NovelToon NovelToon
Kolor Sakti

Kolor Sakti

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Spiritual / Balas Dendam / Dikelilingi wanita cantik / Mengubah Takdir / Anak Lelaki/Pria Miskin
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: aiza041221

Seorang pria yang mendapat warisan leluhur setelah diceraikan oleh istrinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aiza041221, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

11

Baru saja Suparman masuk kedalam rumahnya dan duduk di ruang tamu, suara motor Sarmin berhenti di depan rumahnya dan tak lama kemudian Sarmin memasuki rumahnya dengan jalan sempoyongan sambil memegang sebotol vodca di tangannya.

" Gara-gara sebotol minuman, Sarmin jalan sempoyongan.. menyala abangku...!" ucap Suparman sambil tersenyum mengejek ke arah sahabatnya.

" Kamu tidak usah meledekku, Man? tadi aku mendengar kalau ada rombongan mobil mewah datang kerumahmu, apa kamu terkena masalah lagi?" tanya Sarmin sambil menuangkan minuman ke gelas kosong di hadapan Suparman.

" Bukan, itu kakek temanku yang datang mencari cucunya yang kabur dari rumah. Kamu kenapa sih mukamu murung terus, Min?" sahut Suparman dengan santai.

Suparman terpaksa berbohong kepada sahabatnya karena tidak ingin sahabatnya mengetahui masalah yang sedang dihadapinya. Lagipula, Suparman yakin bahwa sahabatnya tidak akan bisa membantu menyelesaikan masalah yang menimpa dirinya.

" Aku bingung Man? Aku tadi kembali melamar Mona, namun seperti sebelumnya, dia selalu menolak dengan alasan yang tidak masuk akal, padahal aku sudah mengatakan jika aku menerima dia apa adanya." curhat Sarmin sambil menenggak minuman langsung dari botolnya.

" Apakah masih dengan alasan umur kalian yang lebih tua mona dua tahun, atau Mona menambahkan alasan lain." tanya Suparman sambil meminum vodca yang Sarmin berikan padanya.

Suparman sebenarnya sedikit curiga jika alasan Mona menolak Sarmin bukanlah karena umur mereka, Suparman menduga jika Mona tidak percaya diri dengan panu yang ada ditubuhnya, apalagi dulu Mona di ceraikan oleh mantan suaminya hanya dua hari setelah pernikahan mereka.

Suparman sangat yakin jika mantan suami mona, menceraikan Mona karna panu yang ada di tubuh Mona, Suparman menduga kalau hal itulah yang membuat Mona tidak percaya diri untuk kembali menikah.

Didalam hatinya Suparman berpikir untuk membantu Mona menyembuhkan penyakitnya, Suparman sangat yakin dengan kekuatan kolor saktinya dia bisa menyembuhkan panu yang ada ditubuh Mona.

" Itulah yang aku bingungkan, Man? Sangat tidak masuk akal hanya karena umur kami yang berbeda dua tahun membuat Mona menolakku." ujar Sarmin sambil menuangkan vodca ke gelas Suparman.

" Apa bukan karena kamu tidak setampan aku, Min?" canda Suparman sambil menyalakan sebatang rokok di tangannya.

" Hufffftttt, aku sangat yakin bukan itu masalahnya, Man? Lagian tampan seperti kamu juga tidak ada artinya jika masih ditinggalkan oleh istri." sindir Sarmin sambil tersenyum mengejek ke arah sahabatnya.

" Sialan Kamu..! Itu hanya Linda saja yang mata duitan." sahut Suparman dengan wajah masamnya.

Suparman dan sarmin terus mengobrol sambil menikmati minuman yang Sarmin bawa, hingga tanpa sadar waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan Sarmin pun langsung berpamitan untuk pulang kerumahnya.

" Aku pulang dulu Man? Kamu serius untuk bantu aku mendapatkan Mona kan?" tanya Sarmin sambil bangkit dari duduknya.

" Akan aku usahakan, kamu tenang saja semuanya pasti beres jika aku sudah turun tangan." balas Suparman dengan penuh percaya diri.

" Cihhhhhh... Aku harap kamu benar-benar bisa membuat Mona menerima lamaranku, jika kamu bisa membuat Mona menerima lamaranku, aku akan menganggap kamu sebagai penyelamat hidupku.' sahut Sarmin sambil berjalan menuju motornya dengan sempoyongan.

Suparman hanya bisa tersenyum melihat sahabatnya, dia tidak menyangka kalau sahabatnya benar-benar tergila-gila dengan Mona, Suparman juga mengakui Mona memang lumayan cantik, apalagi didukung dengan buah semangka dan bemper belakang miliknya yang sama besarnya.

Baru saja hendak memasuki rumahnya, Suparman melihat seorang wanita yang berjalan mengendap-endap mendekati rumahnya. Dengan helaan nafas panjang, ia tidak menyangka Mona juga akan datang.

" Man, aku mau bicara sebentar, bisa?" tanya Mona sambil melirik sekeliling.

" Masuklah," balas Suparman dengan santai.

Suparman sebenarnya merasa sedikit kesal karena harus menunda rencananya membalas keluarga Saputra akibat drama yang terjadi antara Mona dan Sarmin. Namun sebagai sahabat Sarmin, dia berpikir Untuk membantu masalah sahabatnya terlebih dahulu sebelum menyelesaikan masalahnya.

" Kamu mau minum apa? Aku hanya punya kopi, mau?" tawar Suparman ketika Mona sudah duduk di ruang tamu.

" Boleh, Man. Tapi buat yang manis ya?" jawab Mona sambil menyalakan sebatang rokok mild.

Suparman hanya tersenyum melihat tingkah Mona yang ternyata juga merokok. Tanpa membuang waktu, dia langsung menuju dapur untuk membuat kopi, setelah membuat dua gelas kopi panas, Suparman langsung kembali menuju ruang tamu.

" Kopinya Mon? apa yang ingin kamu bicarakan denganku? apa masalah Sarmin yang kembali melamarmu." ucap Suparman sambil meletakan kopi dimeja.

" Kamu benar Man, apa yang harus aku lakukan? Aku takut jika menerima lamaran Sarmin, kejadian seperti saat dengan mantan suamiku terulang lagi, aku tidak mau tersakiti untuk yang kedua kalinya." balas Mona sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

Masih teringat jelas di ingatan Mona saat mantan suaminya menceraikannya saat usia pernikahan mereka baru berjalan dua hari, hanya karena penyakit panu yang ada di punggungnya.

Hal itulah mona sedikit trauma untuk kembali menjalin hubungan dengan pria lain, dia bahkan dengan tegas menolak beberapa pria yang ingin melamarnya, karena dia tidak ingin kejadian pahit yang dia alami terulang kembali.

" Apakah karena penyakit panu yang kamu punya di punggungmu itu, Mon, sehingga kamu merasa tidak percaya diri menerima lamaran Sarmin?" ujar Suparman dengan senyum yang penuh arti.

Mona terkejut mendengar ucapan Suparman, lalu menatapnya dengan bingung. "Dari mana kamu tahu kalau aku punya banyak panu di punggungku, Man? Apa jangan-jangan kamu suka mengintip aku saat aku mandi?" jawab Mona dengan nada sedikit menggertak, namun matanya menunjukkan keheranan yang nyata.

Suparman, yang melihat reaksi Mona, hanya tersenyum santai. "Tidak penting dari mana aku tahu. Yang lebih penting, aku tidak pernah mengintipmu, Mon. Dan kalau kamu mau, aku bisa membantumu untuk menyembuhkan panu di punggungmu. Tapi itu semua tergantung pada keputusanmu," kata Suparman dengan nada meyakinkan.

Mona semakin penasaran. Meskipun rasa malu masih menggelayuti hatinya, dia merasa ada harapan untuk bisa sembuh dari penyakit panu yang selama ini membuatnya merasa minder. "Bagaimana caranya, Man?" tanyanya dengan antusias.

Suparman tersenyum lebar, merasakan kegembiraan Mona yang mendalam. "Cukup dengan pijatan khusus, Mon. Penyakit panu kamu bisa hilang dengan cepat," jawab Suparman, meyakinkan.

Mona yang mendengarnya merasa sedikit ragu, namun rasa putus asa untuk sembuh membuatnya tidak bisa menahan diri. "Tapi, ini hanya antara kita berdua saja, ya?" Mona bertanya lagi, memastikan agar semuanya tetap rahasia.

Suparman mengangguk dengan tenang. "Tentu saja, Mon. Kamu kenal aku. Aku tidak akan membocorkan rahasia ini. Sekarang, ikut aku ke kamar. Sarung ada di ranjang, pakai itu, lalu panggil aku ketika kamu siap," ujar Suparman dengan raut wajah serius, meski ada sedikit kekhawatiran yang tersirat.

Mona tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya berjalan masuk ke kamar dengan langkah mantap. Di luar, Suparman duduk menunggu dengan sabar, menyeruput kopi yang sudah ia siapkan sebelumnya. Setelah kopi habis, ia mendengar suara Mona memanggilnya, memintanya masuk.

Begitu memasuki kamar, Suparman merasa jantungnya berdebar kencang. Ia melihat Mona yang terbaring telungkup di atas ranjang. Meskipun panu masih menempel di punggungnya, Suparman tetap merasa tubuh Mona menarik. "Kenapa kamu tidak memakai sarung, Mon?" tanyanya, sedikit malu, merasa canggung dengan situasi ini.

Mona menoleh, matanya sedikit terbuka, lalu menjawab dengan nada yang sedikit malu. "Bukankah pengobatannya dengan dipijat, Man? Percuma juga kalau aku memakai sarung, nanti pijatannya malah jadi susah," katanya, suaranya bergetar karena malu namun jelas terdengar keinginan untuk sembuh.

Suparman mengangguk, tidak ingin membahas hal itu lebih lanjut. "Baiklah, aku ambil handbody dulu," jawabnya, berusaha tetap tenang meskipun pikirannya mulai sedikit kacau.

Setelah mengambil handbody dari lemari, Suparman kembali ke ranjang dan duduk di samping Mona. Ia menatap punggung Mona yang penuh dengan panu, membayangkan proses penyembuhan yang akan ia lakukan. Tangannya mulai terasa hangat, tanda bahwa kekuatan kolor saktinya sudah mulai bekerja. Suparman perlahan mulai memijat punggung Mona dengan hati-hati, merasakan panu mulai menghilang satu per satu.

"Man, pijatanmu sangat enak," bisik Mona dengan suara yang bergetar, tampak menikmati setiap sentuhan yang diberikan oleh Suparman.

"Sudah, jangan banyak bicara. Panu di punggungmu akan segera sembuh," jawab Suparman, mencoba menenangkan dirinya. Setiap pijatan yang ia lakukan membuatnya semakin merasa dekat dengan Mona, dan ia tahu bahwa penyembuhan ini bukan hanya sekadar soal fisik, tetapi juga soal perasaan.

Wajah Suparman mulai merah, dan meskipun ia berusaha menjaga profesionalitasnya, ia tidak bisa menahan perasaan yang muncul. Perlahan, panu di punggung Mona menghilang, dan kulitnya kembali mulus.

Suparman merasa lega, tetapi juga semakin gelisah. Akhirnya, setelah beberapa lama, ia menarik napas panjang dan berkata, "Sudah, Mon, semua panu yang ada di punggungmu sudah hilang."

Mona yang mendengar itu tersenyum lebar, merasa sangat bahagia. "Benarkah? Kalau begitu, sekarang sembuhkan juga panu yang ada di perut dan buah semangka milikku," jawab Mona dengan nada yang sedikit menggoda, sambil memutar tubuhnya.

Suparman tertegun sejenak, merasa lelah dan cemas. "Aku... aku tidak yakin bisa terus melakukan ini, Mon. Mengobati punggungmu saja sudah membuatku hampir tak bisa menahan diri," jawab Suparman dengan suara lemah, matanya tertutup sebentar, berusaha menenangkan diri.

Mona, yang masih terbaring di ranjang, tersenyum ringan. "Kalau aku sembuh nanti, kamu bisa menggarap sawahku. Anggap saja itu sebagai imbalan atas jasamu," ucapnya dengan nada santai, meski ada sedikit rasa ketegangan di balik kata-katanya.

Suparman membuka matanya, menatap Mona dengan tatapan tajam. "Baik, Mona. Tapi ingat, kamu jangan menyesal dengan apa yang kamu tawarkan," jawabnya tegas, matanya tak lepas dari Mona.

Setelah itu, Suparman berdiri dan mengeluarkan cangkul dari samping ranjang, menunjukkannya pada Mona dengan gerakan mantap. "Lihat cangkulku ini, Mon. Besar dan kokoh, meski sedikit bengkok," ujarnya, sambil tersenyum kecil, berusaha mencairkan ketegangan yang ada.

Mona mengangkat kedua kakinya, membuka lebar-lebar dan tersenyum, "Mungkin kamu bisa mengobatiku sambil mencangkul sawah ini, Man. Biar semuanya selesai sekaligus," ucapnya, dengan wajah penuh harap.

Suparman mendesah, merasakan desakan di dadanya. Ia sudah sebulan penuh tidak menyentuh sawah, dan kini kesempatan itu datang begitu saja. "Pelan-pelan, Man," bisik Mona, matanya tertutup rapat, merasakan detak jantungnya semakin cepat.

Dengan hati-hati, Suparman menanamkan cangkulnya ke tanah yang lembap. Namun, tangan kirinya tidak hanya sibuk dengan cangkul. Ia juga merawat perut Mona dengan lembut, memijat dan meluruskan buah semangka yang semula dipenuhi panu. Setiap gerakan penuh perhatian, seiring dengan usaha kerasnya, panu di tubuh Mona perlahan hilang.

Mona menghela napas panjang. "Uhhhh... tahan sebentar, Man. Jangan bergerak dulu," pintanya, merasa tanah sawahnya telah cukup dalam untuk menerima cangkul lebih jauh.

Suparman mengangguk, matanya masih fokus pada pekerjaan. "Aku tidak menyangka kamu benar-benar bisa mengobati panu yang aku derita, Man. Sekarang aku bisa hidup tanpa minder lagi," kata Mona dengan penuh kebahagiaan.

"Jika kamu mengizinkan, bolehkah aku memakan buah semangka milikmu, Mon?" tanya Suparman, dengan sedikit senyum di bibirnya, sambil terus mencangkul dengan penuh semangat.

"Silakan, Man. Malam ini buah semangka milikku akan aku sajikan khusus untukmu," jawab Mona dengan senyum yang lebih lebar, merasakan

kedekatan yang semakin terjalin antara mereka berdua.

1
Hiu Kali
seharusnya MC punya ruang penyimpanan galaksi di kolornya.. jadi tinggal cling, harta sudah berpindah tempat.. keren ini cerita, ringan, menggelitik, ada adegan kulit bertemu kulit dan bulu bertemu bulu yang tidak monoton..upayakan 10rb kata thor per hari..hehehe
🍁FAIZ❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ
waaah pak retenya juga main judi
🍁FAIZ❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ
kalahkan terus bandarnya biar bangkrut
🍁FAIZ❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ
udah tahu Linda hamil mau juga man
🍁FAIZ❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ
cerdas juga leluhurnya, di kolornya ada tulisan S biar kayak Superman 🤣🤣🤣🤣
🍁FAIZ❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ
ceritanya bagus Thoor, usul per chapter di kasih judul ya.. langsung vote ini
Muji wiyono
Buruk
Yuliana Tunru
Luar biasa
Aqlul /aqlan
ni ada kelanjutanya nggak...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!