Robert, seorang ilmuwan muda brilian, berhasil menemukan formula penyembuh sel abnormal yang revolusioner, diberi nama MR-112. Namun, penemuan tersebut menarik perhatian sekelompok mafia yang terdiri dari direktur laboratorium, orang-orang dari kalangan pemerintahan, militer, dan pengusaha farmasi, yang melihat potensi besar dalam formula tersebut sebagai ladang bisnis atau alat pemerasan global.
Untuk melindungi penemuan tersebut, Profesor Carlos, rekan kerja Robert, bersama ilmuwan lain, memutuskan untuk mengungsikan Robert ke sebuah laboratorium terpencil di desa. Namun, keputusan itu membawa konsekuensi fatal; Profesor Carlos dan tim ilmuwan lainnya disekap oleh mafia di laboratorium kota.
Dengan bantuan ayahnya Robert yang merupakan seorang pengacara dan teman-teman ayahnya, mereka berhasil menyelamatkan profesor Carlos dan menangkap para mafia jahat
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmond Sillahi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Penyelamatan
...Tak ada yang tertawa malam itu. Bahkan suara jangkrik pun seolah menahan diri, seakan tahu: sesuatu yang besar sedang direncanakan di balik cahaya temaram ruang tamu itu....
Ruang tamu laboratorium desa malam itu diselimuti ketegangan yang tak terucap. Lampu temaram menggantung rendah, memancarkan cahaya kuning pudar yang memantul di meja kayu tua. Di sekelilingnya, duduk empat orang dengan ekspresi waspada: Pak Mark, lelaki paruh baya dengan tatapan tajam; Robert, putranya. Si ilmuwan yang dicari orang jahat karena penelitiannya; Misel, kekasih Robert yang tampak resah tapi penuh empati; dan Jesika, keponakan Profesor Carlos, yang duduk dengan wajah pucat sambil memandangi layar ponselnya.
Pak Mark meletakkan cangkir kopinya yang belum disentuh, menatap Robert dengan dahi berkerut.
“Robert,” katanya perlahan, “Darimana kamu tahu Profesor Carlos dan para ilmuwan disekap di laboratorium kota?”
Robert menarik napas panjang sebelum menjawab, seolah mencari cara paling masuk akal untuk menguraikan kekacauan yang baru saja mereka temukan.
“Jesika dapat voice note dari Profesor Carlos,” kata Robert. “Di WhatsApp. Isinya ... lagu anak-anak. ‘Balonku Ada Lima’. Tapi... bukan sembarang nyanyian. Suaranya bergetar. Seperti orang yang sedang ketakutan.”
Jesika mengangguk pelan, wajahnya cemas.
“Waktu aku dengerin itu ... Aku langsung merasa ada yang nggak beres. Suaranya kayak ... bukan Carlos yang biasa.”
Robert menoleh pada Jesika. “Bisa kamu putar voice note-nya?”
Jesika menggeser layar ponselnya, menekan tombol play. Suara tua yang bergetar mengalun di ruangan.
“Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya ... hijau, kuning, kelabu, merah muda, dan biru ...
Meletus balon hijau ... DOR! Hatiku sangat kacau ...
Aduh, lupa lirik lagu terakhir. Maklum, Om sudah lama tidak jadi mahasiswa lagi ...”
Begitu suara itu berhenti, ruangan menjadi hening. Hanya suara angin dari celah jendela yang terdengar, bersiul lirih seolah ikut mendengarkan.
Pak Mark menyandarkan punggung, mengangguk-angguk perlahan sambil menyipitkan mata.
“Hmm ... lagu anak-anak. Tapi ... kenapa dia kirim lagu itu?” Ia menatap Robert penuh selidik. “Menurutmu, kenapa kamu yakin dia disekap?”
Robert bersandar ke depan, matanya menyala dengan intuisi yang mendalam.
“‘Balonku ada lima’... Itu bukan cuma lagu, Pak. Aku rasa, itu kode. Maksudnya, ada lima orang yang terlibat. Lima orang mencurigakan di laboratorium kota. Profesor Carlos nggak bisa ngomong langsung, jadi dia pakai lagu itu untuk kirim sinyal.”
Misel menatap Robert tak berkedip. “Jadi ... lagu itu kayak petunjuk?”
Robert mengangguk pelan. “Iya. Dan kita harus telusuri satu-satu.”
Ia menunjuk ke udara, seolah menggambarkan garis-garis tak terlihat di pikirannya.
“Balon hijau meletus. ‘Dor’. Hijau ... siapa yang identik dengan warna hijau?” Ia menunduk sejenak, lalu bergumam, “Militer. Tentara. Mereka pakai seragam hijau. Dan ‘dor’... itu suara tembakan. Jadi, satu: ada tentara yang terlibat. Mungkin perwira tinggi. Atau lebih buruk ... mata-mata militer.”
Pak Mark bergumam rendah, mengangguk. Jesika menelan ludah.
“Lalu kuning …” Robert melanjutkan, “Kuning keemasan. Biasanya dipakai pejabat. Aku pernah lihat pejabat kementerian riset datang ke lab kota. Waktu itu dia pakai batik kuning mencolok. Sangat tidak biasa. Mungkin dia salah satu dari lima itu.”
“Kelabu?” tanya Misel lirih.
Robert tersenyum tipis. “Itu langsung mengarah ke Direktur Lab. Dia selalu pakai jas kelabu. Setiap kali aku datang, pasti jas yang sama. Pria itu seperti warna abu-abu itu sendiri. Tampak netral, tapi menyimpan banyak rahasia.”
“Dan bagian tentang ‘sudah lama tidak jadi mahasiswa’?” tanya Pak Mark.
Robert mengangguk cepat. “Petunjuk lain. Mahasiswa magang. Aku ingat ada beberapa anak teknik yang magang di sana. Mereka pakai jaket almamater biru tua. Mungkin salah satu dari mereka tahu sesuatu, atau bahkan terlibat.”
Misel memandang Robert dengan kagum.
“Dan warna terakhir ... pink,” ujar Robert, matanya menerawang. “Itu pasti merujuk pada perempuan. Tapi bukan sembarang perempuan. Aku ingat satu orang yang selalu tampil mencolok, seorang donatur kaya dari yayasan farmasi. Gaun dan syalnya selalu pink cerah. Dia punya koneksi, dana, dan ... akses.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Pak Mark dan Misel tampak tertegun dengan kedalaman analisis Robert.
“Luar biasa ...” bisik Misel.
Pak Mark mengangguk dalam. “Kalau begitu, kita tidak bisa duduk diam.” Suaranya tegas. Ia berdiri perlahan, seperti seorang komandan yang hendak memimpin pasukannya.
“Kita tahu siapa yang mungkin terlibat. Kita tahu di mana mereka. Tapi kita belum tahu apa yang terjadi di dalam. Kita harus cari tahu. Jesika, coba hubungi siapa pun yang kamu kenal di lab kota—terutama mahasiswa magang itu. Robert, Misel, kita perlu siapkan rencana. Kita tidak bisa menyerbu masuk, tapi kita bisa menyusup.”
“Menyusup?” tanya Jesika, nyaris berbisik.
Pak Mark menatap mereka satu per satu.
“Kita akan masuk ke lab kota ... dan keluarkan Profesor Carlos sebelum semuanya terlambat.”
Robert, Misel, dan Jesika yang duduk di sekeliling meja langsung memusatkan perhatian. Pak Mark menatap mereka satu per satu, lalu melanjutkan.
“Aku akan segera menghubungi Denny. Temanku dulu, pensiunan intelijen. Sekarang dia punya jaringan pengaman pribadi, termasuk penyewaan bodyguard yang kalian lihat tadi.”
Jesika menyipitkan mata. “Denny? Namanya terdengar... seperti karakter film.”
Pak Mark tersenyum tipis. “Dia lebih berbahaya dari semua karakter film yang kau pikirkan. Kalau ada orang yang bisa menyusup ke laboratorium kota yang super ketat itu, cuma dia.”
Robert mencondongkan tubuh. “Ayah mau menyusup ke laboratorium kota?”
Pak Mark mengangguk. “Bukan cuma menyusup. Denny akan membantu menculik satu orang dari dalam. Mungkin mahasiswa atau staf rendahan yang kelihatannya nggak terlalu dijaga ketat. Dari orang itu, kita bisa dapat informasi bagaimana kondisi profesor Carlos dan para ilmuwan lainnya di sana.”
Robert langsung berdiri. “Kalau begitu aku ikut.”
“Robert—”
“Ayah, aku bukan anak kecil lagi. Ini bukan cuma soal eksperimen. Ini tentang membebaskan orang-orang yang ditahan secara ilegal. Kalau Ayah pergi, aku ikut.”
Misel meletakkan cangkirnya dengan suara nyaring, matanya penuh tekad.
“Kalau Robert ikut, aku juga.”
Pak Mark mengangkat alis. “Misel—”
Misel menatap Pak Mark penuh keyakinan. “Aku bisa berguna. Lagian aku bisa beladiri.”
Jesika menyusul. “Paman Carlos adalah keluargaku. Aku tahu kebiasaan dia, sinyal-sinyal rahasia yang hanya kami pahami berdua. Jika dia memberi tanda, mungkin hanya aku yang bisa membacanya. Tolong biarkan aku ikut.”
Pak Mark menghela napas panjang. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan pelan ke jendela kecil yang menghadap ke lereng bukit, membiarkan keheningan sejenak menyelimuti ruangan.
“Kalian pikir ini misi main-main?” katanya akhirnya. “Ini bukan film. Ini permainan intelijen. Satu gerakan salah, kita semua bisa hilang. Semakin banyak orang ikut, semakin besar risikonya. Aku tidak akan mempertaruhkan kalian.”
Robert melangkah maju. “Tapi Ayah juga bisa dalam bahaya.”
Pak Mark berbalik, dan untuk pertama kalinya wajahnya memperlihatkan kelembutan seorang ayah, bukan lagi sikap seorang pejuang hukum.
“Aku tahu, Nak. Tapi aku juga tahu batas kemampuanku. Denny akan bantu. Dia akan menyusup dulu, aku akan bergerak setelah dia memberi lampu hijau. Selain itu …” Ia menarik map dari tas kulitnya. “Aku sudah hubungi beberapa hakim dan jaksa yang bersih. Orang-orang yang tahu siapa aku. Mereka akan membantu dari dalam kota jika nanti kita harus berurusan dengan hukum atau menekan pihak-pihak yang bersembunyi di balik legalitas semu.”
Misel menatapnya lekat-lekat. “Jadi bapak yakin bisa kembali dengan selamat?”
Pak Mark menatap ke ketiga wajah muda itu. “Aku nggak janji ... tapi aku akan melakukan segala cara untuk tetap hidup.”
Ia menoleh ke Robert, nada suaranya berubah lebih lembut.
“Aku melakukan ini bukan karena aku pemberani, tapi karena aku ayahmu, Rob. Dan aku nggak bisa duduk diam saat anakku diganggu orang jahat.”
Robert mengepalkan tangannya, menunduk. Ada gelombang emosi yang menekan dadanya, tapi dia tahu... ayahnya tidak akan mundur. Seperti biasa, ketika kebenaran dipertaruhkan, Pak Mark akan menempuh jalan yang tak semua orang berani lalui.
“Kalau begitu,” ucap Jesika pelan, “kami akan tunggu di sini. Tapi tolong ... jangan terlalu lama.”
Pak Mark mengangguk.
“Jaga tempat ini. Jaga satu sama lain. Kalau aku belum kembali dalam seminggu ... hubungi Denny. Tapi jangan pernah datang ke kota. Itu perintah.”
Dan malam itu, ketika angin mulai turun dari pegunungan, rencana besar mulai disusun. Di antara kekhawatiran dan harapan, satu keyakinan tumbuh di hati mereka semua:
Keadilan harus ditegakkan. Walaupun harus masuk ke dalam kegelapan untuk menjemputnya.