NovelToon NovelToon
Menuju Sukses Bersama Ayahku

Menuju Sukses Bersama Ayahku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:801
Nilai: 5
Nama Author: Monica Wulan

seorang anak perempuan bercita-cita untuk sukses bersama sang ayah menuju kehidupan yang lebih baik. banyak badai yang dilalui sebelum menuju sukses, apa saja badai itu?

Yok baca sekarang untuk tau kisah selanjutnya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Monica Wulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Maaf

Suasana balai desa telah lengang. Hanya Arkan,Zulaikha, Ramlan, dan Aisyah yang tersisa. Arkan mendekati Ramlan, raut wajahnya menampilkan penyesalan yang dibuat-buat, di baliknya tersimpan amarah dan kekecewaan yang masih membara. Ia pura-pura memohon.

"Mas… aku mohon… bantu aku,uang ku nggak cukup mas" lirih Arkan, suaranya bergetar, Ia menatap Ramlan dengan mata memohon, namun tatapan itu menyimpan dendam yang terselubung rapi. "Aku… aku nggak punya uang untuk ganti rugi padi warga."

Ramlan menatap Arkan dengan tatapan dingin yang menusuk. Luka lebam di pipinya masih terasa perih, mengingatkannya pada pukulan-pukulan warga yang marah tadi. Ia masih ingat jelas bagaimana Arkan dengan tega, merusak padi milik warga lalu menuduhnya sebagai penyebabnya. Kecewa dan sakit hati bercampur aduk dalam dirinya.

"Bantuan? Kamu minta bantuan padaku setelah kamu sendiri yang merusak padi itu? Setelah kamu sendiri yang memfitnahku di depan seluruh warga desa?" Suara Ramlan datar, tanpa sedikitpun simpati. Ketidakpercayaan jelas terpancar dari suaranya.

Arkan menunduk, merasa sedikit malu, Ia tahu, permintaannya terdengar sangat tidak masuk akal. Namun, ia benar-benar putus asa. Ia tak punya pilihan lain selain memanfaatkan Ramlan.

"Aku… aku khilaf, Mas. Aku khilaf. Ketamakan membutakan mataku. Aku menyesal," Arkan mencoba menjelaskan, suaranya terisak, namun isakan itu terdengar dibuat-buat.

Aisyah, yang sedari tadi memperhatikan, langsung menangkap kepura-puraan Arkan. Ia melangkah maju, suaranya tajam menusuk.

"Khilaf? Paman memang tidak tahu malu! Paman sendiri yang membuat masalah! Paman sendiri yang membuat Ayah babak belur dipukuli warga! Sekarang Paman malah minta tolong pada Ayah? Mana rasa bersalah Paman?" Aisyah menunjuk Arkan dengan jari telunjuknya, matanya berkobar amarah. Ia melihat kebencian tersembunyi di balik penyesalan yang dibuat-buat.

"Aisyah sudah nak…" Ramlan mencoba menenangkan putrinya, namun Aisyah tetap tak mau diam. Ia merasa sakit hati melihat ayahnya diperlakukan seperti ini oleh pamannya sendiri.

"Tidak, Ayah! Biarkan aku bicara! Paman sudah terlalu keterlaluan! Dia merusak panen warga , memfitnah Ayah, dan sekarang malah minta bantuan? Mana keadilannya? Dia harus menanggung sendiri akibat perbuatannya!" Aisyah semakin berapi-api.

Zulaikha, tak tahan lagi melihat suaminya dihujani amarah, akhirnya angkat bicara, namun dengan nada ketus. "Aisyah, cukup! Kau ini bicara seenaknya saja! mas Arkan memang salah, tapi kau tidak perlu menghujani dia dengan kata-kata kasar! Dia sudah meminta maaf! Diamlah dan biarkan kami menyelesaikan masalah ini!" Suaranya tegas, menunjukkan betapa ia berusaha membela suaminya,

"Maaf arkan, apa yang kau tanam itulah yang kau tuai. Mas kecewa padamu!". Ramlan sudah lelah dia mengakhiri percakapan dan pergi

...----------------...

Aroma gulai nangka dan nasi hangat memenuhi ruang makan sederhana itu. Aisyah menyuapi ayahnya, Ramlan, dengan hati-hati. Wajah Ramlan lebam, bekas pukulan warga yang masih terasa perih. Setelah makan malam, Aisyah mengambil kotak P3K, membersihkan luka-luka di wajah ayahnya dengan lembut.

"Sakit, Yah?" tanya Aisyah, suaranya bergetar menahan amarah.

Ramlan tersenyum lemah. "Tidak apa-apa, Sayang. Ini hanya ujian."

Aisyah mengepalkan tangannya. "Ujian? Mereka memukul Ayah seenaknya saja! Hanya karena fitnah Paman dan Bibi!" Air matanya mulai menetes. "Mereka tidak punya hak memukul Ayah hiks hikss..."

Ramlan mengusap lembut pipi Aisyah. "Ayah tahu kamu marah, Sayang. Tapi mereka sedang kesal, Aisyah. Mereka merasa dirugikan oleh fitnah Paman dan Bibimu. Mereka hanya emosi."

"Emosi bukan alasan untuk memukul orang, Yah! Ayah tidak bersalah!" Aisyah menunggi, suaranya bergetar hebat. Ia merasa begitu frustasi dan marah. Keadilan terasa begitu jauh untuk ayahnya.

Ramlan menarik napas panjang. "Ayah mengerti perasaanmu, Sayang. Ayah juga marah. Tapi, marah tidak akan menyelesaikan masalah. Kita harus sabar, Aisyah. Kita harus tetap tenang."

"Tenang? Bagaimana bisa Ayah tenang? Melihat Ayah babak belur seperti ini? Aisyah sakit yah sakit..hiks hikss.." Aisyah menangis tersedu-sedu. Ia merasa begitu tidak berdaya.

Ramlan memeluk Aisyah erat-erat. "Ayah tahu ini berat, Sayang. Tapi kita harus kuat. Kita harus saling menguatkan. Ayah tidak mau kamu terluka karena ini. Ayah hanya ingin kamu tetap tenang dan tegar."

"Tapi Yah... ini tidak adil. Paman dan Bibi menyebarkan fitnah, dan Ayah yang menjadi korban. Warga seharusnya lebih bijak dan tidak main hakim sendiri." Aisyah masih menangis, suaranya terisak-isak.

Ramlan mengelus rambut Aisyah. "Ayah tahu, Sayang. Ayah juga berharap mereka lebih bijak untuk kedepannya. Tapi manusia tempatnya salah dan khilaf. Kita tidak bisa memaksa mereka untuk berpikir seperti yang kita inginkan. Yang bisa kita lakukan adalah tetap tenang, tetap sabar, dan mencari jalan keluar yang terbaik."

"Terus apa yang harus kita lakukan sekarangn, Yah?" tanya Aisyah, suaranya masih bergetar.

Ramlan melepaskan pelukannya, menatap mata Aisyah dengan penuh kasih sayang. "Kita akan tetap terus berusaha berbuat baik , Sayang. Kita akan kuat, Aisyah. Kita akan melewati ini semua." Ia tersenyum, mencoba memberikan kekuatan kepada putrinya. Meskipun wajahnya lebam dan perih, senyumnya tetap hangat, penuh kasih sayang seorang ayah kepada putrinya.

...****************...

Mentari pagi menyinari Desa Mekar Asri. Aisyah dan Ramlan tengah sarapan ketika suara ramai dari luar rumah mengagetkan mereka. Suara warga memanggil-manggil nama Ramlan. Mereka saling pandang, bingung.

"Ayah, ada apa ya?" tanya Aisyah, sedikit cemas. Suaranya masih terdengar sedikit serak karena kejadian kemarin.

Ramlan mengangguk, "Kita lihat saja nak." Ia merasa sedikit was-was, namun ada setitik harapan di hatinya.

*ceklekk*

Mereka keluar rumah. Di halaman rumah, sudah berkumpul banyak warga desa, termasuk Pak Muhlis, kepala desa. Suasana yang tadinya tegang, kini berubah menjadi haru. Beberapa warga tampak menunduk, wajah mereka menunjukkan penyesalan.

"Pak Ramlan..." seorang warga perempuan mendekat, suaranya sedikit gugup. Ia memegang sebuah kantong plastik berisi buah-buahan. "Kami... kami ingin meminta maaf." Ia menyerahkan kantong plastik itu kepada Ramlan.

Warga lain mengangguk setuju, "Kami salah telah menuduh Pak Ramlan. Kami juga salah telah memukul Pak Ramlan kemarin. Kami sungguh menyesal." Raut wajah mereka menunjukkan penyesalan yang tulus. Beberapa dari mereka tampak menyeka air mata.

Ramlan tertegun. Ia tidak menyangka akan mendapat permintaan maaf seperti ini. Aisyah juga tampak terkejut, matanya berkaca-kaca. Ia memeluk lengan ayahnya, memberikan dukungan.

"Maafkan kami, Pak Ramlan," kata Pak Muhlis, mendekat. Ia juga tampak terharu. "Sebagai kepala desa, saya juga meminta maaf karena tidak bisa mencegah warga sampai Bapak babak belur. Saya gagal menjaga ketertiban dan keamanan warga saya." Ia terlihat sungguh menyesal dan tampak kelelahan.

Ramlan tersenyum, "Tidak apa-apa, Pak Muhlis. Saya memaklumi warga. Harga padi memang tidak murah. Bagi petani seperti kita, itu adalah sumber penghidupan. Wajar jika kalian marah ketika merasa dirugikan. Saya mengerti posisi kalian." Suaranya terdengar tenang dan bijaksana.

"Tapi Pak Ramlan, kami telah menuduh Bapak tanpa bukti," salah seorang pemuda menambahkan, suaranya bergetar. "Kami terlalu mudah percaya pada fitnah om arkan dan bude Zulaikha. Kami telah bertindak gegabah dan bodoh."

"Saya tahu," jawab Ramlan, suaranya lembut. "Saya juga manusia biasa. Saya juga pernah salah. Yang penting sekarang, kita semua sudah saling memahami. Mari kita lupakan kejadian kemarin. Kita harus bersatu untuk membangun desa kita. Kejadian ini mengajarkan kita untuk lebih bijak dan berhati-hati."

"Benar, Pak Ramlan," kata Pak Muhlis. "Kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Kita harus lebih bijak dan berhati-hati dalam bertindak. Kita tidak boleh mudah terprovokasi dan terpancing emosi. Terima kasih atas pengertian Bapak."

"Terima kasih atas permintaan maaf kalian," kata Ramlan, suaranya bergetar sedikit karena terharu. "Saya menerima permintaan maaf kalian. Mari kita sama-sama menjaga kerukunan di desa kita." Ia menatap wajah-wajah warga yang menyesal, dan hatinya dipenuhi rasa damai. Aisyah pun ikut tersenyum lega, melihat ayahnya yang telah memaafkan warga.

1
caca
cocok deh adik kakak nggak beres thor
caca
astagah ampunn bik otak mu
caca
bik zulaika sumpah ngeselin /Panic/
Proposal
Bagus Kaka🌟💫, jangan lupa mampir karyaku juga yaa🥰🙂‍↔️
Titus
Karakternya juara banget. 🏆
Monica Wulan: makasih kak udah mampir di cerita baruku
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!