Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.
Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.
Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.
Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.
"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lidah Ular dan Wajah Buddha
Tiga hari.
Hanya butuh tiga hari bagi Gunung Awan Putih untuk berubah dari tempat suci menjadi penjara sunyi.
Mei dimakamkan di bawah pohon beringin, tempat Liang Wu dulu menyelamatkan semut. Tidak ada peti mati mahal, hanya tikar bambu dan tanah basah. Liang Wu tidak menangis saat tanah menimbun wajah Mei. Air matanya sudah habis di hutan malam itu. Yang tersisa hanyalah tatapan kosong, sedingin abu perapian yang mati.
Guru Besar Xuan tidak mengurung Liang Wu lagi. Mungkin karena rasa bersalah, atau mungkin karena dia tahu tidak ada gunanya mengurung seseorang yang jiwanya sudah kosong. Liang Wu kembali memegang sapu, menyapu halaman seperti boneka kayu tanpa nyawa.
Srek. Srek. Srek.
Suara sapu itu adalah satu-satunya hal yang terdengar di pagi yang berkabut itu.
Hingga suara lain datang.
Bukan suara lonceng. Bukan suara burung. Melainkan suara gemuruh langkah kaki yang teratur, disertai denting logam beradu.
Ribuan langkah kaki.
Liang Wu berhenti menyapu. Dia tidak perlu melihat ke gerbang untuk tahu siapa yang datang. Bau mereka sudah tercium—bau minyak wangi mahal yang mencoba menutupi bau besi pedang.
Mereka datang.
Guru Xuan keluar dari Aula Utama, mengenakan jubah kasaya merah terbaiknya. Wajahnya tenang, tapi tangannya yang memegang tasbih gemetar halus.
"Tetap di sini, Wu'er," perintah Guru Xuan pelan.
Liang Wu tidak menjawab. Dia hanya menyeret sapunya, mengikuti gurunya menuju gerbang utama. Dia ingin melihat wajah 'kebenaran' yang selama ini diagung-agungkan gurunya.
Di depan gerbang Kuil Teratai Emas yang sederhana, lautan manusia berbaju biru langit dan putih telah berkumpul.
Sekte Pedang Azure. Sekte Awan Langit. Sekte Lima Elemen.
Mereka adalah Aliansi Ortodoks. Penegak hukum dunia persilatan. Pelindung rakyat lemah.
Dan di depan barisan itu, duduk di atas tandu kayu cendana yang dipikul empat murid kekar, adalah seorang pria paruh baya dengan janggut rapi dan mata yang menyipit ramah.
Patriark Zhao. Pemimpin Sekte Pedang Azure.
"Amitabha," sapa Guru Xuan, membungkuk hormat. "Angin apa yang membawa Patriark Zhao dan para pahlawan sekte ke gubuk kami yang sederhana ini?"
Patriark Zhao tidak turun dari tandunya. Dia hanya tersenyum, senyum yang tidak mencapai matanya.
"Guru Besar Xuan," suaranya lembut, berwibawa. "Kami tidak datang karena angin. Kami datang karena bau busuk."
Alis Guru Xuan berkerut. "Bau busuk?"
"Bau darah, Guru Besar. Bau iblis." Patriark Zhao mengibaskan kipas lipatnya. "Kami menerima laporan bahwa Kuil Teratai Emas, yang selama ini kami hormati sebagai pilar moralitas, ternyata diam-diam memelihara praktik sesat. Menyembunyikan iblis, dan... mengorbankan wanita tak berdosa untuk ritual darah."
Liang Wu, yang berdiri di belakang pilar gerbang, mencengkeram gagang sapunya hingga retak.
"Fitnah!" seru Guru Xuan, wajahnya memerah. "Kuil kami tidak pernah menyimpang dari jalan Buddha! Siapa yang menyebarkan kebohongan keji ini?!"
Patriark Zhao menutup kipasnya dengan bunyi tak keras.
"Bukan kebohongan jika ada saksi mata yang selamat dari kekejaman kalian. Bawa dia."
Barisan murid Sekte Pedang Azure membelah. Sebuah kursi roda didorong maju.
Di atas kursi roda itu, duduk seseorang yang seluruh tubuhnya dibalut perban. Kakinya digips. Wajahnya bengkak dan ungu, hidungnya patah, rahangnya digeser. Hanya matanya yang terlihat—mata yang penuh ketakutan yang dibuat-buat.
Duan.
"Duan..." bisik Guru Xuan, wajahnya pucat pasi. "Kau..."
Duan mulai menangis. Air mata buaya mengalir membasahi perbannya. Dia menunjuk Guru Xuan dengan jari gemetar.
"Itu dia..." isak Duan histeris. "Pria tua itu... dan muridnya yang gila... mereka... mereka menyiksaku! Aku datang mencari perlindungan, tapi mereka memaksaku melihat... melihat mereka membunuh pelayan bisu itu! Mereka mengambil jantungnya untuk ritual!"
"BOHONG!"
Teriakan itu bukan dari Liang Wu, tapi dari Guru Xuan. Orang tua itu gemetar karena marah dan tidak percaya. "Aku menyelamatkanmu! Aku merawatmu! Aku bahkan melawan muridku sendiri demi melindungimu!"
"Lihat!" teriak Duan pada orang-orang di sekitarnya. "Dia mengakuinya! Dia melawan muridnya sendiri... karena muridnya ingin membunuhku supaya aku tidak bicara! Muridnya, Liang Wu... dia iblis berwajah biksu! Dia yang menghancurkan wajahku!"
Gumaman amarah terdengar dari ribuan murid Aliansi. Mereka menatap Guru Xuan dan kuil itu dengan tatapan jijik.
"Tidak..." Guru Xuan melangkah maju, tangannya terulur. "Duan, katakan yang sebenarnya... Demi langit, katakan yang sebenarnya!"
"Cukup!" Patriark Zhao mengangkat tangan.
Dia menatap Guru Xuan dengan tatapan 'sedih' yang sangat meyakinkan. "Guru Besar... bukti fisik juga ada pada kami. Murid kami menemukan Sutra Hati Emas milik kuil kalian di tangan saudara Duan. Dia bilang dia berhasil mencurinya kembali sebelum kalian menodainya dengan darah iblis."
Patriark Zhao mengeluarkan kitab itu. Kitab warisan leluhur Kuil Teratai Emas.
"Ini..." Guru Xuan kehilangan kata-kata. Dia terjebak. Welas asihnya telah menjadi jerat di lehernya sendiri.
"Hukum dunia persilatan jelas," kata Patriark Zhao, suaranya kini dingin dan tajam seperti pedang. "Sekte yang bersekutu dengan iblis harus dimurnikan. Guru Besar Xuan... sebagai pemimpin, aku memberimu satu pilihan terakhir demi menghormati masa lalumu."
Patriark Zhao berdiri dari tandunya.
"Serahkan kepala muridmu, Liang Wu, dan menyerahlah untuk diadili. Atau... kami akan meratakan gunung ini."
Guru Xuan terdiam. Angin gunung berhembus, menerbangkan ujung jubahnya. Dia menoleh ke belakang, melihat Liang Wu yang berdiri dalam bayangan gerbang.
Tatapan mereka bertemu.
Di mata Liang Wu, tidak ada ketakutan. Hanya ada pertanyaan dingin: Apa yang akan Guru pilih sekarang? Kebenaran yang palsu ini... atau muridmu?
Guru Xuan memejamkan mata. Air mata menetes di pipinya yang keriput. Dia berbalik menghadap Patriark Zhao lagi. Dia menjatuhkan tasbihnya ke tanah.
Lalu, dia berlutut.
"Tidak ada iblis di sini," kata Guru Xuan, suaranya serak namun tegas. "Dosa itu... adalah milikku karena buta. Jangan sentuh murid-muridku. Ambil kepalaku."
"GURU JANGAN!"
Suara Liang Wu pecah. Dia berlari keluar dari bayangan, membuang sapunya. Tapi sebelum dia bisa mencapai gurunya, sebuah tekanan aura yang maha dahsyat turun dari langit.
BOOM!
Patriark Zhao melepaskan Aura Inti Emas tingkat Puncak. Liang Wu terhempas ke tanah, wajahnya tertekan ke batu, tidak bisa bergerak.
"Sangat mulia," kata Patriark Zhao sambil berjalan mendekati Guru Xuan yang berlutut. Dia menghunus pedang panjang dari pinggangnya. Bilahnya berkilau biru, haus darah. "Tapi sayangnya, Guru Besar... pengakuanmu membuktikan bahwa kuil ini sudah busuk sampai ke akarnya. Dan akar busuk... harus dicabut."
Patriark Zhao mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.
"Lihat baik-baik, Liang Wu!" teriak Duan dari kursi rodanya, suaranya penuh kemenangan yang sakit. "Lihat bagaimana 'kebenaran' bekerja!"
"TIDAK! GURU! BANGUN! LAWAN MEREKA!" teriak Liang Wu, air mata darah mulai mengalir dari matanya karena tekanan aura. "MEREKA PEMBUNUH! JANGAN MATI DEMI MEREKA!"
Guru Xuan tidak bergerak. Dia hanya melirik sekilas ke arah Liang Wu. Bibirnya bergerak membentuk satu kata tanpa suara.
Lari.
Pedang Azure itu turun.
CRAK.
Dunia Liang Wu menjadi hening.
Kepala orang yang paling dia hormati, orang yang seperti ayah baginya, menggelinding di atas batu halaman, berhenti tepat di depan hidungnya. Mata Guru Xuan masih terbuka, menatap Liang Wu dengan kesedihan abadi.
Dan di atas sana, Patriark Zhao tersenyum tipis sambil menyeka darah dari pedangnya dengan saputangan sutra.
"Bakar semuanya," perintahnya santai. "Jangan sisakan satupun tikus hidup."
Neraka telah resmi dibuka.
Alurnya stabil...
Variatif