Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Ada Pilihan Lagi.
Vanesa berdiri di depan rumah yang paling ia hindari. Pintu besar itu terbuka perlahan, memperlihatkan interior mewah dengan dominasi hitam dan emas.
Di dalam, duduk seorang pria tampan, dingin, dan tak tersentuh. Gavin .
“Aku akan tidur denganmu… Tapi sebagai gantinya, beri aku uang yang banyak.”
Gavin mengangkat dagunya, tersenyum miring. Kedua sikunya bersandar di meja, matanya menusuk.
“Aku menawarkan pernikahan padamu beberapa hari yang lalu, Vanesa. Sebelum aku menikah.” Gavin menunjukkan cincin pernikahan di jarinya.
Vanesa menelan ludah melihat cincin pernikahan itu, tangannya bergetar, tapi ia berusa kuat dan tegar. Demi adik dan ayahnya.
“Aku yakin kau masih menginginkan tubuhku, tapi aku tidak bisa menerima pernikahan.
Gavin berdiri, berjalan santai ke arah Vanesa yang duduk di sofa. Ia meraih dagu wanita itu, mengangkat wajahnya agar mata mereka bertemu. “Kenapa sekarang datang padaku?”
“Aku tak punya pilihan lain,” jawab Vanesa pelan.
“Ini demi ayah dan adikmu? Atau demi suamimu?”
“Kau tak perlu tahu.”
Gavin terkekeh rendah. “Wanita sepertimu selalu susah ditebak. Aku menawarkanmu segalanya... kekuasaan, kedudukan. Tapi kau menolaknya. Sekarang kau kembali—kenapa?”
Vanesa menatap tajam. “Aku akan memuaskanmu. Buat kamu tak lagi butuh kehangatan wanita lain. Beri aku uang itu.”
Mendengar perkataan Vanesa, Gavin merasa kecewa, marah karena Vanesa bersikap seperti wanita nakal, yang rela menjual tubuhnya demi uang.. Beberapa waktu lalu ia menawarkan tahta paling tinggi untuknya yakni pernikahan. Namun, Vanesa menolak dan sekarang dia datang … sebagai penjual.
Gavin tak langsung menjawab. Ia berjongkok, mengusap perlahan dari mata kaki Vanesa hingga ke pahanya.
“Aku ingin lebih dari itu,” ucapnya pelan namun menusuk.
Vanesa memejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali. “Apa yang kau inginkan?”
“Lahirkan anak untukku.”
Deg.
Bola matanya membesar. “Kau gila, Gavin?! Aku adikmu!”
Gavin tertawa renyah. “Tidak. Kita tidak ada hubungan darah. Lalu apa bedanya dengan tidur denganku?”
“T-tidur denganmu, kita bisa melakukannya diam-diam,” ucap Vanesa pelan.
“Kamu mau apa tidak?” tanya Gavin lagi.
“Lalu … Bagaimana dengan istrimu? Apa dia bisa menerima?”
“Aku tak butuh izinnya.”
Vanesa terdiam. Ia pernah bersumpah tak akan pernah jadi orang ketiga. Ia tahu rasanya dikhianati, dan ia benci menjadi bagian dari kehancuran rumah tangga orang lain.
“Aku tak bisa melakukannya. Aku hanya menawarkan tubuhku. Kalau soal itu... aku sanggup.”
“Tinggalkan suamimu. Dan aku akan berikan segalanya.”
“Aku tak butuh semuanya, Gavin. Aku hanya butuh satu miliar. Dan aku akan jadi wanita paling setia di ranjangmu malam ini.”
Gavin mencium bibir Vanesa. Lembut. Dalam. Namun penuh pemaksaan dominasi.
“Hmm… rasanya masih sama seperti dulu.”
Tapi Gavin belum selesai. Tangan dinginnya kini bergerak ke arah perut Vanesa. “Kau tak mengerti, Danita... kali ini, aku yang memegang kendali.”
Vanesa masih berdiri di dalam ruangan luas bergaya modern itu, menatap pria di depannya dengan mata berkabut. Gavin duduk santai di balik meja kerjanya, sorot matanya dingin, menyapu tubuh wanita yang tengah rapuh itu.
“Kamu tidak punya pilihan lain, Vanesa. Terima tawaranku, dan semua masalahmu akan selesai,” ucapnya pelan namun tegas, seolah tak memberi ruang untuk penolakan.
Vanesa memejamkan mata sejenak. Di pikirannya terputar wajah ayahnya yang kini terbaring lemah di rumah sakit, perjuangannya selama ini yang sia-sia, dan pengkhianatan paling kejam—dari suami dan keluarga yang selama ini ia pertahankan.
Dengan suara nyaris tak terdengar, Vanesa berkata, “Baiklah… aku akan melahirkan anak untukmu. Tapi, sebagai gantinya, berikan aku uang yang cukup… banyak.”
Gavin menyunggingkan senyum tipis, nyaris mengejek. “Aku sudah katakan dari awal, Danita. Uang bukan apa-apa bagiku.”
Pria itu berdiri, lalu menarik pinggang Vanesa dengan santai dan menjatuhkannya ke pangkuannya. Vanesa menggigil. Bukan karena dingin, tapi karena konflik batin yang menyesakkan. Ia belum resmi berpisah dengan Damian. Tapi kini ia berada di pangkuan pria lain, pria yang selama ini paling ia hindari.
“Sepertinya kamu keberatan,” gumam Gavin pelan. “Aku tidak akan memaksa jika kamu belum siap. Aku bukan tipe pria yang mengemis kehangatan dari seorang wanita. Ingat, kamu yang datang padaku.”
Gavin melepaskan tangannya dari pinggang Vanesa. Tapi ketika bayangan ayahnya kembali muncul—dengan selang infus menancap di tangan keriput itu—Vanesa menelan rasa malu dan menjangkau leher Gavin. Ia menempelkan bibirnya dengan lembut ke bibir pria itu. Getaran tubuhnya tak bisa ia kendalikan.
“Aku… setuju melakukannya,” bisiknya.
“Apa kamu katakan? Aku tidak mendengar.”
Vanesa menutup matanya erat. “Aku bersedia.”
Gavin menatapnya tajam. “Apa kamu yakin?”
“Iya,” jawab Vanesa mantap.
“Kalau begitu…” Gavin mulai membuka kancing kemejanya. “Kita mulai sekarang.”
Mata Vanesa membulat. “Sekarang? Di tempat ini?”
Gavin berjalan mendekat lagi. “Apa kamu keberatan, Danita?”
“Bu-bukan… maksudku, ini kantormu. Bagaimana kalau ada karyawanmu yang melihat kita?”
“Aku tidak peduli di mana tempatnya, Danita. Kalau kamu setuju dengan kesepakatan ini, berarti kamu juga siap kapan pun aku menginginkannya.” Wajah Gavin tetap datar tanpa emosi.
Vanesa mencoba menjaga harga dirinya yang tersisa. “Tapi... bagaimana kalau ada yang melihat? Kamu punya reputasi.”
“Aku bos di sini. Tak ada satu pun yang berani buka mulut.”
Tanpa menunggu lebih lama, Gavin menyapu bersih semua benda di atas meja. Suara benda jatuh menghantam lantai membuat Vanesa tersentak. Lalu tubuhnya terangkat ringan dan diletakkan di atas meja dingin itu.
Ia ternganga, tak percaya semua ini terjadi begitu cepat.
“Apa kamu takut?” bisik Gavin dekat di telinganya, membuat bulu kuduknya meremang.
Vanesa hanya bisa menelan ludahnya. Ia mengalihkan pandangan, menolak menatap wajah tampan itu.
“Tidak… hanya saja... ini tidak nyaman. Ini... meja kerjamu.”
Gavin menyeringai. “Justru karena itu aku ingin di sini. Aku ingin memikirkan tubuhmu setiap kali duduk di meja ini.”
Satu kakinya dinaikkan ke atas meja, sementara satu lagi dibiarkan menggantung. Dress hijau lumut yang dipakainya tersingkap, memperlihatkan kulit putih mulus di baliknya. Vanesa berusaha menahan getaran tubuhnya. Malu dan marah bercampur aduk.
“Kenapa wanita secantik ini disia-siakan oleh suamimu?” Gavin menatap pahanya dalam-dalam.
“Jangan sebut dia!” sergah Vanesa penuh amarah. “Lakukan saja apa yang kamu inginkan dari tubuhku!”
Gavin tertawa kecil. “Kamu yakin sudah siap denganku?”
“Iya,” jawab Vanesa, datar.
Gavin mengangkat kedua kaki Vanesa ke atas meja. Vanesa menopang tubuhnya dengan kedua tangan, menjaga keseimbangan. Saat Gavin mulai menyisir kulitnya dari lutut ke atas, napas Vanesa tercekat. Pria itu menyentuh bagian paling sensitifnya, mengusap lembut dengan gerakan menyiksa. Vanesa bergelinjak, menahan desahan yang nyaris lolos.
“Kenapa diam saja, sayang?” bisik Gavin di telinganya. “Katakan kalau kamu menikmatinya.”
Vanesa menutup mulutnya, menahan suara. Tubuhnya bergetar hebat saat Gavin menyibakkan kain kecil di balik dress-nya dan memasukkan satu jari ke dalam dirinya.
“Gavin… ah…” desahnya tak tertahan.
“Apa kita harus melakukannya di sini? Ada ruangan di sana,” bisiknya pelan, menunjuk pintu ke ruangan kecil tempat Gavin biasa beristirahat.
Gavin berhenti sejenak. “Tidak. Aku tidak ingin mengotori ranjangku dengan tubuhmu. Ranjang itu hanya untuk wanita yang aku nikahi. Bukan untuk pelacur.”
Seketika itu juga dada Vanesa seperti diremukkan. Hinaan itu lebih tajam dari tusukan belati. Tapi tubuhnya tak bisa mengabaikan permainan Gavin yang semakin liar di bawah sana. Ia ingin melawan, tapi tak kuasa menahan hasrat yang menyiksa.
“Apa kamu menikmati ini, Vanesa?”
Ia diam. Tidak mau mengiyakan, tapi juga tak bisa menyangkal.
Ketika ia mencoba membuka kancing celana Gavin, pria itu menarik tangannya.
“Biarkan aku yang mengendalikan. Nikmati saja.”
Namun yang terjadi justru rasa sakit. Dua jari besar Gavin masuk , membuat Vanesa menggigit bibir kuat-kuat menahan nyeri.
“Aku tidak tahan… kamu menyakitiku,” rintihnya, air mata mulai menggenang di pelupuk mata. “Apa kamu membenci tubuhku?”
Gavin menarik tangannya keluar. “Kita akan melakukannya setelah kamu membersihkan tubuhmu dari jejak suamimu. Pastikan kamu mandi bersih sebelum datang padaku. Aku tidak ingin ada bekas pria lain di sana.”
Kalimat itu membuat Vanesa merasa seperti wanita murahan. Tubuhnya gemetar, bukan karena nafsu, tapi karena harga dirinya diinjak habis-habisan. Gavin mengambil tisu, membersihkan tangannya, lalu membuka laci dan mengambil buku cek.
Ia menulis cepat, lalu menyodorkan kertas cek itu ke Vanesa. “Kamu datang padaku setiap kali aku memanggilmu.”
Vanesa hanya berdiri membeku. Hinaan Gavin menusuk terlalu dalam. Tapi wajah ayahnya kembali menghantui, membuat batinnya kembali berperang.
Perlahan ia turun dari meja, meraih tas tangannya. “Kamu tidak perlu membayar. Kita belum melakukan apa-apa,” ucapnya lirih, lalu berbalik pergi.
“Kamu butuh itu untuk menyelamatkan nyawa ayahmu,” ucap Gavin, masih menyodorkan ceknya.
“Tidak perlu.” Vanesa membuka pintu, berjalan keluar tanpa menoleh lagi.
“Kamu tidak berubah… selalu keras kepala,” gumam Gavin dengan senyum miring di wajahnya.
“Tapi kamu akan kembali padaku, Vanesa. Karena hanya aku satu-satunya jalan keluar dari neraka hidupmu.”
[Bersambung...]
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini