Misteri Cinta Amezza

Mendengar apa yang dikatakan oleh Evradt, Amezza langsung mengambil coklat, kue dan bunga itu.

"Kamu mau apa?" tanya Evradt.

"Aku mau memberikannya pada orang yang membutuhkannya. Pasti kamu akan meminta aku membuangnya kan?" tanya Amezza.

"Iya. Kalau kamu menerimanya berarti kamu menyukai Erland. Aku jadi cemburu." kata Evradt dengan wajah yang memerah.

Amezza tersenyum. Ia mendekat dan mengecup pipi Evradt. "Aku senang kalau kamu cemburu. Namun aku tetap tak akan membuang makanan ini. Kasihan kalau di buang. Di luar sana banyak orang yang tak bisa makan karena miskin."

Evradt tak menduga, dibalik sifat introvert yang Amezza miliki, ternyata dia sangat peduli dengan orang lain.

"Kalau begitu ayo kita pergi!" ujar Evradt.

"Kemana?"

"Kemana lagi kalau bukan membawakan kue dan coklat itu untuk orang yang membutuhkannya?"

Amezza tersenyum. Ia kemudian memberikan kotak kue dan coklat itu pada Evradt lalu keduanya melangkah bersama meninggalkan kamar.

Bunga yang Erland berikan, Amezza letakan di depan sebuah gereja. Lalu kue dan coklat itu mereka bawa di sebuah panti asuhan. Evradt bahkan menambahkan beberapa kita kue dan coklat lagi sebelum mereka pergi ke panti asuhan.

"Terima kasih, sayang." kata Amezza setelah keduanya sudah kembali dari panti asuhan.

Evradt yang baru saja meletakan kunci mobilnya segera duduk di samping istrinya.

"Sayang, apakah Erland tidak tahu kalau kamu sudah menikah?" tanya Evradt.

"Belum. Aku belum sempat bicara banyak dengannya."

"Apakah kamu akan menyembunyikan status pernikahan kita?" tanya Evradt lagi.

Amezza menatap suaminya. "Menurutmu?"

"Aku terserah kamu, sayang."

"Bagaimana aku bisa memberitahukan orang lain sedangkan orang tuaku sendiri belum tahu?"

Evradt merangkul Amezza. "Kamu akan berapa lama di London ini?"

"Konferensi nya selesai lusa. Mungkin 2 hari setelah itu baru aku pulang. Aku belum beli tiket untuk pulang sih."

"Kita bulan madu, yuk!"

"Bulan madu kemana?"

"Venice, Italia."

"Aku sudah pernah ke Italia. Namun ke Venice nya belum pernah."

"Aku akan memesan tempat untuk kita di sana. Satu minggu. Boleh?"

"Terserah kamu."

Evradt melepaskan rangkulannya di bahu Amezza. Ia kini duduk menyamping. Amezza pun melakukan hal yang sama. Keduanya saling berpandangan. "Besok dan lusa, aku ada pekerjaan dengan Caleb Thomson di luar kota London. Setelah kembali, kita akan segera pergi ke Venice. Aku ingin punya banyak waktu untuk bersamamu. Setelah kita bulan madu dari Venice, aku harus kembali ke Paris karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Mungkin kita akan berpisah selama 2 minggu sampai 1 bulan. Setelah itu aku akan segera menuju ke Spanyol untuk bertemu dengan orang tuamu."

Amezza tersenyum senang. "Baiklah. Oh ya, aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Amezza. Ia terlihat sangat gugup.

"Ada apa, sayang?" tanya Evradt sambil memegang pipi Amezza.

"Mengapa....mengapa setiap kali kita berhubungan, kamu harus menggunakan pengaman? Kalau tak ada pengaman, kamu selalu membuangnya di luar. Apakah kamu tak ingin punya anak dariku?"

"Sayang, mengapa kamu sampai berpikir seperti itu?" Evradt langsung memeluk Amezza. "Tentu saja aku ingin punya anak denganmu. Bukankah tujuan kita menikah adalah untuk membangun keluarga yang utuh? Aku menyukai juga anak-anak. Namun aku berpikir kalau kamu masih terlalu muda, sayang. Usiamu baru 22 tahun. Lagi pula kita masih tinggal di tempat yang berbeda. Jika kamu sudah tinggal denganku di Paris, jika orang tuamu sudah mengetahui hubungan kita, tentu saja aku ingin punya anak." Evradt melepaskan lagi pelukannya. Di tatapnya kedua mata Amezza dengan tatapan penuh kasih "Aku tak mau kamu menggunakan alat kontrasepsi apapun karena aku tak ingin rahimmu bermasalah. Karena itulah aku menggunakan pengaman."

Amezza bernapas lega. "Maafkan aku karena sudah berpikir yang jahat tentang kamu."

Evradt langsung mengecup bibir istrinya dengan penuh gairah. Amezza menyambut ciuman itu dengan sama panasnya. Gadis itu merasa bahwa ia selalu ingin menikmati sentuhan suaminya. Dan itu sungguh membuatnya gila.

*************

Pelaksanaan konferensi akhirnya selesai. Lukisan para pelukis dijual dan mendapatkan harga yang pantas. Mereka pun bersyukur karena bisa menyumbang bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus.

"Selamat ya Amezza. Lukisanmu salah satu yang termahal." kata Erland.

"Terima kasih. Bagaimana syutingnya?"

"Berjalan dengan baik. Oh ya, ayo kita minum kopi di restoran."

Amezza mengikuti langkah Erland karena dia tahu saatnya ia akan mengatakan kalau dirinya sudah punya suami.

"Apakah setelah ini kamu akan langsung kembali ke Spanyol?" tanya Erland.

"Tidak. Aku mau jalan-jalan ke Venice."

"Dengan suami mu?" tanya Erland.

Amezza terkejut. "Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku sudah menikah?"

"Dari cincin yang kamu gunakan. Itu adalah cincin produksi Thomson Jawelery. Cincin yang didesain khusus oleh papaku. Di dunia ini hanya ada 3 pasang. Kalaupun ada yang modenya sama, itu bukan aslinya karena pasti tak ada sertifikat dari perusahaan kami. Aku yakin ini yang asli karena berliannya juga sama." Kata Erland sambil menyentuh cincin yang ada di jari manis Amezza. Kebetulan tangan Amezza ada di atas meja.

"Kamu tahu siapa yang membeli ke-tiga pasang cincin ini?"

"Tentu saja. Di dokumen perusahaan ada nama mereka. Pertama pangeran dari Monaco saat ia menikah dengan putri Hanna dari Inggris. Kedua pangeran Arab yang menikah dengan Putri Yukari dari Jepang. Dan ketiga pengusaha kaya asal Perancis yang bernama Piere Lois Floquet."

Amezza terkejut.

"Ayah dari Evradt Floquet. Pria yang membeli semua lukisanmu. Jadi, siapa mertuamu dari ketiga orang pembeli cincin ini?"

Amezza tak tahu harus bicara apa.Ia kemudian tersenyum.

Erland mengangguk. Seakan mengerti mengapa Amezza tak mau bicara.

"Pernikahan rahasia ya?" cowok itu kemudian tertawa sendiri. "Sejak awal aku sudah tahu dengan status mu. Namun entah mengapa aku justru semakin suka padamu. Eh, jangan menganggap aku kurang ajar atau kurang sopan karena menyukai istri orang. Itulah perasaan. Kita tidak dapat menolaknya kan? Aku hanya berharap kalau dia akan membahagiakan mu. Karena kamu terlalu cantik untuk di sakiti."

"Terima kasih, Erland."

"Kita tetap menjadi teman baik kan? Boleh dong aku sesekali menanyakan kabarmu."

"Tentu saja."

Erland menyodorkan ponselnya. "Ayo kita simpan nomor ponsel kita. Siapa tahu dikemudian hari kita akan saling membutuhkan."

Amezza memberikan nomornya. Keduanya kemudian menikmati kopi bersama. Cerita mereka mengalir di sekitar pekerjaan Erland sebagai sutradara film.

"Sesekali, aku akan memakai mu untuk menjadi tokoh dalam film ku. Bolehkan?"

Amezza tertawa. "Aku tak pandai berakting di depan kamera. Kalau adegannya hanya tentang melukis, aku bisa."

Erland mengangguk. Senyumannya begitu manis.

Setelah acara minum kopi selesai, Amezza pun pamit lalu segera ke kamarnya. Erland masih duduk sendiri di restoran hotel.

Caleb tiba-tiba hadir dan duduk di depan adiknya.

"Jangan jatuh cinta dan masuk dalam hubungan orang lain, adikku."

Erland tersenyum penuh misterius. "Kata uncle Ben, play boy itu tak akan pernah jatuh cinta sampai ia menemukan wanita yang tepat. Jika sudah ketemu, maka harus dikejar apapun resikonya."

Caleb hanya menggeleng. "Aku tak mau kamu terluka."

Erland menggeleng. "Aku tak akan pernah terluka, ka."

Diam-diam, Evradt mengamati kakak beradik itu. Wajahnya terlihat tenang walaupun nampak ada tatapan tak suka dari matanya.

**********

Bagaimana kisah ini berlanjut ?