Mona langsung menyahut, “Bener banget. Aku juga lihat, loh. Gayanya kayak orang kaya baru. Dia dan sepupunya itu cuman lihat-lihat di Buton tanpa membeli, kan norak.”
Beberapa anak langsung bersuit pelan, tertawa kecil.
Kenzo yang dari tadi mendengarkan sambil memainkan botol minumnya, tiba-tiba bicara kembali dengan nada heran. “Hah? Bukannya Azzura belum ditemukan? Kalian ketemu dia di mal?”
Rica mendengus, menyilangkan tangan di dada.
“Makanya aku bilang, dia tuh gak hilang. Dia cuma cari perhatian. Biar dicari-cari, biar jadi pusat drama. Nggak lebih dari itu.”
Johan terkekeh. “Wah, gue kira dia anak baik-baik. Tapi ternyata.”
“Polosnya cuma topeng, bro,” potong Mona cepat.
Liza menambahkan, “Diem-diem, dia manipulatif. Mana wajahnya sok kecantikan, padahal wajahnya mah di bawah standar.”
Boby mengangkat bahu. “Eh, jangan gitu, nanti dia oplas lho, terus jadi cantik. Iya gak?”
Tawa makin keras terdengar di antara mereka. Kenzo hanya menyeringai, ikut larut dalam arus fitnah.
“Gue rasa sih begitu. Biar bisa pamer dan balas dendam ke orang-orang yang dulu nggak nganggep dia,” kata Kenzo enteng. “Tapi ya dasar cewek murah. Kelasnya tetap di bawah.”
Rica tersenyum penuh kemenangan. “Makanya, jangan terlalu percaya sama muka lugu. Dalamnya bisa busuk.”
Kenzo menatap penuh arti pada Rica dan berkata, "Dari dulu, dia emang gak pantes di dekat kita. Ya, kalian tahulah gue hanya memanfaatkan kepintaran Azzura yang tak seberapa itu."
Mereka kembali terkekeh geli, membayangkan wajah cupu Azzura dengan kacamata besarnya.
"Ah, sepertinya bagus kali ya, kalau kita kerjain si cupu itu," kata Rica disela-sela tawanya.
"Lo bener. Emang perlu diberi pelajaran tuh si miskin," sahut Liza menimpali.
Bobby lalu menggoda Kenzo. "Lo gak marah Zo, kalau Azzura dibully?"
Kenzo mendengkus kasar dan berkata, "Ngapain marah. Kalian tel*njang*n depan umum pun, aku gak masalah."
Tawa memenuhi area taman belakang kampus Asteria. Kelompok Kenzo dan Rica tak berhenti melontarkan ejekan keji tentang Azzura, lengkap dengan komentar tentang wajah polos dan kebodohan yang mereka reka-reka sendiri.
“Kalau dia muncul sekarang, gue sumpahin bakal malu sendiri liat tampangnya yang kayak pelayan kantin,” cibir Rica, menyilangkan kaki anggun miliknya.
Liza dan Mona tertawa terpingkal-pingkal, sementara Kenzo menambahkan, “Gue yakin sekarang dia ngumpet di kolong kasur, takut ngadepin gue.”
Namun, tawa mereka mendadak berhenti saat terdengar suara ramai dari arah gedung utama. Suara mahasiswa-mahasiswi mulai membesar, berbisik-bisik antusias, bahkan ada yang berseru:
“Siapa tuh? Gila, cantik banget!”
“Eh, itu bukan artis ya?”
“Mahasiswi baru, kali!”
Keributan itu membuat Rica menoleh kesal. “Apaan sih, ribut banget. Kayak ada bintang film aja datang ke kampus.”
Liza ikut berdiri, mengerutkan dahi. “Gue penasaran, yuk lihat!”
Kenzo mengangguk, lalu berdiri paling dulu dan berjalan cepat bersama yang lainnya menuju kerumunan mahasiswa.
Begitu mereka berhasil menyibak barisan mahasiswa yang berkerumun, pandangan Kenzo terpaku.
Seorang gadis berdiri di tengah keramaian, mengenakan pakaian sederhana: kemeja putih gading, rok span hitam, dan rambut panjang yang dibiarkan tergerai alami. Namun, bukan itu yang membuat semua mata tak bisa lepas melainkan aura tenang dan anggun yang terpancar dari gadis itu.
Mata hijaunya berkilau seperti zamrud di bawah sinar matahari pagi. Senyumnya hangat saat berbincang dengan seorang gadis lain yang tak asing: Sania.
Kenzo menahan napas. Matanya membesar, dan tanpa sadar bibirnya berbisik, “Siapa dia?”
Rica yang berdiri di sampingnya langsung menyadari tatapan Kenzo. Tangannya mengepal di sisi tubuh, dan wajahnya berubah masam. “Apaan sih, cuma cewek biasa. Gak istimewa,” gumamnya pelan, namun jelas nada jengkel terselip.
“Cantik banget, parah. Kayak model,” ujar Mona dengan suara rendah namun penuh kekaguman.
“Eh, itu bukan mahasiswi baru ya? Soalnya gue belum pernah liat dia sebelumnya,” celetuk seorang mahasiswa lain.
“Kayaknya sih, pindahan. Tapi gak jelas dari kampus mana,” jawab yang lain.
Kenzo masih belum sadar betul siapa gadis itu. Namun ada sesuatu yang membuat jantungnya berdetak tak karuan. Tatapan itu, sorot mata itu eolah dia pernah melihatnya di balik kacamata tebal dan dandanan cupu.
Dan saat gadis itu menoleh sedikit ke arah mereka, gadis itu menatap datar lalu berjalan pergi bersama Sania, mata Rica membara oleh rasa iri.
Kenzo masih berdiri mematung, jiwanya tertinggal di tempat saat gadis bermata zamrud itu perlahan menjauh dari pandangannya.
****
Kantin kampus Asteria sore itu ramai dipenuhi mahasiswa yang baru saja menyelesaikan sesi kuliah. Suara piring, gelas, dan obrolan penuh tawa membaur jadi satu.
Di salah satu sudut, Sania duduk dengan wajah berbinar sambil memandangi Azzura yang tengah menyuap potongan kecil sandwich ke mulutnya. Wajah sepupunya itu kini bersih tanpa kacamata tebal, alisnya rapi, rambut panjangnya tergerai indah. Riasan tipis yang membingkai wajahnya menambah kesan tenang dan berkelas.
“Ra ... sumpah ya, kalau gue gak kenal kamu dari orok, gue juga bakal kira kamu anak mahasiswi asing,” celetuk Sania sambil menyeruput jusnya.
Azzura tersenyum kecil. “Gak usah lebay, San.”
Sania tertawa kecil. “Tapi serius, mereka benar-benar gak ngenalin kamu, lho. Kamu lihat kan tadi pagi, si Kenzo itu sampe melongo.”
Azzura hanya mengangkat bahu. “Baguslah. Semakin gampang buat bikin mereka ngerasain yang gue rasa.”
Sania menatap sepupunya dengan sorot bangga. “Akhirnya kamu sadar juga kalau kamu bisa bersinar.”
Belum sempat Azzura menjawab, suara sepatu berderak makin dekat. Aroma parfum maskulin yang terlalu kuat menyusup lebih dulu. Sania mendengus pelan.
“Dan drama dimulai,” gumam Sania sinis.
Tepat seperti yang ditebak, Kenzo datang bersama geng BEM-nya Johan, Boby, dan Reno. Kenzo menyunggingkan senyum sok tampan khasnya, lalu tanpa diminta langsung duduk di meja yang sama.
“Maaf ya, boleh gabung?” tanya Kenzo, padahal sudah setengah duduk.
Azzura hanya menatapnya sebentar tanpa ekspresi.
“Kenalin, gue Kenzo. Ketua BEM di kampus ini,” ucapnya percaya diri sambil menyodorkan tangan ke arah Azzura.
Sania hanya menatap datar. Dalam hati, dia siap tertawa.
Namun Azzura tidak menyambut tangan itu. Ia hanya berkata pelan tapi tegas, suaranya jernih dan dingin.
“Gak perlu kenalan.”
Sejenak, suasana mendadak hening.
Kenzo mengerjap bingung, tangannya masih menggantung di udara. “Eh … maksudnya?”
Azzura menatap lurus ke mata pria itu. “Aku gak tertarik untuk kenal dengan orang yang suka manfaatin orang lain. Apalagi orang yang bermuka dua.”
Sania langsung menahan tawa, pura-pura batuk menutupi ekspresinya.
Bobby yang sedari tadi berdiri, melipat tangan di dada. “Kamu siapa sih? Baru datang aja udah belagu.”
Azzura memutar kepalanya perlahan, lalu menatap Bobby tajam.
“Aku cuma gadis biasa yang tahu cara menghargai orang, tidak seperti kamu yang suka merendahkan.”
Wajah Kenzo langsung memerah.
Kenzo menatap Azzura dengan ekspresi campur aduk. “Eh … kita pernah ketemu ya? Suara kamu, qqkayaknya nggak asing.”
Azzura berdiri, mengambil nampan makannya, dan tersenyum kecil. Tapi senyum itu bukan senyum ramah, melainkan sindiran yang tajam.
“Mungkin kamu gak asing dengan suara orang yang selama ini kamu anggap bodoh. Tapi sayang, kamu terlalu sibuk jadi tokoh utama dalam dramamu sendiri.”
Azzura berbalik dan berjalan pergi, diiringi Sania yang nyengir puas sambil menepuk bahu sepupunya.
Sedangkan Kenzo dan lainnya masih berdiri membeku, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi.
"Eh, dia Azzura!" seru Johan baru sadar.
kenzo aja aneh g nagaca kan hadeh munafik bget deh si kenzo ini
dia baik tp baik sm siap.dlu
lah ini apaaaaa
zanaya sm penduduk kecil baik g pelit kasih modal usaha dan pelatihan
lah manusia jmn skrg yg ada iri dengki dan tamak
bukan nya tau tata krama tp mlh ngelunjak
yaa nikmati aja cara mu didik anak wkwkwk mampus kau slh cari lawan
nahh blm tau azura aja sok2an loe.