Sequel "Dipaksa Menikahi Tuan Duda"
Cerita anak-anak Rini dan Dean.
"Papa..."
Seorang bocah kecil tiba-tiba datang memeluk kaki Damar. Ia tidak mengenal siapa bocah itu.
"Dimana orangtuamu, Boy?"
"Aku Ares, papa. Kenapa Papa Damar tidak mengenaliku?"
Damar semakin kaget, bagaimana bisa bocah ini tahu namanya?
"Ares..."
Dari jauh suara seorang wanita membuat bocah itu berbinar.
"Mama..." Teriak Ares.
Lain halnya dengan Damar, mata pria itu melebar. Wanita itu...
Wanita masa lalunya.
Sosok yang selalu berisik.
Tidak bisa diam.
Selalu penuh kekonyolan.
Namun dalam sekejab menghilang tanpa kabar. Meninggalkan tanya dan hati yang sulit melupakan.
Kini sosok itu ada di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ly_Nand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Baby Rey Rewel
Di dalam mobil, Wulan duduk gelisah di samping Mama Rini. Pikirannya melayang-layang pada kondisi Baby Rey yang sejak pagi terdengar rewel dan menolak minum ASI. Hatinya benar-benar tidak tenang. Bagi Wulan, bayi itu bukan sekadar anak orang lain—ia sudah menyayanginya layaknya putra sendiri, sama seperti cintanya pada Dilan.
“Sudah dicoba lagi diberi ASI?” tanya Wulan cemas lewat telepon.
Suara Andreas terdengar lelah dari seberang. Penjelasan itu membuat kecemasannya kian bertambah.
“Aku sudah dalam perjalanan. Sebentar lagi sampai di rumahmu. Semoga Baby Rey segera membaik,” ucap Wulan menutup telepon dengan helaan napas panjang.
Sesekali ia memang menghubungi Andreas untuk menanyakan kondisi Rey, sekaligus mengabari jika ASI yang dipompa sudah dikirim lewat layanan instan. Tapi pagi ini berbeda. Terdengar jelas suara tangisan bayi itu… tangisan yang membuat nalurinya sebagai ibu ikut meronta. Karena itu, setelah memastikan Dilan dalam kondisi sehat, ia langsung memutuskan datang, ditemani Mama Rini.
Begitu tiba di rumah Andreas, mereka disambut hangat. Seorang wanita paruh baya di kursi roda ikut menunggu di ruang tamu—Bunda Maya, ibu Andreas.
“Silakan duduk,” Andreas mempersilakan.
“Maaf, kami baru datang,” ucap Wulan lembut.
“Tidak, seharusnya kami yang minta maaf. Sudah mengganggu waktumu dan keluargamu,” balas Andreas. Nada bicaranya santai, sesuai kesepakatan mereka agar tidak terlalu formal.
Bunda Maya menatap Wulan dengan penuh rasa ingin tahu. “Ini Wulan yang membantu cucuku?”
“Iya, Bun,” jawab Andreas sambil mendorong kursi roda ibunya lebih dekat. “Wulanlah yang rutin mengirimkan ASI untuk Rey. Dan Wulan, ini Bunda Maya, ibuku.”
Mata Bunda Maya berkaca-kaca. Ia meraih tangan Wulan dan menggenggamnya erat.
“Terima kasih sudah menolong cucuku. Kamu wanita baik. Kami berhutang banyak padamu.”
Wulan menunduk haru. “Tidak ada yang berutang, Tante. Tuhanlah yang membawa saya bertemu dengan Baby Rey. Saya tulus membagi ASI saya untuknya.”
“Kamu sungguh berhati mulia, Nak. Semoga hidupmu selalu indah.”
“Terima kasih, Tante. Doa seorang ibu adalah anugerah yang paling berharga,” jawab Wulan.
Bunda Maya tersenyum kemudian melihat bayi mungil di rengkuhan Wulan. “Ini anakmu?”
“Ya, namanya Dilan. Dan ini Mama saya, Mama Rini.”
Bunda Maya menoleh, senyumnya melembut. “Terima kasih sudah mengizinkan putri Anda menolong cucu saya. Anda beruntung punya putri sebaik dan selembut Wulan.”
Mama Rini tersenyum menunduk. “Anda terlalu berlebihan. Selagi kita mampu, kenapa harus menunda kebaikan? Begitu kan, Bu Maya?”
“Betul sekali. Sekarang saya tahu darimana kebaikan hati Wulan berasal.”
Keduanya saling bertukar senyum hangat, dua wanita paruh baya yang sama-sama mengenali ketulusan satu sama lain.
“Bagaimana dengan suamimu, Wulan?” tanya Bunda Maya hati-hati. “Apa tidak masalah kalau kamu mememberikan ASI untuk cucu saya? Saya juga ingin berterima kasih padanya.”
Seketika, suasana hening. Wulan menunduk, sementara Mama Rini menatapnya penuh iba.
“Suami saya… sudah tenang di surga.”
Bunda Maya sontak terkejut, wajahnya berubah penuh penyesalan. Andreas juga membeku, baru tahu kebenaran itu.
“Maaf, Nak… Tante tidak tahu.”
“Tidak apa-apa, Tante,” Wulan tersenyum menenangkan. “Kalau boleh tahu… dimana Baby Rey sekarang?”
“Di kamar, bersama babysitter,” jawab Andreas pelan.
“Boleh aku melihatnya?”
“Tentu. Aku antar.”
Wulan berpamitan sebentar pada Mama Rini. “Ma, aku masuk dulu ya. Titip Dilan.”
Mama Rini tersenyum menenangkan. “Dilan aman bersama Mama.”
“Biar Tante juga ikut jagain cucumu,” timpal Bunda Maya.
Wulan tersenyum syukur, lalu berjalan masuk bersama Andreas.
Di dalam kamar, Baby Rey terlelap di ranjang bayi. Seorang babysitter duduk di kursi tak jauh darinya, lalu berdiri begitu Andreas masuk.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Andreas.
“Barusan gelisah lagi, Pak. Tidurnya tidak tenang,” jawab babysitter.
Bayi itu tampak mungil, wajahnya merah merona. Wulan mendekat, hatinya langsung terenyuh.
“Boleh aku menggendongnya?” tanyanya lembut.
“Tentu,” Andreas mengangguk.
Wulan meraih Rey ke dalam dekapannya. Begitu berada di pelukan hangatnya, si kecil sedikit menggeliat, lalu membuka mata tipis-tipis.
“Sayang… kenapa tidak mau minum susu? Ada yang tidak nyaman ya?” bisik Wulan sambil mengusap halus dahi mungil itu.
“Masih ada ASI di botol, Bu. Tapi hari ini susah sekali habisnya,” babysitter menunjukkan botol yang masih penuh.
“Kalau begitu… boleh aku coba menyusui langsung?”
Andreas sempat tertegun, matanya membesar. Namun cepat ia mengangguk. “Tentu. Kalau itu yang terbaik untuk Rey, aku sama sekali tidak keberatan.”
Tanpa menunggu, Andreas segera keluar kamar. Ia paham, ada batas yang harus dijaga. Ruang itu kini hanya milik Wulan dan bayi mungil yang membutuhkan kehangatannya.
Beberapa menit berlalu, akhirnya Wulan keluar dari kamar baby Rey.
Andreas yang sejak awal menunggu di depan kamar langsung berdiri begitu melihatnya. Dari wajahnya jelas sekali ia menahan cemas sejak tadi.
Wulan tersenyum menenangkan. “Baby Rey sudah tidur lagi. Syukurnya dia nggak rewel. Meski agak susah di awal, tapi akhirnya dia bisa minum banyak tadi.”
Andreas menghela napas lega, seolah baru bisa bernapas setelah mendengar kabar itu. “Syukurlah…”
“Kalau ada apa-apa, kabari aku. Selagi aku bisa membantu, pasti akan aku lakukan,” ucap Wulan tulus.
“Terima kasih, kamu banyak membantu Rey,” balas Andreas, matanya penuh syukur.
“Ah, sama-sama. Cukup melihat dia sehat, itu sudah merupakan hal besar bagiku.”
Setelah memastikan kondisi baby Rey lebih baik, Wulan bersiap pamit. Tanpa terasa, mereka sudah cukup lama di rumah itu. Terlebih karena Rey sempat rewel lagi dan baru bisa tenang saat menyusu langsung dari Wulan, bukan dari dot.
“Ini jam makan siang, kenapa tidak makan siang di sini dulu?” tawar Bunda Maya penuh ramah.
Wulan tersenyum sopan. “Tidak, Tante. Mama ada rencana mau mampir ke kantor saudara saya, jadi kita harus pulang sekarang.”
“Baiklah kalau begitu.”
Dalam perjalanan menuju kantor Damar, mobil terasa hangat oleh obrolan Wulan dan Mama Rini.
“Sebenarnya, ada anak teman Mama yang ingin dijodohkan dengan Damar,” cerita Mama Rini sambil menoleh ke putrinya.
Wulan terkekeh kecil. “Ya, kita tanyakan dulu pendapat Damar, Ma. Mama tahu sendiri kan, Damar itu seperti apa. Kalau dia nggak suka, bisa-bisa pasangan calon jodohnya mati beku.”
Keduanya tertawa.
“Memang susah mencairkan hatinya,” Mama Rini menimpali sambil geleng-geleng kepala.
“Nyatanya ada yang sudah berhasil kok, Ma.” Wulan melirik sekilas ke luar jendela, senyumnya samar. “Cuma… Damar gengsinya gede.”
Mama Rini tersenyum lembut. “Kalau memang jodoh, semoga mereka segera dipertemukan. Supaya hati Damar cepat mencair.”
Sampai di kantor Damar, Mama Rini segera melangkahkan kakinya menuju ruangan sang putra.
Sementara itu, Wulan memilih tetap di mobil. Baby Dilan sedang rewel dan merengek ingin menyusu, jadi ia memutuskan menunggu di sana sambil menenangkan si kecil.
Di lobi, semua karyawan langsung memberi hormat pada Mama Rini. Mereka tentu mengenalnya. Setiap ada pencapaian besar perusahaan, Damar selalu membawa orang tuanya ikut serta merayakan. Itulah salah satu alasan banyak orang menyukai Damar: selain tampan, sukses, dan memang dingin dalam keseharian, ternyata ia juga seorang family man sejati.
Langkah Mama Rini berhenti ketika sampai di depan ruangan Damar. Kebetulan Abas baru saja keluar.
“Damar ada, Bas?” tanyanya.
“ Ada, Bu. Di dalam bersama karyawan pindahan dari cabang Paris.”
“ Apa aku akan mengganggu kalau masuk?”
“Sepertinya tidak, Bu. Pembahasan besar sudah selesai waktu meeting tadi.”
“Kalau begitu, aku langsung masuk saja.”
Abas menunduk memberi hormat, lalu menyingkir memberi jalan.
Tok, tok, tok.
Ketukan pelan terdengar sebelum suara Damar dari dalam menjawab, “Masuk.”
"Dam, kamu sibuk?"
Mama Rini melangkah masuk dengan wibawa seorang ibu, namun begitu matanya menangkap sosok perempuan yang duduk di hadapan putranya, tubuhnya langsung menegang.
Wajahnya seketika membeku. Beberapa kilatan masa lalu kembali menyeruak.
“Stacy… kan?” suara Mama Rini bergetar, penuh campuran antara terkejut, rindu, dan harapan.