Sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari leon—kesehatan, kepercayaan diri, bahkan wanita yang dicintainya. Dulu ia adalah CEO muda paling bersinar di kotanya. Kini, ia hanya pria lumpuh yang terkurung dalam kamar, membiarkan amarah dan kesepian melumpuhkan jiwanya.
Satu demi satu perawat angkat kaki, tak sanggup menghadapi sikap Leon yang dingin, sinis, dan mudah meledak. Hingga muncullah seorang gadis muda, seorang suster baru yang lemah lembut namun penuh keteguhan hati.
Ia datang bukan hanya membawa perawatan medis, tapi juga ketulusan dan harapan.
Mampukah ia menembus dinding hati Leon yang membeku?
Atau justru akan pergi seperti yang lain, meninggalkan pria itu semakin tenggelam dalam luka dan kehilangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Membelikan Baju
Setelah cukup lama menikmati udara pagi di taman, Leon mulai merasa ingin melihat lebih banyak. Ia menoleh pada Nayla yang berdiri di samping kursi rodanya, lalu berkata dengan nada tenang, “Ayo, dorong aku berkeliling… Aku ingin lihat-lihat sekitar rumah.”
“Baik, Tuan,” jawab Nayla cepat sambil tersenyum, senang melihat antusiasme kecil dari Leon.
Dengan hati-hati, Nayla mendorong kursi roda itu menelusuri jalan setapak yang mengelilingi taman. Di sepanjang perjalanan, matanya terus terpukau. Rumah itu bukan hanya besar dan megah, tetapi juga sangat tertata rapi. Selain taman yang dipenuhi bunga-bunga indah, terdapat sebuah pondok kecil yang dikelilingi tanaman rambat, tampak nyaman untuk bersantai di sore hari. Tak jauh dari situ, sebuah kolam renang berkilau diterpa cahaya matahari pagi.
“Sungguh rumah yang indah…” gumam Nayla dengan kagum. “Semua terlihat begitu terawat.”
Leon hanya menanggapi dengan anggukan pelan, namun ada sedikit senyum yang muncul di sudut bibirnya. Ia tahu, Mama yang mengatur semuanya. Rumah itu mungkin terlalu sepi sejak ia menutup diri, tetapi kini kehadiran Nayla perlahan membawa kehidupan kembali ke dalam dinding rumah yang sunyi itu.
Setelah puas berkeliling, mereka kembali masuk ke dalam rumah. Di ruang makan, Nyonya Gaby sudah bersiap untuk berangkat ke kantor. Namun sebelum pergi, ia mengajak mereka untuk sarapan bersama.
“Leon, Nayla… ayo sarapan dulu sebelum Mama berangkat,” ajak Nyonya Gaby sambil tersenyum ramah.
Mereka bertiga pun duduk di meja makan. Sarapan pagi itu terasa lebih hangat dari biasanya. Tidak ada percakapan serius, hanya obrolan ringan tentang cuaca, taman, dan makanan kesukaan Leon saat masih kecil. Namun perlahan, Nyonya Gaby mulai membuka pembicaraan yang sebenarnya sudah lama ingin ia sampaikan.
Dengan hati-hati, ia menatap Leon dan berkata, “Leon… Mama tahu kamu masih butuh waktu. Tapi kalau suatu hari kamu merasa siap… Mama harap kamu bisa mempertimbangkan untuk kembali ke kantor.”
Leon menoleh perlahan, matanya menatap ibunya tanpa banyak ekspresi.
“Mama tidak akan memaksa,” lanjutnya. “Mama masih sanggup mengurus Mahendra Corp. Tapi perusahaan itu seharusnya menjadi tanggung jawabmu. Dan Mama tahu, kamu mampu. Kamu hanya perlu percaya diri lagi.”
Ia menghela napas pelan sebelum melanjutkan, “Rafa akan tetap menjadi asistenmu. Mama pun akan terus membantu. Tapi jangan biarkan orang-orang yang tidak suka padamu menganggap kamu kalah hanya karena keadaanmu sekarang. Kamu masih Leon Mahendra.”
Kata-kata itu menggema dalam hati Leon. Namun ia tidak langsung merespons. Ia hanya menunduk, menyendiri dalam pikirannya. Luka batinnya masih belum benar-benar sembuh.
Nayla yang duduk di sebelahnya hanya diam. Dalam hati, ia setuju dengan ucapan Nyonya Gaby. Ia berharap Leon bisa bangkit. Pria itu terlalu berharga untuk menyerah.
Setelah sarapan selesai, Leon meminta untuk dibawa kembali ke kamarnya. “Aku mau ke ruang kerja,” katanya pelan.
Nayla mengangguk dan segera membantunya. Sebelum itu, ia terlebih dahulu memberikan obat sesuai jadwal. Biasanya, Leon akan menolak atau mengeluh. Tapi pagi itu berbeda. Tanpa banyak bicara, Leon langsung mengambil obat dari tangan Nayla dan meminumnya.
“Terima kasih,” ucap Leon singkat, membuat Nayla sedikit terkejut.
Setelah mengantarnya ke ruang kerja yang ada di dalam kamar, Nayla tetap menunggui di sana. Leon sibuk memeriksa berkas-berkas yang sempat terbengkalai. Beberapa kali ia menatap layar laptop dan tampak berpikir keras.
Nayla ingin sekali menyampaikan pesan Nyonya Gaby—ingin mengatakan bahwa masih ada banyak orang yang percaya padanya dan berharap ia kembali ke kantor. Namun ia ragu. Nayla takut, kata-katanya akan menyentuh luka Leon yang belum sembuh, atau malah membuat pria itu merasa tertekan.
Akhirnya, ia hanya diam. Menemani tanpa kata.
Beberapa jam kemudian, Leon menutup laptopnya dan menghela napas berat. “Aku ingin istirahat,” katanya pelan.
“Baik, Tuan,” jawab Nayla cepat sambil membantu Leon keluar dari ruang kerja dan membaringkannya di tempat tidur.
Setelah posisi Leon terasa nyaman, ia menoleh pada Nayla. “Kamu boleh keluar sekarang,” ujarnya tenang.
Nayla menunduk sopan. “Baik, Tuan.”
Ia lalu melangkah keluar dari kamar, menuju lantai bawah untuk membantu Bibi Eli di dapur.
Sementara itu, Leon menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang tak menentu. Kata-kata mamanya terus terngiang di kepalanya. Ia tahu, ibunya tidak salah. Tapi rasa takut, kecewa, dan trauma masih terlalu kuat menghimpit hatinya.
Namun tiba-tiba pikirannya teralih ke satu hal lain—sosok Nayla yang mengenakan seragam perawat yang membuatnya tidak suka.
Tanpa pikir panjang, Leon mengambil ponselnya dan menekan nomor yang sudah sangat dikenalnya.
“Rafa,” katanya begitu sambungan tersambung.
“Ya, Tuan Leon?"
"Carikan aku baju harian wanita." Perintah Leon dengan suara tegas.
Setelah menerima perintah dari Leon untuk membeli pakaian harian wanita, Rafa terdiam sesaat dengan wajah yang tampak kebingungan. Ia memandangi layar ponselnya yang kini sudah gelap setelah panggilan berakhir. Permintaan itu terdengar sederhana, tapi bagi Rafa yang sudah cukup lama menjadi tangan kanan Leon, ia tahu betul kini tuannya sedang dalam suasana hati yang sangat sensitif. Salah bicara sedikit saja bisa membuat moodnya langsung berubah.
“Aduh... baju harian wanita? Untuk siapa? Masa iya untuk Nyonya Gaby?” Rafa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Tapi... kalau salah nebak, Tuan Leon bisa marah besar.”
Rafa tidak berani bertanya lebih jauh saat tadi di telepon. Nada suara Leon saat itu tidak bisa ditawar—tegas dan penuh tekanan. Bertanya lebih dari satu kalimat saja sudah cukup membuat Leon membentaknya. Maka, Rafa hanya bisa menerima perintah itu tanpa kejelasan dan memutar otak mencari jawabannya sendiri.
Beberapa detik kemudian, Rafa menghela napas panjang dan sebuah ide terlintas di kepalanya.
“Ah, kenapa aku nggak langsung tanya ke Bibi Eli saja? Beliau pasti tahu siapa wanita yang dimaksud.”
Tanpa membuang waktu, Rafa langsung menekan nomor rumah keluarga Mahesa. Suara dering terdengar beberapa kali sebelum akhirnya tersambung.
“Halo, kediaman Mahesa. Ini Eli berbicara,” suara lembut dan ramah menyapa dari seberang.
“Bibi Eli? Saya Rafa,” sahut Rafa dengan cepat. “Saya ingin bertanya sesuatu yang penting, semoga tidak mengganggu.”
“Oh, Rafa! Tidak mengganggu sama sekali, Nak. Ada apa?” tanya Bibi Eli, masih dengan nada hangat.
“Saya baru saja ditelepon oleh Tuan Leon. Beliau meminta saya untuk membeli pakaian harian wanita. Tapi... beliau tidak menjelaskan untuk siapa,” Rafa menghela napas. “Saya takut salah pilih baju. Jadi saya pikir, lebih baik bertanya pada Bibi.”
Bibi Eli sempat terdiam, tampaknya sedang berpikir. Namun tak lama kemudian, ia mengerti maksud pembicaraan itu dan tertawa kecil.
“Oh, begitu... Sekarang aku paham,” ujarnya pelan. “Pasti itu untuk Nayla.”
“Nayla?” Rafa mengernyit, lalu tersenyum samar. “Saya juga sempat menduga itu... Tapi, bukankah Nayla sudah punya pakaian perawat dari Nyonya Gaby?”
“Iya, memang. Tapi sepertinya Tuan Leon menginginkan Nayla memiliki pakaian pribadi yang lebih nyaman, mungkin untuk digunakan saat tidak sedang bertugas. Lagipula, Nayla sudah beberapa hari di rumah ini dan belum berganti pakaian selain seragam itu, dan pakaian yang dibawanya” jelas Bibi Eli dengan nada pengertian.
“Benar juga, ya... Kalau begitu, Bibi bisa bantu saya kira-kira ukuran dan model baju yang cocok untuk Nayla?” tanya Rafa, merasa lega karena kebingungannya sudah mulai terurai.
“Hmm, Nayla itu bertubuh ramping dan tinggi sedang... Ukuran bajunya mungkin antara S atau M. Tapi pastikan bahannya adem dan modelnya sederhana ya. Dia bukan tipe gadis yang suka gaya mencolok,” jawab Bibi Eli sambil membayangkan sosok Nayla.
“Baik, Bibi. Terima kasih banyak bantuannya. Saya akan carikan setelah pulang dari kantor, dan nanti malam akan saya antar ke rumah.”
“Terima kasih, Rafa. Hati-hati ya di jalan,” ucap Bibi Eli sebelum panggilan berakhir.
Setelah menutup telepon, Rafa tersenyum kecil. Ia bisa melihat bahwa perlahan, sikap dingin Leon mulai berubah. Membelikan pakaian untuk seorang wanita bukan hal yang biasa dilakukan oleh Leon Mahesa, kecuali wanita itu benar-benar berarti baginya.
Sementara itu, di dapur rumah besar keluarga Mahesa, Nayla sedang berdiri di sisi meja dapur, menyingsingkan lengan bajunya dan bersiap membantu Bibi Eli yang tengah menyiapkan makan siang.
“Bibi, aku bantu kupas bawangnya, ya,” ucap Nayla sambil mengambil satu siung bawang dari keranjang.
Namun Bibi Eli segera menghampirinya dan menepuk lembut tangan Nayla.
“Ah, tidak usah, Nak. Kau di sini bukan untuk membantu di dapur. Tugasmu hanya merawat Tuan Leon, itu sudah cukup berat,” ujar Bibi Eli sambil tersenyum lembut.
“Tapi Tuan Leon sedang tidur. Aku tidak enak hanya duduk-duduk saja,” balas Nayla dengan ekspresi sungkan.
“Tidak apa-apa, yang penting kau tetap ada di rumah. Kalau Tuan Leon butuh, kau bisa segera membantu. Lagipula, biar Bibi saja yang urus dapur. Ini sudah pekerjaan Bibi sejak dulu.”
Nayla pun mengangguk pelan. “Kalau begitu... boleh aku temani Bibi saja di sini? Sambil ngobrol?”
“Tentu saja boleh. Teman ngobrol justru menyenangkan” ujar Bibi Eli dengan tawa kecil.
Mereka pun mengobrol ringan, membahas makanan favorit Tuan Leon hingga cerita lucu masa kecilnya yang tidak banyak diketahui orang. Sesekali, Nayla tersenyum mendengar kisah Leon yang dahulu ternyata cukup bandel dan penuh akal.
Setelah beberapa waktu, Nayla melirik jam dinding. Ia bangkit dari duduknya.
“Bibi, aku ke atas dulu ya. Siapa tahu Tuan Leon sudah bangun,” katanya sopan.
“Silakan, Nak. Tapi pelan-pelan ya naik tangganya,” pesan Bibi Eli sambil melanjutkan kegiatannya memotong sayuran.
Nayla pun melangkah pergi menuju lantai atas dengan langkah ringan. Senyumnya masih tersisa karena percakapan hangat barusan.
Namun, tanpa mereka sadari, di balik pintu ruangan belakang, sepasang mata memperhatikan mereka dalam diam. Tatapan itu tajam, penuh ketidaksukaan. Ada hawa dingin dan ketegangan yang mengendap dalam tatapan tersebut—seolah menyimpan rencana yang belum terungkap.
Seseorang merasa terganggu dengan keberadaan Nayla di rumah itu.
Dan dalam keheningan itu, sebuah niat buruk mulai tumbuh perlahan.