Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2: JERUJI BESI
#
Tiga bulan.
Sembilan puluh hari.
Dua ribu seratus enam puluh jam.
Elang sudah berhenti menghitung setelah minggu ketiga, ketika ia menyadari bahwa waktu di penjara tidak bergerak seperti waktu di luar. Waktu di sini kental seperti tar, melekat di kulit, menyusup ke pori-pori, mengubah setiap detik menjadi siksaan yang terpisah dan unik.
Sel 12B—dua setengah meter kali tiga meter—lebih kecil dari kamar mandi apartemen mewahnya dulu. Langit-langit beton berlumut dengan rembesan air yang membentuk peta imajiner negara-negara yang tidak pernah ada. Elang sudah hafal setiap garis, setiap bercak. Ada yang seperti wajah tertawa—atau mungkin menangis, tergantung sudut pandang. Ada yang seperti tangan terulur, meminta tolong atau menawarkan pertolongan, ia tidak pernah yakin.
Kasur tipis di bawahnya keras seperti lantai. Selimut usang berbau apek dan keringat orang lain—berapa banyak narapidana yang pernah tidur di sini sebelum dia? Berapa banyak mimpi yang mati di tempat ini? Berapa banyak jiwa yang patah dan tidak pernah utuh lagi?
Di pojok sel, ember plastik biru untuk buang air. Tidak ada privasi. Tidak ada martabat. Hanya eksistensi telanjang yang dilepas dari segala hal yang dulu membuat Elang merasa ia adalah seseorang.
Sidang pertama: kalah. Pengacara yang disewa—yang katanya terbaik—ternyata hanya boneka. Jaksa membawa saksi-saksi yang Elang tidak pernah kenal tapi bersumpah melihatnya menandatangani dokumen ilegal. Hakim mengetuk palu dengan wajah jijik, seolah Elang adalah sampah masyarakat yang harus dibuang.
Sidang kedua: kalah. Bukti baru muncul. Rekaman CCTV yang entah bagaimana menunjukkan Elang keluar dari bank di Singapura—bank yang tidak pernah ia kunjungi. "Teknologi deepfake," teriak pengacaranya. "Ini manipulasi!" Tapi tidak ada yang peduli. Atau mungkin, semua orang sudah dibayar untuk tidak peduli.
Sidang ketiga: kalah. Elang bahkan tidak hadir secara mental. Ia duduk di kursi terdakwa seperti patung lilin, mendengar kata-kata "korupsi," "pengkhianatan," "kejahatan terhadap negara" dilemparkan seperti batu. Setiap kata meninggalkan memar yang tidak terlihat tapi terasa di setiap sel tubuhnya.
Vonis: 7 tahun penjara.
Tujuh tahun. Angka yang sama dengan waktu yang ia butuhkan untuk membangun Garuda Investama. Semesta memiliki selera humor yang sadis.
Sekarang, pagi hari di minggu ketigabelas, Elang terbaring di kasur tipis itu, menatap langit-langit berjamur dengan mata kosong. Ia sudah tidak menangis lagi. Air mata habis di minggu pertama. Yang tersisa hanya kehampaan—lubang hitam di dada yang menyedot semua emosi, semua harapan, semua keinginan untuk terus bernapas.
Brian dan Zara. Nama-nama itu berputar di kepalanya seperti mantra kutukan. Bagaimana mereka sekarang? Apakah mereka tidur nyenyak di apartemen yang dulu ia beli untuk Zara? Apakah mereka tertawa sambil minum wine di balkon, merayakan kemenangan mereka? Apakah mereka bercinta di ranjang yang masih menyimpan aroma parfum Elang?
Ia ingin membenci mereka. Ia ingin merasakan amarah yang membakar. Tapi yang ia rasakan hanya... hampa. Seperti bagian penting dari jiwanya telah dicabut dan tidak akan pernah kembali.
"Loe mau mati begini?"
Suara itu memecah kesunyian sel. Berat, serak, tapi ada ketegasan di sana yang membuat Elang secara instingtif menoleh.
Seorang pria berdiri di depan jeruji sel. Umur lima puluhan, mungkin lebih tua—sulit menebak karena penjara mengubah wajah manusia lebih cepat dari waktu. Rambut putih tipis disisir rapi ke belakang. Jenggot pendek yang terawat—langka di tempat ini. Tapi yang paling mencolok adalah matanya: tajam, jernih, mata yang pernah melihat banyak hal dan belajar dari semuanya. Mata yang tidak mati meskipun tubuhnya terkurung.
Elang tidak menjawab. Ia kembali menatap langit-langit.
"Farrel Atmaja," pria itu melanjutkan, tidak terpengaruh oleh ketidakacuhan Elang. "Loe mungkin nggak kenal gue. Tapi gue kenal loe. Elang Alghifari. CEO muda yang terpuruk. Anak emas yang sayapnya dipatahkan."
"Pergi," suara Elang parau karena jarang digunakan. "Gue nggak butuh penonton."
Farrel tersenyum tipis—senyum yang membuat keriput di sekitar matanya semakin dalam. "Gue bukan penonton. Gue orang yang pernah duduk persis di tempat loe tidur sekarang. Lima belas tahun lalu."
Itu membuat Elang menoleh. "Lima belas tahun?"
"Pengusaha properti. Punya dua puluh proyek. Kantor di Sudirman. Rumah di Menteng. Istri cantik. Dua anak masih kecil." Farrel mendekati jeruji, tangannya memegang besi berkarat itu dengan familiar. "Sampai mitra bisnis gue—sahabat gue sejak kuliah—memalsukan tanda tangan gue untuk pinjaman 300 miliar. Bank kolaps. Gue dijebak. Gue dipenjara. Istri gue cerai, bawa anak-anak. Gue kehilangan semuanya."
Setiap kata itu menggema di sel sempit. Elang bangkit perlahan, duduk di pinggir kasur. Untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, ada sesuatu di matanya selain kekosongan. Pengenalan. Seperti melihat bayangan diri sendiri di cermin waktu.
"Loe... dijebak?"
"Sama persis kayak loe." Farrel mengangguk. "Bedanya, gue butuh tiga tahun untuk sadar. Loe baru tiga bulan. Loe masih bisa diselamatkan."
"Diselamatkan?" Elang tertawa pahit—suara yang lebih mirip erangan. "Dari apa? Vonis udah jatuh. Gue kalah di semua sidang. Nama gue udah hancur. Perusahaan gue diambil alih. Orang yang gue cintai—" Suaranya patah. "Gue nggak punya apa-apa lagi."
"Loe punya nyawa."
"Buat apa?"
"Buat keadilan." Farrel menatapnya dengan intensitas yang membuat Elang tidak bisa mengalihkan pandangan. "Atau kalau loe lebih jujur sama diri sendiri: buat dendam."
Kata itu—dendam—menggantung di udara seperti asap tebal. Elang merasakannya mengendap di lidah, pahit tapi entah kenapa... menggugah selera.
"Gue nggak..."
"Bohong kalau loe bilang nggak pengen balas." Farrel memotong dengan tajam. "Setiap malam loe pasti bayangin wajah mereka. Setiap kali loe tutup mata, loe lihat Brian sama Zara ketawa sambil nginjak-nginjak kehidupan loe. Loe pengen mereka menderita. Loe pengen mereka merasakan apa yang loe rasakan. Gue tau. Karena gue juga pernah di situ."
Elang diam. Tidak menyangkal karena tidak bisa. Karena setiap kata Farrel adalah kebenaran telanjang yang ia coba kubur tapi terus menggali jalan keluar.
"Tapi gue nggak punya cara," akhirnya Elang berbisik. "Gue di sini. Mereka di luar sana. Mereka menang. Gue kalah. Itu fakta."
"Fakta sekarang," Farrel mengoreksi. "Bukan fakta selamanya. Loe kira gue bertahan lima belas tahun di sini buat apa? Buat numbuh-numbuhian kayak loe? Nggak. Gue bertahan karena gue tau suatu hari, gue akan keluar. Dan ketika gue keluar, gue akan punya alat untuk menghancurkan orang yang menghancurkan gue."
"Alat?"
"Pengetahuan. Strategi. Kesabaran." Farrel tersenyum—kali ini lebih lebar, tapi tetap tidak hangat. Senyum predator yang belajar berburu lebih baik. "Penjara ini neraka, tapi juga sekolah terbaik kalau loe tau cara belajar. Di sini ada mantan banker, mantan pengacara, mantan psikolog, mantan hacker. Semua orang punya keahlian. Semua orang punya cerita. Loe tinggal dengerin, belajar, dan bersiap."
Elang mencerna kata-kata itu perlahan. Otaknya—yang sudah tiga bulan berkabut—mulai berdetak lagi. Perlahan. Seperti mesin tua yang dihidupkan kembali setelah lama terbengkalai.
"Kenapa... kenapa loe cerita ini ke gue?"
Farrel menatapnya lama sebelum menjawab. "Karena gue lihat sesuatu di loe. Api yang belum mati. Cuma butuh oksigen buat menyala lagi. Dan karena..." Ia berhenti sejenak. "Karena gue nggak mau loe ngalamin tiga tahun sia-sia kayak gue dulu. Waktu itu gue sendirian. Tapi loe nggak harus sendirian."
Dua hari kemudian, Farrel datang lagi. Kali ini membawa papan catur kayu tua dengan beberapa bidak yang hilang, diganti dengan potongan sabun yang diukir kasar.
"Catur?" Elang menatap papan itu dengan skeptis. Ia duduk di lantai sel karena Farrel entah bagaimana mendapat izin masuk—hal yang Elang tidak mengerti tapi tidak mempertanyakan.
"Catur adalah metafora hidup," Farrel mulai menyusun bidak. "Raja, ratu, benteng, kuda, pion. Semua punya peran. Tapi yang paling penting bukan bidak terkuat. Yang paling penting adalah strategi."
Mereka mulai bermain. Elang kalah dalam sepuluh langkah.
"Loe terlalu agresif," Farrel menunjuk. "Loe langsung serang. Itu sebabnya loe kalah di luar sana juga. Loe terlalu percaya, terlalu cepat, terlalu naif."
Elang mengepalkan tangan. Kuku menggali telapak tangan sampai sakit. "Gue percaya sama orang yang gue anggap keluarga."
"Itulah kesalahan loe." Farrel menyusun ulang bidak. "Keluarga bukan yang punya darah sama. Keluarga adalah yang tetap berdiri di samping loe saat semua orang lari. Dan dari cerita loe, Brian dan Zara lari paling cepat—bahkan sebelum masalah beneran datang."
"Mereka... mereka yang bikin masalahnya."
"Exactly." Farrel mengetuk papan catur. "Loe pikir mereka tiba-tiba bangun suatu pagi dan putuskan mau ngerusak loe? Nggak. Ini direncanakan. Dokumen palsu, saksi palsu, rekaman palsu—itu semua butuh waktu. Mungkin berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Artinya, selama loe percaya mereka, selama loe ketawa bareng mereka, selama loe berbagi mimpi sama mereka... mereka udah ngerencanain kejatuhan loe."
Kata-kata itu membeku di udara. Elang merasakan sesuatu yang dingin mengalir di pembuluh darahnya. Bukan kemarahan. Belum. Tapi semacam kesadaran pahit yang lebih dalam dari kemarahan.
"Gue... gue mau mereka menderita." Suara Elang pelan tapi ada getaran di sana—getaran pertama kehidupan setelah tiga bulan mati.
"Tentu loe mau." Farrel tersenyum tipis. "Tapi dendam yang didasari emosi adalah dendam yang gagal. Loe akan gegabah, loe akan ketahuan, loe akan hancur lagi. Dendam itu seni, bukan emosi. Loe harus dingin. Loe harus sabar. Loe harus jadi orang yang mereka nggak akan sadari sampai terlambat."
"Caranya?"
"Belajar." Farrel menggerakkan pion. "Belajar membaca manusia. Belajar mengendalikan emosi loe. Belajar merencanakan sepuluh langkah ke depan. Di sini, di penjara ini, loe punya waktu. Gunakan."
Dan Elang mulai belajar.
Setiap hari, setelah jam kerja paksa di bengkel penjara, Farrel datang. Kadang membawa catur. Kadang membawa buku usang tentang psikologi, strategi bisnis, bahkan Sun Tzu's Art of War yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan kualitas buruk.
"Kenali musuh loe," Farrel mengajar sambil mereka duduk di sudut lapangan olahraga, jauh dari telinga lain. "Brian itu tipe apa? Ambisius? Serakah? Atau takut?"
Elang berpikir keras. Menggali memori yang menyakitkan. "Ambisius. Dia selalu pengen lebih. Waktu awal-awal Garuda Investama, dia yang paling mendorong ekspansi cepat. Gue yang sering rem karena takut risiko."
"Berarti dia punya kelemahan: kesabaran. Orang ambisius nggak sabar. Mereka mau hasil cepat. Itu celah loe."
"Dan Zara?" Farrel melanjutkan.
Ini lebih sulit. Karena berbicara tentang Zara seperti membuka luka yang belum mengering. "Dia... dia suka status. Suka dilihat. Suka difoto di acara-acara elite."
"Dangkal," Farrel menyimpulkan tanpa empati. "Orang yang hidup dari validasi orang lain itu rapuh. Kalau status mereka runtuh, mereka runtuh total. Itu senjata loe."
Minggu-minggu berlalu. Elang berubah. Wajahnya yang dulu lembut mulai keras. Rahangnya lebih tegas. Matanya—yang dulu hangat dan percaya—kini ada lapisan es tipis di sana. Ia belajar diam, mengamati, mencatat. Setiap narapidana di sekitarnya menjadi studi kasus. Siapa yang bisa dipercaya (sangat sedikit), siapa yang bisa digunakan (banyak), siapa yang harus dihindari (lebih banyak lagi).
Ia belajar bertahan. Tidak hanya secara fisik—meskipun tubuhnya yang dulu atletis dari gym kini menjadi lebih keras dari kerja paksa—tapi juga mental. Ia belajar mematikan emosi ketika perlu, menyalakannya ketika strategis. Ia belajar tersenyum pada orang yang ia benci. Ia belajar berbohong tanpa rasa bersalah.
Ia belajar menjadi predator yang lebih baik dari yang menghancurkannya.
"Loe berubah," Farrel berkomentar suatu sore, setelah Elang mengalahkannya di catur untuk pertama kalinya. "Gue suka."
"Gue jadi orang yang gue benci," Elang menjawab pelan.
"Nggak." Farrel menggeleng. "Loe jadi orang yang bisa bertahan di dunia orang-orang yang loe benci. Itu beda."
Malam itu—malam di minggu keduapuluh—Elang tidak bisa tidur. Bukan karena kasur keras atau suara dengkuran narapidana lain. Tapi karena ada sesuatu yang bergolak di dadanya. Sesuatu yang sudah lama ia hindari.
Ia bangkit. Perlahan. Mengambil air dari ember di pojok—air dingin yang biasa ia pakai untuk wudhu sebelum subuh, meskipun ia tidak pernah benar-benar sholat. Hanya wudhu. Seperti ritual tanpa makna.
Tapi malam ini berbeda.
Ia menggelar selimut usang di lantai beton sebagai sajadah. Berdiri menghadap kiblat—yang mana kiblat, ia tidak yakin, tapi ia mengikuti arah yang biasa dipakai narapidana lain untuk sholat. Mengangkat tangan.
"Allahu Akbar."
Suara itu gemetar. Asing di telinganya sendiri. Berapa lama sejak terakhir ia mengucapkan takbir? Bertahun-tahun. Sejak ibu meninggal, mungkin. Sejak ia memutuskan bahwa Tuhan terlalu sibuk untuk peduli pada anak yatim dari Bekasi.
Ia rukuk. Sujud. Dan di sujud kedua, sesuatu pecah.
Air mata.
Panas. Mengalir deras seperti bendungan yang jebol. Menetes di sajadah—selimut usang yang bau apek—membentuk bercak gelap. Tubuhnya bergetar. Bahu terguncang. Suara isakan tertahan keluar dari tenggorokan, dipaksa pelan agar tidak membangunkan narapidana lain.
"Ya Allah..."
Kata-kata itu keluar seperti terpaksa, seperti sesuatu yang sudah terlalu lama terkubur dan akhirnya meledak.
"Ya Allah... gue nggak tau lagi... gue nggak tau harus kemana... gue nggak tau harus gimana..."
Ia masih sujud. Dahi menempel di kain kasar. Air mata tidak berhenti.
"Mereka... mereka ambil semuanya dari gue. Semuanya. Dan gue... gue pengen balas. Gue pengen mereka menderita. Gue pengen mereka ngerasain apa yang gue rasain. Tapi gue takut... gue takut ini bikin gue jadi monster. Gue takut gue kehilangan diri gue sendiri."
Tidak ada jawaban. Hanya kesunyian sel. Hanya tetesan air dari rembesan langit-langit. Hanya napasnya sendiri yang terengah.
"Beri aku kekuatan... bukan buat balas dendam... tapi buat keadilan. Biar mereka tau... biar semua orang tau... kalau gue nggak bersalah. Kalau gue nggak pantas di sini."
Ia mengangkat kepala. Duduk. Menatap langit-langit berjamur yang sudah ia hafal setiap bercaknya. Tapi malam ini, bercak-bercak itu terlihat berbeda. Tidak lagi seperti peta negara khayal. Tapi seperti... jalan. Jalan yang masih harus ditempuh.
Di dadanya, sesuatu menyala.
Bukan harapan. Bukan juga ketenangan. Tapi api. Api yang berbeda dari yang selama ini Farrel coba nyalakan. Api yang lebih dalam. Lebih tua. Api yang dinyalakan bukan oleh kebencian semata, tapi oleh keyakinan yang ia lupa pernah ia miliki:
Bahwa ia pantas untuk bangkit. Bahwa ia berhak untuk keadilan. Bahwa ia tidak akan mati di sini.
Esok pagi, ketika Farrel datang, ia langsung melihat perubahan di mata Elang.
"Loe udah siap," katanya. Bukan pertanyaan. Pernyataan.
Elang mengangguk. Sekali. Tegas.
"Ajarin gue semuanya. Apa yang loe tau. Apa yang loe pelajari. Gue siap."
Farrel tersenyum—senyum predator yang menemukan murid yang sempurna.
"Sekarang baru mulai, Elang. Sekarang baru mulai."
---
**[Bersambung ke Bab 3]**