NovelToon NovelToon
If I Life Again

If I Life Again

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / CEO / Time Travel / Fantasi Wanita
Popularitas:968
Nilai: 5
Nama Author: Ws. Glo

Apakah kamu pernah mengalami hal terburuk hingga membuatmu ingin sekali memutar-balik waktu? Jika kamu diberikan kesempatan kedua untuk hidup kembali di masa lalu setelah sempat di sapa oleh maut, apa yang akan kamu lakukan terlebih dahulu?

Wislay Antika sangat mengidolakan Gustro anggota boy band terkenal di negaranya, bernama BLUE. Moment dimana ia akhirnya bisa datang ke konser idolanya tersebut setelah mati-matian menabung, ternyata menjadi hari yang paling membuatnya hancur.

Wislay mendapat kabar bahwa ibunya yang berada di kampung halaman, tiba-tiba meninggal dunia. Sementara di hari yang sama, konser BLUE mendadak dibatalkan karena Gustro mengalami kecelakaan tragis di perjalanan saat menuju tempat konser dilaksanakan, hingga ia pun meregang nyawanya!

Wislay yang dihantam bertubi-tubi oleh kabar mencengangkan itu pun, memilih untuk mengakhiri hidup dengan melompat dari gedung. Namun yang terjadi justru diluar dugaannya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ws. Glo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

IILA 10

Suasana ruang rawat begitu sunyi. Lampu redup yang menyala temaram memberikan ketenangan semu di dalam kamar rumah sakit. Mesin infus berdetak lambat, seirama dengan hembusan napas tenang dari gadis yang terbaring di atas ranjang.

Wislay masih belum sadar.

Di sisi ranjang, Gustro duduk terpaku. Wajahnya tampak lelah, tetapi tak sekalipun ia berpaling. Kedua matanya menatap sosok Wislay dengan sorot tak biasa—campuran cemas, takut, dan… kehilangan.

Tas kecil, handphone, dan boneka paus biru hasil capit di taman bermain siang tadi, tergeletak di meja samping. Boneka itu seolah menjadi saksi bisu akan hari yang penuh tawa, namun berakhir dalam kecemasan.

Pintu terbuka perlahan.

Seorang dokter masuk, memeriksa kondisi Wislay sebentar. Gustro bangkit berdiri.

“Bagaimana keadaannya?” tanyanya cemas.

Dokter tersenyum tipis, mencoba menenangkan. “Tidak ada cedera serius. Dari hasil pemeriksaan, ia hanya kelelahan akut dan tampaknya juga kurang tidur selama beberapa hari terakhir.”

Gustro mengerutkan kening.

“Dia sempat mengalami nyeri jantung sesaat. Tapi bukan karena penyakit jantung kronis. Tubuhnya terlalu lelah, dan emosinya terlalu intens tadi. Kami beri dia obat penenang. Dia mungkin akan siuman nanti malam, dan bila kondisinya membaik, dia boleh pulang besok pagi.”

Setelah menyampaikan itu, dokter meninggalkan ruangan.

Gustro kembali duduk, tatapannya beralih jatuh ke wajah pucat Wislay. Wajah yang biasanya penuh energi dan sinar itu kini tampak begitu lemah. Ia meraih tangan Wislay, menggenggamnya erat. Hangat, tetapi terasa rapuh.

Detik itu, entah kenapa… wajah lain muncul dalam ingatannya.

Sosok seorang wanita yang pernah begitu berarti.

Ibunya.

Dalam benaknya, terbayang kembali saat kecil dulu—ia duduk di kursi yang sama, di samping ranjang rumah sakit, menggenggam tangan ibunya yang dingin.

"Ibu... Bangun! Jangan tinggalkan aku."

Ia masih kecil waktu itu, tidak mengerti banyak hal. Hanya tahu bahwa wanita yang selalu tersenyum padanya itu perlahan memudar seperti bayangan senja.

Tubuhnya kurus, wajahnya pucat. Sama seperti Wislay sekarang.

Air mata Gustro menetes tanpa sadar. Ia mengedipkan matanya, menahan sesak yang kembali menghantui dadanya.

"Aku benci rumah sakit," bisiknya lirih.

Ia mengepalkan tangan Wislay lebih erat.

Dan seolah mendengar suara itu, jari-jari Wislay bergerak pelan. Bibirnya bergetar, mengigau lirih di antara ketidaksadarannya.

“Gustro... kau harus bahagia... kau tidak boleh mati sia-sia... bagiku... kau sangat berharga...”

Deg.

Jantung Gustro seolah berhenti berdetak.

Kata-kata itu… menusuk lebih dalam dari apa pun yang pernah ia rasakan. Telinganya mendengar jelas, hatinya terguncang.

Tanpa bisa menahan emosi, air matanya mengalir lebih deras.

“Kau… benar-benar gadis aneh,” ujarnya dengan suara bergetar. “Bahkan dalam keadaan seperti ini... kau masih memikirkan nyawa orang lain daripada dirimu sendiri.”

Ia menunduk, bibirnya menyentuh punggung tangan Wislay.

“Kenapa kau sebaik ini, Wislay?”

Ia terduduk bisu di sisi ranjang itu dalam waktu yang lama, memandangi wajah Wislay tanpa lelah. Hanya detak jam yang mengiringi kesunyian di ruangan itu. Dan saat malam mulai merayap, bintang di luar jendela tampak seperti cahaya harapan.

Sementara itu di luar rumah sakit, di balik bayang-bayang taman, seseorang berdiri memperhatikan dari kejauhan.

Alan.

Tangan dimasukkannya ke dalam saku jaket, tatapan matanya fokus ke jendela ruangan tempat Wislay dirawat.

...****************...

...****************...

Pelan-pelan, kelopak mata Wislay bergerak. Cahaya lembut lampu ruangan menyambut matanya yang masih berat. Tubuhnya terasa lemah, namun kesadarannya mulai pulih sedikit demi sedikit. Ia mengerjapkan mata, dan yang pertama kali ia lihat…

…adalah sosok Alan, berdiri tegap di depan ranjangnya, bersandar pada dinding dengan tangan terlipat di dada.

“Alan…?” suara Wislay nyaris hanya berupa bisikan.

Alan menatapnya serius, seolah telah menanti detik itu cukup lama. Tanpa membuang waktu, ia maju selangkah, menyipitkan mata tajamnya ke arah Wislay.

“Bagaimana rasanya?” tanyanya.

Wislay mengerutkan kening. “Apa maksudmu…?”

Alan menghela napas panjang, lalu duduk di kursi yang tadi diduduki Gustro. Ia melihat sebentar ke arah Gustro yang tertidur di sisi ranjang, masih menggenggam ujung selimut Wislay seperti anak kecil yang takut kehilangan.

“Kau sudah mengalaminya,” gumam Alan. “Kejadian pertama, tubuhmu bereaksi.”

Wislay menatapnya bingung.

“Reaksi?” tanyanya lirih.

Alan menatap lurus ke matanya. “Tubuhmu... mulai membayar harga atas kehidupan kedua yang kau dapatkan.”

Wislay terdiam.

“Kesempatan kedua ini bukan hanya tentang menyelamatkan ibumu... atau menyelamatkan pemuda yang kau cintai. Ini bukan film romantis, Wislay,” lanjut Alan dengan nada serius. “Semakin banyak kau mengubah takdir seseorang—terutama yang seharusnya mati—energi hidupmu akan terpakai sebagai gantinya. Dan kalau terus begini…”

Alan tertunduk, suaranya lebih berat. “…bisa jadi kau sendiri yang akan menggantikan mereka di liang kubur.”

Ucapan itu menampar hati Wislay. Ia menelan ludah. Dada yang tadinya terasa sesak kini lebih karena beban emosional yang luar biasa.

Namun ia tak langsung bereaksi. Ia memejamkan mata sesaat, lalu memandangi Alan. Wajahnya tenang, tapi jelas terlihat kesedihan dalam sorotnya.

“Aku tidak apa-apa…” katanya akhirnya. “Kalau memang aku harus mati... asal orang-orang yang aku cintai bisa tetap hidup... maka aku rela.”

Alan tertegun.

“Lagipula,” lanjut Wislay sambil tersenyum tipis, “hidup akan terus berjalan. Cepat atau lambat... orang pasti akan melupakan aku.”

Sebuah keheningan menyelimuti ruangan. Bahkan suara detak mesin infus seakan ikut melambat.

Alan menatap gadis itu dalam keheningan. Ada sesuatu yang bergetar di matanya yang biasanya dingin. Entah mengapa, ucapan polos namun tulus dari Wislay menusuk sisi kemanusiaannya yang telah lama terkubur oleh tugas-tugas ilahi.

Ia menarik napas, lalu tersenyum tipis. “Kau memang agak bodoh. Tapi... aku suka caramu melihat hidup.”

Tanpa berkata banyak lagi, Alan mengambil sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah gelang kecil berbahan logam berwarna abu perak, dengan kristal kecil berbentuk tetesan air di tengahnya.

“Pakai ini,” katanya sambil menyodorkan gelang itu.

Wislay bingung. “Apa ini?”

“Anggap saja gelang penyelamat,” ujar Alan, lalu mengaitkannya perlahan di pergelangan tangan Wislay. Begitu gelang itu menyentuh kulitnya, seberkas cahaya samar muncul sejenak, hangat dan menenangkan.

“Kalau kau ingin hidup lebih lama... pakai itu. Jangan pernah lepas. Itu satu-satunya yang bisa menstabilkan energi hidupmu setiap kali kau menentang takdir.”

Wislay mencermati gelang itu dengan penuh rasa penasaran.

“Alan…” gumamnya. “Terima kasih…”

Namun saat ia mengangkat kepalanya untuk menatap Alan...

Sosok pria itu sudah lenyap. Seakan-akan ditelan udara. Seolah hanya ilusi.

Wislay mendesis pelan. “Daripada malaikat... Dia malah lebih mirip seperti Hantu...”

Ia mengalihkan pandangan ke gelang yang kini melingkar di tangannya.

“Aku akan berterima kasih padamu... besok,” gumamnya.

Belum sempat ia melanjutkan pikirannya, gerakan di sisi ranjang membuatnya menoleh.

“Wislay?” suara Gustro parau dan berat. Ia baru saja terbangun.

Mata mereka bertemu.

Gustro bangkit dan langsung meraih tubuh Wislay dalam pelukannya. Rengkuhan erat—panik, hangat, dan... sangat jujur.

“Jangan pernah melakukan hal seperti itu lagi,” gumamnya, masih mendekapnya. “Kalau kau kenapa-kenapa... aku…”

Suara Gustro tercekat. "Aku akan merasa bersalah seumur hidupku."

Wislay membalas pelukannya pelan, tersenyum tipis. “Aku cuma mau memastikan kau hidup. Itu saja.”

Gustro menarik tubuhnya pelan, menatap wajah Wislay lekat-lekat. Ia menyeka rambut yang menutupi dahinya.

“Jangan ceroboh lagi, oke?”

Mata Wislay berkaca-kaca. Ia mengangguk pelan.

Dan di balik tatapan mereka yang bertaut malam itu... ikatan yang tak terlihat mulai tumbuh lebih dalam. Bukan hanya perasaan, tetapi juga takdir.

1
Anonymous
ceritanya keren ih .....bagus/Bye-Bye/
Y A D O N G 🐳: Makasih lohh🥰
total 1 replies
😘cha cchy 💞
kak visual x dong juga. ..👉👈😩
😘cha cchy 💞
ini tentang lizkook kan...??
😘cha cchy 💞
kak kalo bisa ada fotonya kak biar gampang ber imajinasi...😁
😘cha cchy 💞: minta foto visual x juga nanti kak..😁🙏🙏
harus lizkook ya KK..😅😃
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!