Menuju Sukses Bersama Ayahku
SELAMAT MEMBACA
note: Nama dan tempat hanya karangan
Mentari pagi menyinari Desa Mekar Asri, embun masih menempel di daun-daun padi yang menghijau. Aisyah Saffiyah Zahra, gadis berusia enam belas tahun dengan paras cantik dan kecerdasan yang memikat, melangkah ringan menuju sawah. Di tangannya, sebuah bakul anyaman sederhana berisi bekal untuk ayahnya: nasi putih hangat dan tumis kangkung. Rambutnya yang hitam panjang diikat rapi, menampakkan wajahnya yang bersih dan polos. Ia tersenyum, menikmati kesegaran pagi dan keindahan alam sekitarnya.
Tiba-tiba, langkahnya terhenti. Zulaikha, bibinya sendiri, muncul dari balik sebatang pohon mangga tua. Zulaikha, dengan pakaiannya yang mewah dan perhiasan yang mencolok, menatap Aisyah dengan pandangan meremehkan.
" Heh Aisyah," sapa Zulaikha, suaranya terdengar sinis. "Apa yang kau bawa itu?"
Aisyah menunduk sedikit, lalu mengangkat bakulnya. "Ini bekal untuk Ayah, Bi. Nasi dan tumis kangkung."
Zulaikha tertawa mengejek, suaranya nyaring dan menusuk. "Hahaha Hanya itu? Nasi dan kangkung? Ck ck, Pantas aja kalian sangat kurus! Makanan saja tidak bergizi. Lihatlah keluarga ku, makananku selalu berlimpah, daging, ikan, sayur mayur impor! Itulah sebabnya keluarga kami selalu sehat dan cantik." Ia menyisir rambutnya dengan jemari lentik, menatap pantulan dirinya di permukaan sawah yang tenang.
Aisyah merasakan sesak di dadanya. Hinaan itu menusuk hatinya, namun ia berusaha tetap tenang. Ia menarik napas dalam-dalam.
"Alhamdulillah, Bibi," jawab Aisyah dengan suara lembut, namun tegas. "Kami bersyukur atas apa yang Allah berikan. Rezeki kami mungkin sederhana, tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan kami."
"Halah sok suci kau!" Zulaikha semakin kesal. "Jangan berlagak seolah-olah lebih baik dariku hanya karena kau bersyukur aisyah! Kau tahu, kesuksesan dan kekayaan adalah bukti keberhasilan hidup seseorang. Bersyukur dengan perut kosong? Itu hanya omong kosong cih!"
"Bibi," sahut Aisyah, suaranya mulai bergetar sedikit, "kesuksesan dan kekayaan memang penting, tetapi kebahagiaan sejati bukan hanya diukur dari itu. Kami mungkin tidak kaya, tetapi kami hidup dengan damai dan saling menyayangi. Ayah bekerja keras untuk keluarga kami, dan kami selalu bersyukur atas setiap tetes keringat yang ia keluarkan."
Zulaikha mendengus. "Alahhh Omong kosong! Kau terlalu naif, Aisyah. Dunia ini keras, kau harus berjuang untuk mendapatkan apa yang kau inginkan, bukan hanya bergantung pada 'rezeki' yang kau sebut-sebut itu!"
"Tapi Bibi," Aisyah membela diri, "bukan berarti kita harus melupakan nilai-nilai kemanusiaan dan rasa syukur. Kekayaan tanpa kebaikan hati hanyalah kesia-siaan saja bi."
"Cukup!" potong Zulaikha, wajahnya memerah menahan amarah. "Kau tidak akan pernah mengerti! Pergilah! Jangan ganggu aku lagi!" Ia berbalik dan pergi dengan langkah cepat, meninggalkan Aisyah yang masih berdiri di sana, merasakan campuran rasa sakit dan kesedihan.
Namun, Aisyah segera menghapus air matanya. Ia kembali tersenyum, mengingat pesan ayahnya: "Keteguhan hati lebih berharga daripada harta benda." Ia melanjutkan langkahnya menuju sawah
"Huft sabar aisyah allah memberikan cobaan pada umat-Nya karna ia tau bahwa umatNya mampu, mungkin setelah ini allah akan memberikan kebahagiaan yang besar" gumam aisyah
...****************...
Sesampainya di sawah, Aisyah melihat ayahnya, Ramlan Dzaki Ibrahim, terduduk lelah di sebuah pondok kecil. Ramlan, pria berusia 45 tahun dengan wajah yang penuh garis-garis keriput karena terik matahari dan kerja keras, tampak begitu lelah. Istrinya, Fatimah Amani Alya, telah tiada sejak Aisyah berusia 11 tahun, meninggalkan luka yang tak pernah benar-benar sembuh di hati mereka berdua.
tap
tap
Aisyah menghampiri ayahnya dengan langkah cepat, matanya berkaca-kaca melihat kondisi ayahnya. Ramlan menyambutnya dengan hangat, meskipun tangannya terlihat kasar dan penuh lumpur.
Aisyah membuka bakulnya, mengeluarkan nasi putih dan tumis kangkung. "Ayah, makan siang dulu," katanya lirih, suaranya sedikit bergetar. "Tapi Aku cuma masak kangkung aja, Ayah."
Ramlan tersenyum getir, mengelus lembut kepala Aisyah. Air mata mulai menggenang di sudut matanya. "Maafkan Ayah, Sayang," bisiknya, suaranya serak. "Ayah belum bisa kasih kamu makanan enak. Ayah belum bisa kasih kamu kehidupan yang layak nak..." Suaranya tercekat, tangisnya mulai pecah.
Aisyah merasakan dadanya sesak. Ia tahu betapa berat beban yang dipikul ayahnya. Ia menahan air matanya agar tidak jatuh. "Ayah..." Aisyah memeluk ayahnya erat-erat, mencoba memberikan kekuatan yang mungkin bisa ia berikan.
"Jangan nangis, Yah," Aisyah berkata, suaranya bergetar. "Aisyah bersyukur kok, yah. Apapun keadaan kita aisyah nggak pernah nuntut hidup enak. Yang penting kita sehat dan selalu bersama." Ia berusaha tersenyum, mencoba menyembunyikan kesedihannya.
Ramlan semakin erat memeluk Aisyah. "Ayah bangga punya anak sebaik kamu, Sayang," katanya di sela-sela isak tangisnya. "Kamu anak yang kuat dan sabar."
Aisyah mengusap air mata ayahnya. "Setelah aku lulus sekolah, aku akan kerja, Yah. Aku akan bantu Ayah." Suaranya mantap, mencoba memberikan harapan di tengah kesedihan yang mendalam. "Kita akan melewati semuanya bersama-sama yah menuju kesuksesan." Ia tahu janjinya itu masih jauh, tapi itu adalah satu-satunya hal yang bisa ia berikan untuk ayahnya saat ini, sebuah janji yang diiringi dengan air mata dan rasa cinta yang tak terhingga.
"Ya allah kuatkanlah hati dan raga aisyah dengan ayah, supaya ayah melihat keberhasilan yang akan datang untuk aisyah y allah.. "
Setelah makan siang dan membantu ayahnya memanen padi, sore harinya Aisyah dan Ramlan pulang ke rumah. Begitu sampai di depan rumah, mereka melihat Zulaikha dan Arkan, adik Ramlan, berdiri di sana. Arkan, dengan motor barunya yang mengkilap, tampak begitu gagah. Keduanya, orang kaya baru yang terkenal dengan kesombongan mereka, menatap Aisyah dan Ramlan dengan pandangan yang jelas-jelas meremehkan.
Arkan langsung menyahut begitu melihat Aisyah dan Ramlan. "Wah wah, masih jalan kaki aja mas? liat aku baru beli motor nih, biar nggak capek jalan kaki!" Ia tertawa mengejek, menunjukkan motornya dengan bangga.
Ramlan hanya tersenyum tipis. "Gapapa, Jalan kaki bikin sehat ar..," jawabnya tenang. Ia tak mau terpancing emosi oleh kesombongan adiknya.
Zulaikha langsung ikut nimbrung, suaranya nyaring dan menusuk. "Aisyah, kamu tuh berhenti sekolah aja! Merantau ke kota sana, kayak anak pertamaku! Cari uang, biar nggak miskin terus!"
Ramlan langsung membela Aisyah. "Aisyah akan tetap sekolah! mas pengen Aisyah kuliah, meski pakai beasiswa."
Zulaikha tertawa sinis. "Kamu ini mas, sok-sokan kuliah! Orang susah, sok mau kuliah! mimpi mulu!"
Aisyah menatap Zulaikha dengan tenang, suaranya lembut namun tegas. "Selama aku nggak pakai uang Bibi, nggak ada masalah, Bi. Aku akan berusaha keras untuk kuliah. Aku percaya, ada jalan untuk mencapai cita-citaku."
Arkan menyela, "Kuliah? Buat apa? Lebih baik kamu cari kerja jadi pembantu aja, dapat uang banyak!" Ia tertawa terbahak-bahak.
"Mas nggak mau Aisyah jadi pembantu," kata Ramlan, suaranya sedikit meninggi. "Aisyah berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Mas akan bekerja lebih keras lagi untuk mendukungnya."
Zulaikha mencemooh. "Kerja keras? Sampai kapan mas? sampai ayam jantan bertelur?Lihat kami, kaya raya, hidup enak! Kamu masih berkutat sama sawah aja cihh..!"
"Kekayaan bukan segalanya, Bi," sahut Aisyah. "Kebahagiaan itu lebih berharga daripada harta. Ayah dan aku bahagia dengan hidup sederhana kami. Nggak ada manusia yang mau hidup susah, maka dari itu kami berusaha dan berikhtiar bi. Untuk apa harta benda kalau lupa siapa yang memberi segalanya? "
"Halah sok bijak!" Zulaikha semakin kesal. "Kamu akan menyesal nanti kalau terus berpegang pada prinsip-prinsip kuno itu aisyah!" Ia berbalik dan pergi, Arkan mengikutinya dengan motor barunya yang menderu. Meninggalkan Ramlan dan Aisyah yang berdiri di depan rumah, merasakan campuran rasa sedih dan kesal. Sedih karena perlakuan Zulaikha dan Arkan padahal mereka keluarga.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Setelah Zulaikha dan Arkan pergi, Aisyah duduk di beranda rumah bersama ayahnya. Ramlan menatap Aisyah dengan penuh harap.
"Nak, ayah mau bilang sesuatu." kata Ramlan lembut, "Ayah mau kamu kuliah setelah lulus SMA, ya. Meskipun harus pakai beasiswa, Ayah akan kerja lebih giat lagi untuk bantu kamu."
Aisyah menggeleng. "Ayah, aku nggak mau kuliah. Aku mau kerja aja. Buat Bantu Ayah."
Ramlan terlihat kecewa. "Sayang, ini mimpi Ibumu. Ibu ingin kamu kuliah nak, supaya mendapatkan pendidikan yang baik untuk masa depan kamu. ." Suaranya bergetar, kenangan tentang mendiang istrinya kembali menghantuinya.
Aisyah terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia mengerti keinginan ayahnya, dan juga keinginan ibunya yang telah tiada. "Baiklah, Yah," katanya pelan. "Aisyah akan berusaha cari beasiswa di kampus yang murah. Aku akan kuliah sambil kerja."
Ramlan awalnya menolak. "Nggak, Sayang. Fokus kuliah aja. Biar Ayah yang akan kerja keras."
Aisyah menggeleng lagi, tegas. "Nggak, Yah. Aku harus bantu Ayah. Aisyah ngga mau nyusahin ayah lagi. Aisyah akan cari beasiswa sambil kerja part time biar ayah nggak mikirin biaya kuliah disana. " Ia menatap ayahnya dengan penuh keyakinan, mencoba meyakinkan ayahnya bahwa ia mampu melakukan semuanya. Ia tak mau hanya bergantung pada ayahnya yang sudah begitu lelah bekerja keras. Ia ingin meringankan beban ayahnya, sekaligus mewujudkan mimpi ibunya.
Pagi-pagi sekali, sebelum fajar menyingsing, Aisyah sudah bangun. Ia menunaikan sholat subuh dengan khusyuk, lalu bergegas ke dapur. Ia merebus ubi, makanan sederhana namun mengenyangkan untuk sarapan ayahnya. Setelah semuanya siap, ia berangkat sekolah dengan sepeda bututnya yang setia menemani setiap harinya. Sepeda itu tampak usang, tapi tetap melaju dengan gagah menuju SMA Mekar Asri.
Sesampainya di sekolah, Aisyah melihat Caca Sekar Arum sudah menunggu di depan gerbang.
"Aisyah!" seru Caca, melambaikan tangan. "Pagi! sya"
"Pagi, Ca!" Aisyah tersenyum, memarkir sepedanya. "Kamu udah lama nunggu?"
"Baru aja kok," jawab Caca. "Eh, kamu bawa bekal lagi? Ubi rebus?"
Aisyah mengangguk. "Iya,sekalian buat Ayah tadi. Hari ini Ayah kerja keras lagi di sawah."
"Kasian banget Ayah kamu sya," kata Caca, ikut merasa iba. "Kamu kuat banget ya, bisa ngurus Ayah sambil sekolah."
"Nggak papa kok, Ca," Aisyah tersenyum. "Aku udah terbiasa. Lagian, Ayah selalu mendukung aku sekolah. Dia pengen aku kuliah."
"Iya, pasti Ayahmu pengen kamu kuliah. Hebat banget Ayah kamu sya dukung apapun mau putrinya!" Caca mengagumi keteguhan hati ayah Aisyah. "Tapi, kamu nggak kepikiran mau kerja aja dulu? Bantu Ayah?"
Aisyah menghela napas. "Huftt aku sempet kepikiran juga, Ca. Tapi, Ayah pengen aku kuliah. Jadi keputusan aku pengen kuliah sambil kerja aja. Aku lagi nyari beasiswa, Semoga aja dapet."
"Semoga dapet ya, Sayang!" Caca memeluk Aisyah. "Kamu pasti bisa kok. Kamu kan pinter banget Aku bakal dukung kamu."
kringggg
"Amin," Aisyah tersenyum haru. "Makasih, Ca. Kamu memang sahabat terbaik."
"Sama-sama, Sayang!" Caca tersenyum balik. "Eh, udah bel nih. Yuk, masuk kelas!"
"Yuk!" Aisyah dan Caca berjalan bersama menuju kelas, membicarakan rencana mereka untuk mengerjakan tugas kelompok. Mereka berdua saling mendukung dan menyemangati satu sama lain, menjadikan perjalanan sekolah mereka lebih berwarna dan penuh makna. Persahabatan mereka menjadi kekuatan bagi keduanya untuk menghadapi berbagai tantangan hidup.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Proposal
Bagus Kaka🌟💫, jangan lupa mampir karyaku juga yaa🥰🙂↔️
2025-06-16
1