Mr. Dark

Hari penimbangan mingguan selalu datang seperti vonis. Liona bahkan mengupas setiap helai pakaian sebelum naik ke timbangan, seolah-olah selembar kaus bisa membuat angka itu sedikit lebih bersahabat. Tidak ada ruang untuk keberuntungan. Semua harus pasti. Terkendali.

Dengan napas tertahan, ia melangkah ke atas timbangan digital. Ia memejamkan mata—mencoba menenangkan denyut jantungnya yang liar. Detik-detik berjalan lambat. Liona membuka satu mata, mengintip... lalu melompat turun.

Tidak. Itu pasti salah.

Ia naik lagi, kali ini dengan mata terbuka lebar.

Dan hatinya runtuh.

Angka itu bertambah—tiga pon. Tiga penuh. Bukan hanya berat badan awalnya tidak turun, tapi kini justru lebih tinggi dari minggu lalu. Usahanya selama ini... seolah menguap.

Namun jauh di dalam hati, Liona tahu: ia sedang berbohong pada dirinya sendiri. Ia tahu persis kenapa angka itu naik. Semua cupcake lemon, muffin, dan roti manis yang ia sembunyikan di antara janji “besok mulai serius lagi” adalah pengkhianatan kecil yang menumpuk. Dan sekarang, semua berbalik menertawakannya.

"Aku bodoh. Lemah. Rakus." Kalimat-kalimat itu muncul tanpa ampun di benaknya. "Tak heran aku gemuk. Tak heran tak ada yang menginginkanku."

Liona mencoba menghapus bayangan makanan dari pikirannya, namun setiap gigitan kecil yang tampak tidak bersalah adalah pintu masuk menuju kekacauan. Ia pernah mencoba menjelaskan kenaikan berat badan dengan retensi air atau siklus bulanan—tapi ia tahu alasan sebenarnya. Ia hanya tidak ingin mengakuinya.

Kenapa semuanya terasa begitu sulit? Makanan bukan sekadar rasa, tapi simbol—tentang kehilangan kendali, tentang luka yang belum sembuh. Ia telah membaca artikel, bergabung di grup pendukung, bahkan mencoba terapi. Tapi saat berdiri di depan cermin, semua teori itu hanyalah huruf-huruf kosong. Yang tersisa hanyalah ia, dan tubuh yang tak pernah bisa ia cintai.

---

Beberapa saat kemudian, ia tahu ia harus melakukan sesuatu.

Ia memilih pusat kebugaran sebagai tempat pelariannya. Rumah keluarga Orchid memiliki gym pribadi, dan hari itu semua orang sedang pergi. Kesempatan emas untuk berkeringat dalam kesendirian.

Liona membenci olahraga. Keringat, napas tersengal, wajah memerah—semuanya membuatnya merasa lebih terlihat, lebih terbuka. Dan itu membuatnya takut.

Namun ia mengenakan kaus abu-abu dan legging hitam, menggenggam botol air seakan itu adalah satu-satunya penghibur. Ia melangkah masuk, jantung berdegup kencang. Di hadapannya, deretan alat kebugaran berdiri angkuh. Ia memilih treadmill. Satu-satunya alat yang bisa ia pakai.

Dengan radio menyala pelan, ia mulai berjalan. Pelan. Lalu sedikit lebih cepat. Musik membantu mengalihkan rasa tidak percaya diri. Keringat mulai muncul, pipinya memanas, tapi ia tetap melangkah.

Ia mencoba untuk tidak melihat ke cermin, tapi matanya tertarik. Dan di sana, ia melihat semua yang selama ini ingin ia sembunyikan—lekukan yang tidak rata, tubuh yang terlalu besar, terlalu lebar. Ia ingin menangis.

Dalam pikirannya, ia membayangkan dunia yang berbeda. Dunia di mana ia lebih ramping, lebih anggun, lebih percaya diri. Dunia di mana mungkin... seseorang bisa mencintainya tanpa syarat.

Dan saat itu terjadi sesuatu.

Seseorang masuk. Suara sepatu menapak lembut di lantai membuatnya menoleh.

Harry.

Denyut jantung Liona berlipat ganda. Dia tak pernah datang sepagi ini. Mengapa hari ini?

Wajahnya merona bukan hanya karena lelah, tapi juga karena rasa malu. Rambutnya berantakan, kausnya menempel di tubuh, memperlihatkan setiap detail yang ia coba sembunyikan.

“Pagi,” suara Harry terdengar jelas melewati alunan musik.

Liona berusaha tersenyum, meski ia tahu hasilnya lebih seperti seringai. “Hai,” suaranya nyaris tak terdengar.

Harry melangkah mendekat dengan santai, tubuhnya tegap dalam pakaian olahraga yang pas. “Aku ga tau kalau kamu sedang disini,” katanya.

Liona menunduk, menarik kausnya ke bawah, berharap bisa menutupi sebagian tubuhnya. “Kupikir… waktunya aku mencoba jadi sehat,” gumamnya pelan.

Harry menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Kamu terlihat hebat.”

Liona hampir tertawa—pahit. “Kamu tak perlu bilang begitu. Aku tahu aku... tidak.”

Ekspresi Harry berubah. Ia mendekat, menyentuh lengannya pelan, lembut. “Aku tidak hanya bilang begitu,” katanya mantap.

“Kau lebih dari cukup, Liona. Kau hebat hanya dengan berada di sini. Banyak orang bicara soal perubahan, tapi kau benar-benar melakukannya.”

Matanya panas. Hatinya berdenyut aneh. Tidak ada yang pernah berkata begitu. Tidak dengan tulus.

“Tidak ada yang tahu betapa beratnya ini,” Liona berbisik. “Aku selalu merasa... salah. Terlalu besar. Terlalu terlihat.”

“Aku tahu,” Harry menatapnya penuh ketulusan. “Dan aku ingin kau tahu—kurus atau tidak, kamu sudah luar biasa. Cantik. Benar-benar cantik.”

Itu kata yang sudah lama tidak ia dengar. Cantik.

Dan untuk sesaat, Liona mempercayainya.

---

Ketika Harry pergi, Liona menatap cermin sekali lagi. Tubuh itu masih sama. Masih besar. Masih tidak sempurna.

Namun ada sesuatu yang berbeda.

Ia.

Ada cahaya kecil di dalam matanya. Ada api yang kembali menyala. Ia tahu jalan ini panjang dan berat, tapi untuk pertama kalinya, ia tak merasa sendirian. Ia tak merasa tak terlihat.

Mungkin, hanya mungkin—ia bisa mulai melihat dirinya sendiri... dengan mata yang lebih baik.