Kata orang, roda itu pasti berputar. Mereka yang dulunya di atas, bisa saja jatuh kebawah. Ataupun sebaliknya.
Akan tetapi, tidak dengan hidupku. Aku merasa kehilangan saat orang-orang disekitar ku memilih berpisah.
Mereka bercerai, dengan alasan aku sendiri tidak pernah tahu.
Dan sejak perceraian itu, aku kesepian. Bukan hanya kasih-sayang, aku juga kehilangan segala-galanya.
Yuk, ikuti dan dukung kisah Alif 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertanyaan Atau Sindiran?
Alif mengangkat wajahnya, dia melihat ke arah Raffa dengan jajanan yang kantongnya, dari indomar*t. Tempat, yang bahkan tak pernah di ketahui apa saja yang ada di dalamnya oleh Alif.
"Alif, nak ..." Misna melangkah dengan ragu, mendekatinya.
Langkah Alif otomatis mundur, dia bahkan enggan melihat wajah di depan mukanya. Alif, memilih memalingkan wajahnya, atau melihat kemana saja, yang penting tidak pada ibunya.
Misna tak memperdulikan tentang Alif yang tidak melihatnya, dia merekuh tubuh kecil itu sambil menangis tersedu.
Tatapan Alif kosong, dia hanya berdiri kaku. Tak ada ekspresi disana, Alif juga tak membalas pelukan ibunya.
"Maafkan ibu nak ..." pinta Misna memegangi kedua pipi Alif. "Maafkan, ibu yang baru datang." lirihnya.
"Alif ..." Faisal mendekat, dia menepuk bahu itu dan mengelus kepala Alif.
Baru lah, Alif mengangkat wajahnya, menatap wajah lelaki yang menjadi ayah sambungnya.
Ah, apakah pantas lelaki itu disebut ayah sambung? Bahkan, dia baru terlihat saat neneknya telah tiada.
"Apa kabarmu?" Faisal merengkuhnya, kala Misna melepaskan pelukannya.
"Baik," sahutnya lirih.
"Aku mau istirahat dulu." pamitnya.
Alif merasa dirinya tak pantas berada di keluarga ibunya. Dia bukan bagian dari sana. Apalagi, sejauh yang diketahui oleh Alif, ibunya tidak mau menerimanya, makanya dia sampai di titipkan pada neneknya.
Walaupun Neli tidak menceritakan kejadiannya, akan tetapi mulut-mulut tak bertanggung jawab lah, yang mengatakannya. Bahkan yang lebih parahnya lagi, saat Neli menegur mereka, mereka berdalih jika itu hanya sebuah candaan.
"Pergi lah, temani dia." bisik Faisal.
Misna mengikuti Alif, dia mengetuk pintu kamar secara perlahan, dan meminta izin untuk masuk kesana.
Karena tak mendapatkan respon apapun dari Alif, Misna pun, memberanikan diri membuka pintu.
"Ibu masuk ya ..." Misna melangkah pelan, mendekati Alif yang duduk termenung di ranjang.
Misna ikut duduk disana, suara ranjang reot terdengar jelas di telingannya. Pertanda, jika ranjang itu sudah berumur cukup lama.
Misna menatap dekor kamar, kamar yang tak pernah berubah, sejak terakhir kali dia melihatnya. Saat itu, dia berkunjung, kala Neli sakit.
"Kenapa?"
Satu kata yang keluar dari bibir Alif, membuat Misna bungkam. Dia sendiri, gak tahu alasan apa yang harus di lontarkan.
"Maaf ..." balas Misna.
"Keluarlah, karena pada hakikatnya aku tidak membutuhkan kehadiranmu, dan terimakasih, karena perjuanganmu dalam melahirkan aku," ujar Alif tanpa menoleh pada Misna yang termangu.
Ingin sekali Alif berucap ataupun bertanya pada ibunya. Kenapa, mereka tidak membunuhnya saja sejak dalam kandungan. Namun, dia teringat pesan ustad Agus, saat dia mengaji dulu. Beliau pernah berkata, setiap bayi akan diperlihatkan jalan hidupnya saat sebelum mereka lahir. Dan sialnya, Alif malah memilih untuk lahir ke dunia, untuk menikmati hidupnya yang terlihat menyedihkan ini.
Dulu, Alif memang sempat pergi ngaji sama teman-teman sebayanya. Akan tetapi, banyak orang tua mengeluh, jika dengan adanya dia, anak-anak mereka bertambah bandel.
Dan bahkan ada seorang ibu yang terang-terangan menyuruh Agus untuk tidak mengizinkan Alif ikut ngaji lagi. Itu semua karena Alif pernah membalas memukuli anaknya. Padahal, Agus sudah menjelaskan, jika anaknya lah, yang pertama kali mencari gara-gara, namun orang itu tak pernah percaya.
"Ibu pikir, ini yang terbaik untukmu nak ... Andai kamu tahu, hati ibu pun berat saat meninggalkan mu." ujar Misna mencoba menggenggam tangan Alif, yang berada di paha. Akan tetapi, Alif langsung menepisnya.
"Harus kah, aku percaya? Andai ibu tahu, begitu banyak cacian yang aku terima, begitu banyak luka yang aku tanggung, begitu banyak hinaan yang ku telan. Andai ibu tahu, aku menangis menahan rindu, sendirian." adu Alif memukul dadanya. Berharap, setiap luka dan sesak dihatinya menghilang.
"Maafkan ibu, setelan ini. Tinggal lah, bersama ibu." ucap Alif memeluk erat tubuh Alif.
Pas seminggu pasca kepergian Neli, Misna dan keluarga kecilnya, kembali datang ke rumah Neli. Namun, tujuan mereka sekarang, bukan sekedar mengunjungi melainkan menjemput Alif untuk tinggal bersama mereka.
Dengan membawa mobil pickup sewaan, mereka mengangkat barang-barang yang di perlukan Alif.
Beberapa tetangga langsung datang untuk melihat kepergian Alif. Ada beberapa orang yang setuju dengan keputusan Misna. Ada beberapa orang lagi yang mencibir ke Misna, sebab baru datang, saat Neli tak ada.
"Kita singgah ke rumah ibu dulu ya bang, semalam abang meneleponku, memberitahu jika ibu jatuh di kamar mandi." ucap Misna pada Faisal.
Faisal mengangguk setuju, mereka bahkan tak meminta persetujuan Alif yang duduk di belakang sendirian, di temani oleh barang-barang.
Karena di depan, sudah ada Raffa, Misna dan juga bayinya.
Alif turun begitu mobil berhenti, dia bahkan tidak ingat jika rumah besar di depannya ialah rumah nenek dari pihak ibunya.
"Ini, Alif?" tanya abang Misna, yang bernama Jaka.
"Iya," Alif mengulurkan tangannya untuk menyalami Jaka.
"Wah, udah besar kamu ya Lif." ujar Jaka menepuk bahu Alif.
Dulu, tepukan di bahu sangat dirindukan, tapi sekarang semua rasa itu menghilang, dengan kepergian Neli.
Alif hanya tersenyum kikuk, dia gak tahu harus berekspresi seperti apa. Karena dia tidak mengenali lelaki bertubuh jakun di depannya. Karena sepengetahuan Alif, ia hanya mempunyai Nenek, ayah dan ibu saja di dunia ini.
Dan saat orang tuanya pergi, hanya nenek lah, yang menjadi dunianya seorang. Dan, kini dunianya juga ikut menghilang, dan tinggal lah, kegelapan yang dijalaninya.
Sebab, satu-satunya orang yang membawa cahaya telah menyerah melakukan tugasnya.
Alif pun di ajak masuk ke dalam oleh Jaka. Disana, sudah ada tiga anak Jaka, beserta istrinya.
"Bu, lihatlah, siapa yang datang." teriak Jaka, di ikuti oleh Misna, dan anak-anak, karena Faisal memilih merokok lebih dulu, di luar.
Ratna sumringah, kala melihat Raffa yang masuk terlebih dulu ke kamarnya, di bandingkan Misna.
"Wah cucu nenek, kamu jenguk nenek sakit ya?" tanya Ratna dengan mata berbinar. "Makin ganteng aja." pujinya mencubit hidung Raffa gemas.
"Bu," panggil Misna. "Alif ..." lanjutnya, kala Ratna menatap kearah remaja asing, yang ada di rumahnya.
"Alif? Siapa ya?" Ratna pura-pura lupa.
"Alif, salim nenek dulu. Ini, ibunya ibu." perintah Misna, mengelus lengan Alif.
Alif yang semula berdiri diambang pintu bersama Misna melangkah pelan, memasuki kamar Ratna.
Ratna menyungging senyum sinis, kala Alif mengulur tangannya.
"Udah besar ya sekarang." ujar Ratna, dia langsung menarik tangannya, karen tidak sudi tangannya di cium oleh anak pencuri.
"Raffa, kamu menang lomba mewarnai ya? Nanti nenek belikan kamu hadiah ya? Tapi, tunggu kaki nenek sembuh dulu." ujar Ratna sengaja.
Ya, dia sengaja membuat agar Alif merasa cemburu, dan tahu posisi.
"Makasih nenek." ucap Raffa memamerkan giginya.
Karena gemas, kembali Ratna memeluk Raffa.
Alif melihat sikap yang di tujukan Ratna dengan tatapan datar. Tak ada rasa cemburu di hatinya, apalagi, dia yang memang tidak mengingat siapa perempuan tua di depannya. Apalagi perempuan yang diketahui neneknya itu, menunjukkan sikap tak ramah sekali padanya.
"Kamu gak usah heran begitu, Raffa ini memang cucu kesayanganku." cetus Ratna sinis.
"Memang seharusnya begitu kan? Karena aku juga bukan cucumu." perkataan yang hanya sampai di tenggorokan.
"Bu," tegur Misna.
"Kamu, sebesar ini, barang apa aja yang kamu curi?" tanya Ratna, lebih tepatnya mengejek.
Misna langsung memelototi ibunya.