Follow IG Author, @ersa_eysresa
Setelah bertahun-tahun setia mendampingi suaminya dari Nol, rumah tangga Lestari mendapatkan guncangan hebat saat Arman suaminya tega membawa wanita lain ke rumah. Melati, wanita cantik yang membawa senyum manis dan niat jahat.
Dia datang bukan sekedar untuk merusak rumah tangga mereka, tapi ingin lebih. Dan melakukan berbagai cara untuk memiliki apa yang menjadi hak Lestari.
Lestari tidak tinggal diam, saat mengetahui niat buruk Melati.
Apa yang akan dilakukan oleh Lestari?
Apakah dia berhasil mengambil kembali apa yang menjadi miliknya?
"Karena semua yang tampak manis, tak luput dari Murka Sang Penguasa, "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Yang Penuh Luka
Langit pagi masih muram ketika Arman memulai harinya dengan secangkir kopi pahit. Rumah itu seperti baru saja melewati badai besar, lantainya masih berserakan pecahan kaca, dinding penuh goresan, dan aroma dupa hitam yang tertinggal di udara membuatnya mual. Tapi ia tetap bertahan di situ. Ini rumah yang ia bangun bersama Lestari, tempat mereka menanam cinta sebelum semuanya direbut.
Ia berdiri di ruang tengah. Lampu gantung masih bergoyang pelan, seperti menyimpan jejak energi gelap yang pernah menetap. Di sudut ruangan, foto keluarga yang dulu ia abaikan kini tampak lebih hidup dari sebelumnya. Lestari tersenyum dengan Dara di pangkuannya dan Dimas mencium pipi Arman. Foto itu membuat dadanya sesak.
Pelan-pelan, Arman memungut pecahan gelas dari lantai. Setiap potongan tajam itu seperti mewakili bagian hidupnya yang telah hancur.
Tiba-tiba, suara pelan terdengar dari kamar atas, bekas kamar Melati.
Langkah Arman membeku. Rasa dingin merambat dari ujung kaki ke belakang tengkuknya. Tapi ia memaksa diri berjalan ke arah suara itu. Pintu kamar terbuka sedikit, bergoyang ditiup angin. Ia menelan ludah dan mendorongnya perlahan.
Di dalam, ruangan itu kosong. Tempat tidur rapi, tak ada siapa-siapa. Tapi di tengah kasur, tergambar pola seperti bunga melati yang menghitam, seolah terbakar dari dalam. Di bawahnya, tulisan aneh yang tak bisa ia baca tergores seperti luka.
Arman mundur satu langkah, napasnya tercekat. Ia tahu, sisa-sisa sihir Melati masih menempel di sini.
Dengan gemetar, ia mengambil air wudhu. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Arman kembali bersujud di atas sajadah usang yang dulu dibelikan Lestari. Tangisnya pecah di sela-sela doa.
"Ya Allah… aku datang dalam keadaan hina. Aku khilaf. Aku ingin membersihkan rumah ini, membersihkan diriku, kalau masih Kau beri kesempatan…"
Air mata membasahi sajadah. Ketika ia bangkit dari sujud, udara di sekelilingnya terasa lebih ringan. Tapi jauh di lubuk hati, ia tahu ini baru awal dari sesuatu yang besar yang akan terjadi nanti. .
******
Sementara itu di pondok, Lestari mulai bisa menarik napas lebih lega. Ia membersihkan luka di lengannya dengan air rebusan daun sirih yang diberikan Bu Nurul, tetua pondok. Anak-anaknya bermain di halaman bersama santri lainnya, mereka tertawa kecil walau sesekali mencuri pandang ke arah ibunya.
"Bunda," kata Dara pelan, menarik ujung gamis Lestari. "Apa kemarin Bunda bertemu ayah? Apa Ayah marah lagi sama Bunda? Apa bunda baik-baik saja?"
Lestari tertegun. Ia berjongkok, menatap mata anak perempuannya. Kenapa Dara bisa berkata seperti itu?
"Bunda memang takut. Tapi sekarang Bunda lebih kuat. Karena kalianlah yang selalu menjadi penyemangat bunda. "
Dimas ikut mendekat, memeluk dari belakang. "Kalau Ayah datang lagi, apa Bunda akan marah kepada ayah? "
Lestari tersenyum getir. "Ibu nggak tahu, Nak. Tapi yang pasti… kita akan tetap bersama. Dan nanti jika ayah datang, Ibu harap kalian bersikap baik kepada ayah, karena bagaimana pun Ayah tetaplah ayah kalian. "
Dara dan Dimas memandangi bundanya dengan penuh tanya. Bagaimana bundanya itu memiliki hati sebaik itu untuk ayah yang sudah menyakitinya selama ini.
Lestari tersenyum hangat kepada kedua anaknya dan memberikan penjelasan yang mereka mengerti. Karena anaknya masih terlalu kecil untuk memahami masalah orang tuanya. Yang mereka tau jika bundanya menangis, itu artinya ayah sudah menyakitinya.
"Aku sudah tidak menunggumu lagi. Sekarang aku akan terus berjalan bersama anak-anakku. Karena hanya mereka berdua yang menjadi penguatku untuk saat ini. "
*********
Di sisi lain, di sebuah tempat gelap yang tak tersentuh matahari, Melati duduk di lingkaran batu dengan darah mengalir dari hidungnya. Suaranya parau, tapi sorot matanya masih menyala penuh benci.
"Bagaimanapun Arman harus menjadi milikku," bisiknya. "Kalau dia bisa lepas dari ikatanku, maka aku harus mengikatnya lebih kuat agar tidak lepas lagi,"
Makhluk seram itu tiba-tiba muncul kembali setelah mendengar ucapan Melati. Kali ini dia muncul dalam bentuk seorang wanita tua berjubah hitam. Rambutnya menjuntai seperti akar pohon mati dan gimbal. Ia mendekat, mencium bau tubuh Melati, lalu tersenyum.
"Apa Kau ingin kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya?" bisik makhluk itu. "Bayarannya adalah sesuatu yang lebih besar dari sekadar tubuh…"
"Aku mau!" sahut Melati cepat tanpa mendengar ucapan makhluk itu secara lengkap, dan berkata tanpa ragu. "Ambil apa pun yang kau mau, asal Arman kembali padaku."
Makhluk itu tertawa kecil dan sedikit menyeringai, "Kalau begitu… kau akan kehilangan sebagian dari dirimu yang manusiawi. Tapi jangan menyesal. Ini jalan gelap yang kau pilih dan kau tak akan bisa kembali."
Tubuh Melati mulai bergetar. Ia menggigit bibir hingga berdarah. Tapi ia tetap mengangguk.
"Aku tidak butuh sisi manusiawiku. Aku hanya butuh dia… dan menyingkirkan Lestari."
Makhluk itu membuka mulutnya yang dipenuhi gigi-gigi kecil seperti gergaji. Ia meniupkan kabut hitam ke wajah Melati.
Melati menjerit. Kulitnya mulai menghitam. Matanya membiru seperti mayat. Tapi ia tetap duduk tegak, menyambut kekuatan baru dengan tawa lirih.
*******
Hari itu Arman terlihat sangat kelelahan, setelah membersihkan kekacauan di rumahnya. Bahkan dia lupa menepati ucapnya kepada Lestari kalau dia akan pergi ke pondok untuk melihat keadaan anak-anaknya.
Setelah membersihkan tubuhnya dia ketiduran di rumah kamarnya. Entah berapa lama dia terlelap, tiba-tiba Arman terbangun dari tidurnya karena suara tangisan. Ia tertegun, bukan suara anak-anaknya. Tapi suara perempuan. Sebuah tangis pilu.
Ia berdiri, mencari sumber suara. Sampai di ruang tengah, ia melihat bayangan perempuan berpakaian merah duduk di sudut. Rambutnya panjang menjuntai, dan tubuhnya gemetar seperti kedinginan.
"Melati?" panggil Arman pelan. "Apa itu kamu? "
Sosok itu menoleh, dia bukan Melati. Tapi wajah yang menyerupai wajah Melati, dengan mata hitam sepenuhnya dan senyum retak.
"Arman…" suara itu lirih. "Apa kamu sudah melupakan aku?"
"Siapa kau, kenapa bisa masuk ke rumahku?"
Arman berjalan mundur. Tapi tubuhnya tak bisa bergerak. Seolah akar-akar tumbuh dari lantai dan menahan kakinya.
"Ini rumahku juga… kau sudah memanggilku saat pertama kali menyentuhnya…" Sosok itu mendekat perlahan, langkahnya tak bersuara. Tangan Arman bergetar. Mulutnya terbuka, ingin membaca sesuatu, doa, atau ayat, apa saja. Tapi suara tercekat di tenggorokan dan tidak bisa mengeluarkan apapun dari mulutnya.
Dan ketika sosok itu mengulurkan tangan untuk menyentuh wajahnya, tiba-tiba...
DAR!
Suara pintu depan terbanting dan terbuka dengan kasar. Angin malam masuk menerjang. Dan sosok itu lenyap seketika.
Arman terhuyung. Nafasnya berat. Tapi sesuatu telah berubah, dan membuatnya linglung.
"Apa itu tadi, " gumamnya.