Azzura ( Obsesi Sang Alpha)
Pagi itu, di sebuah meja makan yang mewah dan panjang berlapis marmer putih, keluarga Azlan sedang menikmati sarapan mereka. Cahaya matahari menyelinap masuk melalui jendela besar, memantul pada permukaan gelas kristal dan peralatan makan dari perak.
Terlihat Zion, pria dewasa dengan aura wibawa dan ketenangan, duduk di kepala meja, membaca surat kabar digitalnya.
Di sebelahnya, Zanaya, wanita anggun dengan mata tajam dan rambut panjang gelap, menyeruput teh hangat sambil memperhatikan putranya, Zorion, yang sedang mengoles mentega di roti gandum.
Suasana tenang itu tiba-tiba berubah saat suara dari lift pribadi terdengar. Pintu terbuka, dan muncullah seorang gadis remaja dengan pakaian sangat sederhana, hoodie abu-abu, celana jeans lusuh, dan kacamata besar yang tampak kebesaran. Rambut hitamnya dikuncir dua seperti anak SMP.
"Pagi," gumam Azzura dengan lesu, berjalan ke kursinya dan duduk di antara Zorion dan sang ibu. Ia langsung mengambil roti tawar dan mengolesinya dengan selai coklat, tanpa melihat siapa pun.
Zanaya mengangkat alis, meletakkan cangkir tehnya. "Sampai kapan kau akan mengenakan pakaian seperti ini, Azzura? Hanya demi pemuda itu?"
Azzura mendesah keras. "Apa salahnya, Mom? Kenzo pria yang baik. Dia tidak peduli soal penampilan.
Zorion hanya menahan tawa kecilnya tapi memilih bungkam. Zion hanya membalik halaman surat kabarnya, namun dari cara ia menekuk bibir, jelas ia mendengar percakapan istri dan putrinya.
Zanaya berdecak pelan, nadanya mulai meninggi. "Kalau dia pria baik, tidak mungkin dia akan memanfaatkan kamu untuk selalu mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Kamu pikir Mommy dan Daddy tidak tahu itu? Kami tahu semua yang terjadi, Azzura. Dia bukan pria yang baik, jauhi dia!"
Azzura menghentikan gerakannya, menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. "Mommy benar-benar nggak pernah sayang Azzura," katanya pelan, namun sarat kemarahan.
Zanaya berdiri setengah dari kursinya, hendak menjawab, tapi Azzura sudah mendorong kursinya dan berdiri.
"Aku berangkat ke kampus!" serunya sambil berjalan cepat meninggalkan ruang makan. Dengan membawa bekal yang sudah dia siapkan dari tadi.
Zanaya hendak menyusul, namun tangan Zion terulur dan menyentuh lembut lengan istrinya.
"Biarkan saja dulu," katanya tenang, menatap lurus ke arah pintu tempat Azzura menghilang. "Dia harus sadar sendiri, bukan karena dipaksa."
Zorion menggigit rotinya pelan, lalu bergumam, "Atau karena hatinya yang memang keras seperti batu."
Zanaya menarik napas panjang, lalu kembali duduk. Di meja yang megah itu, hanya suara alat makan yang kembali terdengar. Namun hati para penghuni rumah itu sedang bergemuruh.
🍃🍃🍃
Di Kampus Astoria, kampus mewah dengan arsitektur modern dan taman yang rapi sekumpulan mahasiswa tampak duduk santai di bangku taman tengah. Tawa dan obrolan ringan mengisi udara pagi yang cerah.
Di antara mereka ada Kenzo, pria populer dengan wajah tampan dan gaya percaya diri. Ia mengenakan jaket BEM kebanggaannya, simbol status sebagai ketua mahasiswa.
Di sampingnya, sahabatnya Boby dan Rica, si primadona kampus yang glamor, duduk santai sambil menyeruput kopi dingin.
Boby melirik Kenzo lalu berkata, "Bro, serius deh, sampai kapan lo mau mainin Azzura?"
Kenzo hanya terkekeh kecil, mengangkat alis dengan santai. "Sampai gue bosen, lah. Dia masih berguna banget, apalagi buat ngerjain tugas-tugas gue."
Rica tertawa merdu mendengar itu, lalu menimpali dengan nada mengejek. "Dia tuh bener-bener gadis paling polos sedunia. Disuruh apapun pasti nurut."
"Dan dia pikir lo beneran cinta sama dia," tambah Boby, setengah geli setengah kasihan.
Kenzo menyandarkan tubuhnya ke bangku dan berkata sambil nyengir, "Biarin aja. Selama dia masih mau jadi budak cinta gue, kenapa nggak dimanfaatin?"
Tawa mereka meledak. Mahasiswa lain yang mendengar percakapan itu ikut tersenyum sinis, seakan Azzura hanyalah bahan lelucon umum di kampus Astoria.
"Azzura tuh, bener-bener bodoh," ujar salah satu mahasiswi sambil menggeleng. "Gila, bisa-bisanya dia percaya sama cowok model Kenzo."
"Cinta memang bikin buta, ya," sahut yang lain, sambil tertawa menahan geli.
"Eh, ada Azzura tuh," kata Boby, tapi Kenzo terlihat acuh.
Dari jauh, terlihat Azzura berjalan sambil menenteng sebuah kotak makan siang.
Tak sedikit yang memandangnya dari ujung mata. Ada yang menertawakan, ada pula yang mencibir pelan, tapi Azzura tak peduli.
Langkahnya mantap menuju arah taman, tempat di mana Kenzo, pria populer sekaligus ketua BEM, tengah duduk santai dikelilingi beberapa teman satu organisasinya. Wajahnya tampan, senyumnya memikat, dan setiap gerak-geriknya selalu disorot.
Azzura menarik napas, menenangkan degup jantungnya yang tak karuan. Lalu, ia berhenti tepat di depan Kenzo.
“Kenzo,” sapanya sambil tersenyum kecil, “Aku bawa bekal untukmu.”
Kenzo menoleh, melihat Azzura sekilas dengan ekspresi datar. Ia melirik kotak makan berwarna pastel yang disodorkan Azzura, lalu mendesah pelan.
"Aku udah kenyang," katanya sambil mendorong kotak makan itu kembali. "Baru aja sarapan tadi."
Azzura terdiam. Tangannya masih menggenggam kotak makan itu. Sekilas, matanya berkaca, tapi ia segera menunduk, menyembunyikan kecewanya dengan senyum yang tetap dipertahankan.
“Oh, iya. Gak apa-apa kalau gitu,” ucapnya pelan, mencoba terdengar ceria. “Kalau begitu, buat nanti aja, ya?”
Kenzo tak menjawab, malah kembali ngobrol dengan temannya. Tapi Azzura tetap berdiri di situ, masih ingin bicara.
“Ngomong-ngomong,” lanjut Azzura dengan suara yang lebih lirih, “Untuk acara kemah besok kamu ikut, kan?”
Kenzo mengangguk tanpa menatapnya. “Jelas. Aku kan ketua BEM.”
Azzura tersenyum lagi, kali ini lebih lebar walau terpaksa. “Aku senang kalau kamu ikut. Aku bantu nyiapin konsumsi juga.”
Kenzo hanya mengangguk datar.
“Oh iya, ini ....” Azzura membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa lembar kertas. “Tugasmu yang kemarin. Udah aku kerjain semuanya.”
Kenzo baru menoleh, mengambil kertas itu sambil mengangguk tanpa mengucapkan terima kasih.
“Hmm, sini,” katanya singkat.
Azzura hanya tersenyum lagi. “Aku ke kelas dulu, ya. Semangat hari ini, Kenzo.”
Ia membalikkan badan dan berjalan menjauh, masih membawa kotak makan yang tidak disentuh itu. Di belakang, suara tawa pelan terdengar samar, dari teman-teman Kenzo.
“Dia pikir dia siapa, sih? Naksir Kenzo?”
“Udah cupu, polos, eh bawa bekal segala .…”
"Dasar gadis miskin, murahan," kata yang lain sambil terkekeh kecil.
Azzura mendengarnya cemoohan itu,tapi ia tak menoleh. Ia terus berjalan, sambil menggenggam kotak makan itu erat-erat.
**
Azzura tiba di kelasnya, membawa raut wajah datar dan langkah lelah, perhatian Sania langsung tertuju padanya.
Sania, gadis berambut ikal pendek dan wajah ekspresif, putri dari Zanders dan Nadira itu langsung menarik lengan Azzura agar duduk di bangku sebelahnya. Tatapannya penuh selidik.
“Ditolak lagi makanannya?” tebak Sania, setengah serius, setengah iba.
Azzura tidak menjawab. Ia hanya meletakkan kotak bekal di bawah meja, lalu mengeluarkan buku catatannya dengan gerakan pelan. Kepalanya menunduk, berusaha menghindari mata Sania.
Sania menghela napas panjang. Ia menyandarkan punggung ke kursi, lalu menatap Azzura dengan ekspresi lelah tapi peduli.
“Sampai kapan kau akan terus seperti ini, Ra?” tanyanya pelan tapi tegas. “Sudah jelas Kenzo itu cuma mempermainkan kamu. Benar apa yang Tante Zanaya katakan.”
Azzura mengangkat wajahnya, dan untuk sesaat matanya menyala. Ia menatap Sania tajam.
“Kau tidak tahu apa-apa, San,” ucap Azzura datar.
Sania mengangkat alis, sedikit menahan diri.
“Justru karena aku tahu, makanya aku ngomong begini. Sudah berapa kali? Dia nolak bekalmu, gak pernah ucapin terima kasih, tapi kamu tetap ngejar dia. Sampai kapan kamu mau bikin dirimu terlihat bodoh di depan semua orang?”
Azzura mengepalkan tangannya di bawah meja. “Aku gak bodoh.”
Sania menatapnya dengan lirih. “Tapi kamu membiarkan dirimu disakiti, Ra. Dan itu lebih menyakitkan buatku, tahu?”
Azzura mengalihkan pandangan ke luar jendela. Angin pagi meniup tirai tipis kelas.
“Aku cumn, pengen dia lihat aku. Walau cuma sebentar,” bisiknya.
Sania diam, hatinya mencelos mendengar ucapan sepupunya itu.
“Kau tahu gak, Ra?” lanjut Sania pelan. “Kalau yang kayak dia itu gak akan pernah lihat kamu sebagaimana kamu lihat dia. Kamu ngasih semua yang kamu punya, sedangkan dia bahkan gak anggap kamu ada. Dia itu cowok brengsek.”
Azzura menggigit bibirnya, matanya berkaca. Tapi ia menoleh lagi pada Sania, suaranya pelan, lirih, seperti anak kecil yang tersesat.
“Apa aku gak cukup baik, San?”
Sania terdiam sesaat. Hatinya remuk melihat sepupunya yang biasanya kuat, kini begitu rapuh.
“Kamu baik, Ra. Terlalu baik. Tapi kamu kasih kebaikanmu ke orang yang salah.”
Azzura menunduk lagi. Tak ada yang ia bisa katakan. Semua yang Sania katakan benar. Tapi hati tidak pernah bisa dipaksa logika.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
❤️⃟Wᵃf ༄SN⍟𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌🦈
haiii kak yul aq hadir ini
smgt kk buatbkarya baru mu
tp jg kwsehatan yaaa jgn di paksa klo blm sembuh bener
2025-07-05
4
Reni
wahhhhh udah nongol 🤩🤩🤩🤩
aduh cantik gpp untuk skrg g dianggap sama cowok g jelas udah stop ngejar borok mama dan sepupu mu benar hempasin iklasin sebelum terperosok jauh sakit hatinya
2025-07-05
1
Kusii Yaati
azzura nurunin sifat zanaya dulu sebelum di beri kehidupan kedua, zanaya yg jadi budak cintanya Revan sampai memusuhi keluarganya, persis kayak Zura sekarang susah di nasehati, apa perlu mati dulu baru sadar 😒
2025-07-07
1