NovelToon NovelToon
Jangan Pernah Bersama

Jangan Pernah Bersama

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Kelahiran kembali menjadi kuat / Romansa / Reinkarnasi / Mengubah Takdir
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Anastasia

Clara Moestopo menikah dengan cinta pertamanya semasa SMA, Arman Ferdinand, dengan keyakinan bahwa kisah mereka akan berakhir bahagia. Namun, pernikahan itu justru dipenuhi duri mama mertua yang selalu merendahkannya, adik ipar yang licik, dan perselingkuhan Arman dengan teman SMA mereka dulu. Hingga suatu malam, pertengkaran hebat di dalam mobil berakhir tragis dalam kecelakaan yang merenggut nyawa keduanya. Tapi takdir berkata lain.Clara dan Arman terbangun kembali di masa SMA mereka, diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya… atau mengulang kesalahan yang sama?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 11.Perubahan.

Suara detik jam dinding berpadu dengan suara kapur yang bergesekan pelan di papan tulis. Pelajaran Matematika berganti dari Bu Mira ke guru berikutnya ke Pak Ardi, guru baru yang dikenal keras dan jarang tersenyum. Lelaki berumur empat puluhan itu memiliki gaya bicara cepat, logat tegas, dan kebiasaan mengetuk penghapus kapur ke meja setiap kali siswa terlihat melamun.

Begitu bel berbunyi tanda pergantian jam, suasana kelas yang semula santai langsung menegang.

“Guru hitler, sebentar lagi. soal apa yang ia mau kita selesaikan?. ”ucap Ria yang gelisah.

“Siapa?. ”

“Clara, siapa lagi kalau bukan pak Ardi guru matematika. ada apa denganmu sih belum tua sudah lupa?. ”

Clara hanya tersenyum tipis, ia mulai mengingat lagi nama tersebut.

Pak Ardi ya!, dia musuhku setiap dia datang selalu aku disuruh maju mengerjakan soal matematika dulu, pikir Clara sambil melihat teman-temannya yang tadi masih santai sekarang mendadak serius membuka buku masing-masing.

Guru yang mereka bicarakan akhirnya datang.

“Selamat pagi, anak-anak.”

Suaranya berat tapi jernih. Ia menatap seluruh kelas seperti sedang menilai kemampuan satu per satu.

“Baiklah, hari ini kita tidak akan membuang waktu. Saya ingin melihat sejauh mana kalian memahami pelajaran minggu lalu.”

Beberapa siswa mulai gelisah. Ria menunduk, pura-pura sibuk mencari pensil di dalam tas. Arman yang biasanya percaya diri pun tampak menegakkan duduknya, memasang wajah siap siaga. Clara sendiri, yang sedari tadi menulis tenang, mengangkat pandangannya dengan tatapan fokus.

Pak Ardi menulis di papan dengan cepat, ia menuliskan soal untuk murid disana pecahkan.

“Jika memiliki akar-akar yang berbeda dan salah satunya adalah 2, tentukan nilai serta akar lainnya.”

Kapurnya berhenti di ujung kalimat. Ia menoleh ke kelas dengan senyum tipis.

“Siapa yang bisa menyelesaikan ini? Soal sederhana, tapi… tidak untuk yang sekadar menghafal.”

Suasana hening. Beberapa siswa saling pandang, sebagian menunduk lebih dalam, berharap tak dipanggil.

Ria berbisik pada Clara, “Tolong jangan nunjuk aku, aku bahkan belum ngerti ‘akar-akar berbeda’ itu apaan.”

Pak Ardi berjalan pelan di antara barisan meja. “Tidak ada yang berani mencoba? Atau kalian semua sudah lupa?”

Arman mengangkat tangan setengah hati, tapi belum sempat bicara, suara ringan terdengar dari pojok jendela.

“Saya, Pak,” ujar Clara sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

Seluruh kepala menoleh serentak.

Ria menatapnya kaget. “Clara?! Kamu serius? Kamu yang dulu aja nyontek PR aku, loh!”

Arman ikut menoleh, ekspresinya antara takjub dan bingung.

Pak Ardi mengangkat alis, sedikit terkejut tapi senang melihat ada keberanian. “Baik, Clara. Silakan maju.”

Clara berdiri tenang. Langkahnya terdengar jelas di antara bisik-bisik teman sekelas. Ia mengambil kapur dari meja guru dan menatap papan dengan percaya diri.

“Baik, Pak. Kita tahu salah satu akar persamaan ini adalah 2. Jadi, kita substitusikan nilai ke dalam persamaan,” katanya dengan suara jernih dan mantap.

Ia menulis dengan cepat, seakan hasilnya sudah tergambar di otaknya.

Kelas hening. Beberapa siswa mulai mencatat tanpa disuruh, dan Pak Ardi memperhatikan dengan ekspresi tertarik.

“Tapi kita belum selesai,” lanjut Clara sambil tersenyum kecil. “Sekarang, untuk mencari akar lainnya, kita pakai rumus jumlah dan hasil kali akar:

Jika akar-akar adalah dan , maka:

 dan .”

Ia menulis kembali.

“Jadi, akar lainnya adalah , Pak.”

Lalu, dengan suara yakin ia menutup penjelasannya:

“Kesimpulannya, nilai dan akar-akar persamaannya adalah 2 dan .”

Clara meletakkan kapur, menepuk tangannya pelan untuk membersihkan sisa debu. Ia tersenyum tenang, tidak sombong, tapi cukup untuk membuat semua orang terpaku.

Pak Ardi menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum tipis,sesuatu yang jarang terjadi.

“Luar biasa. Jawaban dan penjelasanmu sangat rapi. Nilai tambah untuk Clara.”

Pak Ardi yang tidak menyangka Clara yang dikenal sulit memahami matematika, ternyata bisa menyelesaikan soal yang ia ajukan.

“Bagus Clara, sekarang kembalilah ke tempat duduk mu. ”

Saat Clara kembali ke tempat duduk, suara tepuk tangan kecil terdengar dari belakang. Ria bersorak pelan, setengah tidak percaya.

“Gila, Clar! Sejak kapan kamu jadi jenius matematika?”

Clara hanya tertawa kecil sambil kembali duduk. “Sejak aku sadar, aku harus belajar memecahkan masalah… bukan menghindarinya.”

Arman memperhatikan wajahnya dari jauh. Ada kilasan rasa kagum yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Gadis yang dulu selalu duduk di pojok, malas mencatat dan lebih suka menggambar di buku, kini berdiri di depan kelas dengan kepercayaan diri yang membuatnya sulit berpaling.

Pak Ardi kembali menatap kelas. “Baiklah, saya harap kalian semua memperhatikan bagaimana Clara menyelesaikan soal tadi. Jangan hanya hafal rumus, tapi pahami langkah berpikirnya. Itu yang membuat seseorang unggul.”

Setelah ia kembali menulis di papan, suasana kelas berubah. Clara kini menjadi pusat perhatian diam-diam. Beberapa teman berbisik memujinya, Ria terus menggoda dengan senyum bangga, sementara Arman… diam menatap buku catatannya, tapi jemarinya mengetuk pelan di meja.

Dalam pikirannya, ada sesuatu yang mengganggu

Clara berubah.Apa dia benar Clara yang hidup bersamaku selama empat tahun?

Clara menatap keluar jendela, melihat sinar matahari yang jatuh di halaman sekolah. Senyum tipis muncul di wajahnya.

Kali ini, bukan karena Arman.

Tapi karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya,ia benar-benar bangga pada dirinya sendiri.

Aku dulu bukannya tidak tertarik dengan pelajaran sekolah, tapi aku tidak mau mengungguli nilai Arman waktu itu, suara hati Clara.

Banyak hal yang Clara lakukan untuk Arman, karena Arman tipe pemalu dia tidak percaya diri jika bersama wanita lebih dari nya.

Karena alasan itu Clara, selalu berusaha dibawa Arman agar Arman nyaman dengan dirinya.

Karena sikapnya itu ia selalu bertengkar dengan ayahnya hanya karena nilainya selalu jelek, dan ayahnya mengira kalau semua perubahan yang terjadi pada Clara karena mamanya meninggal.

Sejak hari itu, suasana di kelas berubah.

Clara yang dulu sering dianggap biasa-biasa saja, kini jadi pusat perhatian yang baru. Ia tidak lagi duduk di pojok sambil menggambar diam-diam, tidak lagi pura-pura tidak bisa saat pelajaran berlangsung.

Ia mulai menjadi dirinya sendiri.

Pagi berikutnya, di lapangan sekolah, sinar matahari menembus lembut daun-daun mahoni yang berjajar rapi di sisi lintasan. Kelas mereka sedang latihan olahraga untuk persiapan lomba antar kelas.

Peluit berbunyi nyaring.

“Lari 400 meter, siap…!”

Clara berdiri di barisan depan, rambutnya diikat tinggi, wajahnya fokus. Ria menatap dari samping sambil berbisik, “Sejak kapan kamu ikut lomba lari, Clar? Bukannya dulu kamu kabur tiap jam olahraga?”

Clara tersenyum, membetulkan tali sepatunya.

“Dulu aku terlalu sibuk menyesuaikan diri sama orang lain, Ria. Sekarang aku mau menyesuaikan diri sama diriku sendiri.”

Peluit kembali berbunyi.

Clara melesat. Langkahnya ringan dan cepat, tubuhnya lentur, seolah ia sudah lama terlatih. Beberapa teman berteriak memberi semangat, dan di ujung lintasan, Arman berdiri memperhatikan dengan mata yang tak bisa berpaling.

Ketika garis akhir dilewati, Clara menunduk, napasnya terengah tapi bibirnya tersenyum lebar.

“Juara pertama lagi!” seru guru olahraga, menepuk papan hasil waktu.

Seluruh kelas bersorak. Ria berlari memeluknya. “Clar, kamu gila! Kamu bahkan ngalahin anak ekskul atletik!”

Clara hanya tertawa. “Mungkin karena kali ini aku nggak nahan langkahku.”

Beberapa Minggu Kemudian

Di ruang seni, Clara duduk di depan kanvas besar, tangannya cekatan memainkan kuas. Goresan warnanya lembut tapi kuat. Tema lomba kali ini adalah “Mimpi yang Belum Terwujud.”

Clara melukis seorang gadis kecil berdiri di depan cermin besar, dengan bayangan dirinya yang lebih tinggi, memegang trofi dan buku.

“Bagus sekali…” suara lembut terdengar di belakangnya. Pak Damar, guru seni, menatap lukisan itu dengan kagum.

“Clara, lukisanmu ini punya perasaan. Kamu tidak hanya menggambar… kamu bercerita.”

Clara tersenyum. “Terimakasih pak, jangan terlalu memujiku saya bisa besar kepala.”

Pak Damar menepuk pundak Clara sambil tersenyum, “Bagus, pertahankan. ”

Di Aula Sekolah

Hari pengumuman lomba tiba. Clara memenangkan dua penghargaan sekaligus satu dari bidang seni, dan satu lagi dari lomba atletik antar kelas. Saat namanya dipanggil ke atas panggung, riuh tepuk tangan bergema di seluruh aula.

Dari barisan penonton, Ria bersiul, “Clara Superstar!”

Sementara Arman hanya menatap diam, wajahnya sulit terbaca. Ia tahu gadis yang dulu selalu menunduk saat dipuji kini berdiri tegak dengan pancaran berbeda.

Arman melihat perubahan pada Clara, seperti tidak mengenal dirinya lagi. Aku harus bicara dengan nya, atau dulu ia menipuku, pikir Arman.

1
Putri Ana
thorrr lanjuttttt dong.🤭
Putri Ana
lanjutttt thorrr 😭😭😭😭😭😭😭
penasaran bangetttttttt🤭
Putri Ana
bagussss bangettttt
Putri Ana
lanjutttttttttytttttttttt thorrrrr
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!