Uang miliaran di rekening. Tanah luas. Tiga ratus pintu kontrakan.
Anjani punya segalanya—kecuali harga diri di mata suaminya dan keluarganya.
Hari ulang tahunnya dilupakan. Status WhatsApp menyakitkan menyambutnya: suaminya disuapi wanita lain. Dan adik iparnya dengan bangga menyebut perempuan itu "calon kakak ipar".
Cukup.
"Aku akan tunjukkan siapa aku sebenarnya. Bukan demi mereka. Tapi demi harga diriku sendiri."
Dan saat semua rahasia terbongkar, siapa yang akan menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 20
Riki memegang pelipisnya. Di layar laptopnya tertera angka-angka yang membuat kepalanya berdenyut.
Sewa hotel: 20 juta.
Gaun pengantin: 10 juta.
Mas kawin: 30 juta.
Katering: 20 juta.
Dekorasi: 10 juta.
MUA: 10 juta.
“Hampir seratus juta,” gumam Riki pelan. “Padahal waktu nikah sama Anjani dulu, paling keluar sepuluh juta, itu juga sebagian buat ongkos ke Lampung.”
“Kenapa bro, kayaknya klusut banget mukanya?” tanya Tedi sambil menepuk bahu Riki.
“Kenapa ya biaya nikah mahal banget?” keluh Riki.
Tedi mengangkat alis. “Yaelah, kalau nggak mampu ya jangan maksain, bro. Lagi pula, adik lu kan masih semester satu, kenapa buru-buru nikah sih? Selesaikan kuliah dulu.”
“Yang mau nikah tuh gua, bukan adik gua,” jawab Riki pelan.
Tedi berdiri, lalu menghela napas panjang. “Riki… baru juga naik jabatan dikit, udah mau poligami? Emang lu udah bahagiain Anjani?”
“Dia yang gugat cerai gue, bro,” sahut Riki.
Tedi terlihat kecewa. “Sayang banget. Padahal gue liat, lu maju itu ya karena nikah sama dia.”
“Ibu gue nggak suka sama Anjani,” jawab Riki datar.
Tedi mengangguk pelan. “Yaudah, itu hak lu sih... Tapi…”
“Bro, lu punya uang seratus juta nggak?” tanya Riki tiba-tiba.
Tedi melotot. “Punya, tapi harus gadai sertifikat rumah sama BPKB. Emang buat apa?”
“Buat biaya nikahan gue.”
Tedi mendengus keras. “Ya ampun, gue kira buat usaha atau investasi. Ternyata buat pesta. Maaf bro, gue nggak bisa bantu. Saran gue, pikir ulang sebelum lu jalan lebih jauh.”
“Tapi gue kan kepala cabang. Masa nikahnya sederhana?” bela Riki.
“Lu tau Mark Zuckerberg sama Priscilla Chan?”
“Tau lah. Tapi itu nggak nyambung.”
“Nyambung banget. Mereka nikah cuma di halaman belakang rumah, undang seratus orang. Padahal dia miliarder. Nggak pakai pesta gede, tapi langgeng sampai sekarang. Orang kaya beneran nggak perlu pengakuan. Orang terhormat nggak butuh disanjung. Lu tuh lagi pengin kelihatan sukses, padahal hari ini aja lu pusing nyari dana. Menikahlah sesuai kemampuan, bukan sesuai ego.”
Riki diam. Wajahnya bingung.
“Lu pikir resepsi itu akhir? Bukan. Itu baru awal rumah tangga. Kalau sekarang aja udah megap-megap, gimana nanti?” lanjut Tedi.
Riki terdiam. Tak ada bantahan.
Sekitar jam sebelas, Tedi keluar dari ruangan Riki. Beberapa menit kemudian, pintu diketuk dan Dodi masuk sambil membawa dua gelas kopi.
“Bro, kenapa lu keliatan kusut banget? Lagi butuh duit ya?” tanya Dodi sambil duduk di depan Riki.
“Iya, pusing banget gue. Gue mau nikah lagi, tapi duit cuma ada 20 juta. Padahal, gue hitung-hitung, total biaya nikah bisa sampai 100 juta,” ucap Riki sambil menunjuk deretan angka di layar laptop.
Dodi mendecak. “Astaga, Ki… Riki… Kepala cabang kok nikah cuma habis 100 juta? Itu mah paling nikah di hotel bintang dua atau tiga, ya?”
“Ya gimana lagi, bro. Duit gue segitu doang,” keluh Riki.
“Lu itu kepala cabang. Gak pantes nikah sederhana. Bisa rusak citra lu. Nanti dicemooh kepala cabang lain. Lu harus bikin pesta mewah, minimal habis 500 juta lah,” kata Dodi penuh keyakinan.
“Gue juga pengennya gitu, tapi lu tahu sendiri gue masih nanggung bokap nyokap, adik gue kuliah, belum lagi cicilan mobil,” ujar Riki lesu.
Dodi bersandar santai. “Lu kepala cabang, bro. Lu itu yang nentuin suplier mana yang bisa masuk atau enggak ke cabang lu.”
“Maksud lu?” tanya Riki curiga.
“Ya main lah dikit. Lu bakal ngelola anggaran besar. Lu ambil aja dulu buat nikahan. Nanti tinggal atur,” bisik Dodi.
“Lah, terus gantinya gimana?”
“Mainin suplier. Mereka harus bayar fee dulu biar bisa kerja sama. Dari situ lu nutupin. Simple kan?”
Riki menggeleng. “Ah, gue takut dipecat, bro. Lagian itu nggak bener.”
“Alah, jangan sok suci deh. Otak lu tuh dipake. Masa bos-bos enak-enak aja, kita yang kerja keras dapet sisa?” ucap Dodi dengan nada meremehkan.
“Tapi gue belum resmi jadi kepala cabang.”
“Udah ditetapkan. Tinggal nunggu penempatan. Minggu depan anggaran juga bakal cair,” jelas Dodi.
“Dari mana lu tahu?” tanya Riki curiga.
“Gue ini staf keuangan, bro. Semua data lewat meja gue. Tapi inget ya, kalau lu mau ikutin pola gue, kasih fee ke gue juga. Fair, kan?” ujar Dodi sambil tersenyum licik.
“Lu gak takut ketahuan?”
“Nggak lah. Gue udah lama main kayak gini dan aman-aman aja. Kalau kita gak korupsi, kapan kayanya, bro?”
Riki termenung. Pikirannya bercabang. Antara keinginan buat menikah mewah dan prinsip yang selama ini ia pegang.
“Ya udahlah, nanti gue pikirin dulu, bro,” jawab Riki pelan.
....
Sementara itu, di Bandara Raden Intan II, Anjani baru saja menjejakkan kakinya di tanah kelahirannya. Ia mencoba menelepon abangnya, Reno, tapi panggilannya tidak dijawab.
“Mana sih Bang Reno…” gumamnya kesal. Rina baru datang nanti sore bersama rombongan kementerian. Anjani memang sengaja datang lebih awal untuk bertemu abang tercinta.
Tiba-tiba…
“Anjaniiiii!” terdengar suara teriakan dari kejauhan.
Anjani menoleh cepat. Matanya menyipit, mencoba mengenali sosok lelaki yang berlari ke arahnya seperti adegan sinetron FTV.
“Rizki?” gumamnya, antara syok dan bingung.
Rizki sampai di hadapannya, napasnya ngos-ngosan tapi senyumnya tetap ceria. “Kamu nanya kenapa aku di sini?”
“Ya iyalah! Kenapa kamu di sini?” tanya Anjani, curiga.
“Abang kamu yang nyuruh aku jemput kamu.”
Anjani mengerutkan kening. “Kenapa juga dia percaya sama lelaki pecicilan kayak kamu?”
Rizki memasang wajah sedih dramatis. “Astaga, Anjani… aku ini sudah punya anak. Masa aku masih pecicilan?”
Anjani menghela napas kasar. “Ya sudah lah… ayo kita ke rumah.”
“Alhamdulillah!” seru Rizki senang.
“Kenapa?” Anjani memelototinya.
“Akhirnya aku dan kamu… jadi kita,” ucap Rizki sambil tertawa geli.
Anjani memonyongkan bibir. “Barusan bilangnya gak pecicilan lagi.”
“Eh, udah nih... awan makin gelap. Mau hujan. Cepet!” kata Rizki sambil menarik koper Anjani.
Belum sempat mereka masuk mobil, hujan langsung turun deras. Rizki buru-buru buka jaketnya dan menggunakannya sebagai pelindung kepala Anjani. Ia sendiri basah kuyup.
“Jangan so manis, nunggu reda aja,” protes Anjani sambil menoleh ke belakang.
“Gak bisa, sekarang ada peraturan baru. Parkir bandara gak boleh kelamaan,” elak Rizki.
Anjani memperhatikan wajah Rizki. Lagi-lagi bohong batinnya. Tapi melihat hujan makin deras, dia menyerah. Ia pun ikut berlari menuju mobil.
Sesampainya di mobil, Anjani berusaha membuka pintu belakang. Tapi… klik!… terkunci.
“Loh, kok gak bisa dibuka?”
“Pintunya lagi rusak,” jawab Rizki enteng.
Anjani menatap tajam ke arah Rizki. “Mobil baru kok pintunya rusak?”
Rizki masih dengan senyum sok polosnya. “Sepertinya harus komplain ke dealernya, ya.”
Anjani mendecak, tapi akhirnya masuk juga ke kursi depan. Rizki tampak puas.
Mobil melaju pelan, dan suasana di dalam cukup hening. Sampai akhirnya Rizki nyeletuk, “Duduk depan bareng kamu gini… rasanya kayak pacaran lagi.”
Anjani melirik tajam. “Siapa yang pacaran?”
“Eh, belum ya? Oke… PDKT dulu deh, insya Allah barokah.”
Anjani hanya menatap ke luar jendela, tapi ujung bibirnya tertarik sedikit. Meski menyebalkan, Rizki tetap saja bikin hatinya hangat—seperti teh panas di tengah hujan.
“Kenapa kamu di sini? Bukan kah perusahaan kamu ada di Jakarta?” tanya Anjani sambil menatap Rizki dengan heran.
“Perusahaanku sudah aku serahkan ke mantan istriku,” jawab Rizki santai.
“Demi anakmu, ya?” tebak Anjani.
“Iya. Aku gak bisa jauh dari anakku. Jadi aku pilih anakku, walau harus kehilangan perusahaan,” ucap Rizki sambil tersenyum ringan.
Anjani terdiam sejenak. “Jadi sekarang kamu tinggal di sini?”
“Ya iyalah... Siapa lagi yang mau nolong pengusaha kere kaya aku kalau bukan kakak kamu,” jawab Rizki sambil tertawa kecil.
Anjani memandang Rizki dengan bingung. “Kok kamu bisa biasa aja sih? Kamu kan kehilangan perusahaanmu.”
Rizki menoleh dan mengangkat bahu. “Ya gimana? Hidup cuma sekali, Jan. Kalau terlalu sayang sama harta, bisa gila. Lagian, masih ada kamu… Eh maksudku, masih ada keluarga.”
pilih siapa yaa.. ikutan bingung 😆😆
Si Riki sama Ibunya biar nyaho.. wanita yg di elu-elu kan taunya adalah simpenen bapak/suami mereka 😜😜😜😆
Lanjuuttt kakakkkk....
Ditunggu kehancuran mantan suami Anjani...