Ardina Larasati, sosok gadis cantik yang menjadi kembang desa di kampung Pesisir. Kecantikannya membuat seorang Regi Sunandar yang merupakan anak pengepul ikan di kampung itu jatuh hati dengannya.
Pada suatu hari mereka berdua menjalin cinta hingga kebablasan, Ardina hamil, namun bukannya tanggung jawab Regi malah kabur ke kota.
Hingga pada akhirnya sahabat kecil Ardina yang bernama Hakim menawarkan diri untuk menikahi dan menerima Ardina apa adanya.
Pernikahan mereka berlangsung hingga 9 tahun, namun di usia yang terbilang cukup lama Hakim berkhianat, dan memutuskan untuk pergi dari kehidupan Ardina, dan hal itu benar-benar membuat Ardina mengalami gangguan mental, hingga membuat sang anak yang waktu itu berusia 12 tahun harus merawat dirinya yang setiap hari nyaris bertindak di luar kendali.
Mampukah anak sekecil Dona menjaga dan merawat ibunya?
Nantikan kelanjutan kisahnya hanya di Manga Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Mobil petugas dinas sosial sudah membawa Dona ke panti sosial pinggir kota, Dona memejamkan matanya di saat mobil itu berhenti, tangannya meremas ujung bajunya sendiri, seolah tidak ingin memasuki bangunan besar itu.
"Don, ayo kita turun," ajak salah satu petugas dinas sosial dengan lembut.
"Tidak ... aku sudah berjanji mau menunggu kedatangan Om," tolak Dona dengan nada yang datar.
Petugas perempuan itu sedikit iba melihat air mata yang terus membasahi pipi Dona. "Baiklah lusa mungkin Om kamu akan menjemput," ucap petugas itu.
"Tidak mungkin karena Om tidak tahu tempat ini," sahut Dona.
"Om kamu pasti tahu dari para tetangganya," jelas petugas itu hingga membuat Dona sedikit meluluh.
Dona keluar dari mobil, kakinya pertama kali menyentuh lantai paving depan panti sosial itu, Dona mulai mengedarkan pandangannya pada bangunan besar dengan cat tembok yang sudah mengusam itu.
Langkahnya perlahan di bawa masuk ke dalam oleh para petugas, suara anak-anak mulai memenuhi ruangan besar ini, ranjang besi berjajar rapi saling berhadapan, hati Dona tertegun, meskipun tempat ini jauh lebih layak, namun hatinya masih berada di dalM rumah kayu yang hampir reyot itu.
"Tidak aku tidak mau!" Dona sedikit berontak.
Petugas itu mulai menenangkan ia berjongkok di depan Dona, berusaha mensejajarkan pandangan mereka.
“Nak, coba dulu. Di sini kamu lebih aman dan punya banyak teman.”
Dona menggeleng. Rambut kusamnya bergerak mengikuti kepalanya.
“Aku gak butuh teman… aku cuma mau Om sama Ibu…”
Ucapannya lirih, hampir tenggelam oleh riuh suara puluhan anak lain yang berlarian, tertawa, atau saling memanggil nama. Dunia yang ramai itu justru membuat Dona merasa semakin sendirian.
Petugas perempuan itu menarik napas panjang. Tangannya perlahan menggenggam jemari kecil Dona. “Masuk dulu ya, nanti kamu bisa istirahat.”
Dona terpaksa melangkah, kakinya terasa berat seolah setiap pijakannya mengoyak janji yang ia pegang erat sejak sore tadi. Di sisi dalam aula, seorang pengasuh memanggil nama-nama anak sambil membagikan alas tidur dan baju ganti. Dona hanya berdiri mematung di dekat pintu, memeluk bajunya sendiri.
“Nama?” tanya seorang pengasuh.
“Dona…” jawabnya pelan. “Dona Ardina.”
Pengasuh itu tersenyum tipis. “Ikut Kakak ya, kamu tidur di sana.”
Dona dituntun ke sudut ruangan, sebuah ranjang besi tingkat dua dengan kasur tipis dan sprei warna-warni. Ia duduk perlahan, menatap sekeliling. Anak-anak lain tampak sibuk dengan dunia mereka masing-masing ada yang tertawa keras, ada yang bertengkar mainan, ada pula yang menangis diam-diam di sudut yang lain.
Namun bagi Dona semua terlihat asing, keceriaan anak-anak yang lain tidak menyentuh hatinya, bahkan anak itu masih muram seolah menolak untuk beradaptasi.
"Aku masih punya rumah, aku masih punya Ibu dan aku punya Om," dalam hati terus bergejolak.
Dona memeluk lututnya, menunduk. Dari saku kecil bajunya ia mengeluarkan benda terakhir yang sempat ia simpan, bungkus permen kecil pemberian Regi. Kusut dan hampir tak berwarna, tapi ia menggenggamnya seolah sebuah harta karun.
“Om… jangan lama-lama ya,” bisiknya pelan.
Malam pun turun, lampu aula dipadamkan satu persatu, hanya ada cahaya lampu dari luar yang sedikit masuk, Dona berbaring memunggungi dunia yang seolah asing ini, dari balik selimut tipis, ia mengintip ke pintu aula, dalam hayalnya berharap Regi datang menjemput, namun yang datang hanya sunyi, hingga isaknya pecah, air mata terus menetes jatuh ke bantal berwarna warni itu.
“Ibu… Om…” panggilnya dengan suara serak yang akhirnya hilang ditelan gelap.
Di panti sosial pinggir kota itu Dona menghabiskan malam pertamanya, bukan sebagai anak yang aman, melainkan sebagai anak yang kehilangan rumah, keluarga dan janji yang merasa ia ingkari.
☘️☘️☘️☘️☘️
Di lain kota yang jaraknya berkilo-kilo meter, dari panti, Regi akhirnya menyelesaikan beberapa perkara yang sedang menghambat perusahaannya.
Malam turun perlahan, dari balkon apartemen pria itu menatap langit yang kosong, tanpa ada bulan ataupun bintang, semua terasa sunyi seperti hatinya yang sejak sore tadi ia paksa untuk tenang, padahal jauh di dalam dada ada sesuatu yang mengusik tanpa jeda.
"Om, lain kali kita ke mall lagi ya bersama Ibu."
Kata-kata anak kecil itu masih terus terngiang di dalam benaknya, entah kenapa hati kecilnya tidak bisa berhenti, terus dan terus kepikiran dengan wajah polos itu, tatapan teduhnya, caranya bicara yang lugu, dan tingkah polosnya di saat ia baru pertama kali melihat keindahan kota.
Entah kenapa semua yang menyangkut tentang Dona tidak bisa terlepas begitu saja, dan di malam ini ia tidak bisa tidur tenang, entah perasaan apa yang terjadi, hati kecilnya seolah menuntun agar dirinya cepat-cepat pulang.
"Besok aku harus pulang diam-diam, entah kenapa aku tidak bisa meninggalkan anakku darah dagingku meskipun hanya sekejap."
Dan entah kenapa, firasat itu datang begitu saja, seperti ada bahaya yang bergerak tanpa suara, mengincar sesuatu yang berharga baginya.
☘️☘️☘️☘️☘️
Sementara itu, di dalam rumah besar milik Juragan Halik, suasana justru terasa tenang.
Halik duduk santai dengan segelas teh, sementara Nindi berdiri di dekat jendela, memandang taman dengan mata kosong.
“Sudah selesai?” tanya Halik datar.
Nindi mengangguk pelan. “Anaknya sudah dibawa.”
Tak ada senyum di wajah Halik. Tapi sudut bibirnya bergerak tipis, cukup sebagai tanda kepuasan, untuk melihat semuanya.
“Bagus.”
Hening beberapa detik menyelimuti ruangan, keduanya masih saling diam sibuk dengan pikirannya masing-masing, Halik menatap udara kosong, seolah berbicara pada bayangan masa lalu.
“Farid… akhirnya kau bisa melihat semuanya dari kejauhan.”
Nindi memalingkan wajah. “Dan Fahira…” gumamnya lirih, “mungkin juga ikut menjadi saksi.”
Tak satu pun dari mereka menyebut nama Dona, Seolah anak itu hanyalah bagian kecil dari rencana besar yang sudah lama tersusun, ini bukan tentang darah daging tapi masa lalu yang sepertinya masih belum selesai.
“Regi masih di kota,” kata Nindi kemudian. “Kita bisa ulur waktunya.”
Halik mengangguk pelan. “Satu minggu… dua minggu… tak masalah. Anak itu akan terbiasa tanpa dia.”
Tatapan Nindi mengeras. Regi tak boleh kembali ke kampung ini.”
Halik menatap istrinya. “Kita sudah sepakat. Tidak ada yang boleh menyentuh ‘masalah lama’ itu lagi.”
Keduanya tersenyum sinis, tanpa tahu jika diam-diam sang anak sudah menyusun rencananya sendiri.
☘️☘️☘️☘️
Di luar, angin malam berdesir lembut
sementara di sebuah panti sosial pinggir kota, seorang anak kecil menangis memeluk bungkus permen kusut yang ia genggam erat.
Entah sampai kapan ia berada di tempat ini, bahkan satu jam pun rasanya berhari-hari, semua kebahagiaan yang baru saja ia dapat seolah direnggut begitu saja.
Bersambung ...
Maaf ya sedikit telat banyak iklannya he he.
semangat Regi pasti bisa menjalaninya