Aini adalah seorang istri setia yang harus menerima kenyataan pahit: suaminya, Varo, berselingkuh dengan adik kandungnya sendiri, Cilla. Puncaknya, Aini memergoki Varo dan Cilla sedang menjalin hubungan terlarang di dalam rumahnya.
Rasa sakit Aini semakin dalam ketika ia menyadari bahwa perselingkuhan ini ternyata diketahui dan direstui oleh ibunya, Ibu Dewi.
Dikhianati oleh tiga orang terdekatnya sekaligus, Aini menolak hancur. Ia bertekad bangkit dan menyusun rencana balas dendam untuk menghancurkan mereka yang telah menghancurkan hidupnya.
Saksikan bagaimana Aini membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bollyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 : Kedatangan Tamu Tak di Undang
Aini berjongkok di lantai dapur yang dingin, jari-jarinya dengan hati-hati mengumpulkan pecahan piring putih yang baru saja ia jatuhkan. Setiap kepingan tajam itu terasa menusuk, seolah mewakili serpihan hatinya yang hancur.
Ia menatap pecahan terbesar di tangannya. Pantulan dirinya di permukaan itu buram, seperti masa depannya kini. “Mas… apa yang kamu sembunyikan dariku?” bisiknya lemah.
Tekadnya sudah bulat. Rasa sakit dan marah karena perubahan Varo dan insiden saat ia sakit, kini berubah menjadi keberanian dingin. Ia tidak akan tinggal diam lagi dalam kecurigaan.
Aini membuang semua pecahan piring itu ke tempat sampah, lalu membersihkan lantai dengan kain pel hingga kering. Sambil membereskan kekacauan itu, ia membulatkan niatnya.
“Aku harus mencari tahu, apa yang sebenarnya terjadi sama Mas Varo. Gelagatnya aneh sekali belakangan ini. Apa benar dia sedang bermain api di belakangku? Kalau sampai aku menemukan buktinya, aku tidak akan pernah memaafkan kamu, Mas. Seumur hidup!”
Dia sadar betul, kalau dia memaksakan diri membongkar ponsel Varo sekarang, suasana hatinya akan hancur seharian dan Varo pasti akan semakin curiga saat ia pulang nanti. Lebih baik dia menyelesaikan kewajibannya sebagai istri dulu, menenangkan diri. Dia harus tetap bersikap biasa, agar Varo tidak punya alasan untuk marah atau makin dingin.
Setelah selesai membersihkan dapur, Aini langsung bergegas mandi. Air hangat yang menyiram kepalanya terasa sedikit melegakan, seolah membersihkan sebentar semua kekusutan di kepalanya. Selesai mandi, dia melanjutkan tugasnya mencuci pakaian. Tumpukan baju kotor di keranjang dia masukkan ke mesin cuci.
Sambil menunggu mesin cuci berputar, dia menyambi mengepel lantai rumah. Gerakannya terlihat otomatis, tapi pikirannya sama sekali tidak bisa lepas dari Varo.
"Kenapa sih, dia berubah jadi seperti orang yang baru kukenal? Apa dia pikir aku ini bodoh dan tidak melihat perubahannya?
Setelah cucian selesai, dia buru-buru membawanya ke balkon belakang untuk dijemur. Udara siang sudah mulai terasa panas, namun hembusan angin sepoi-sepoi sedikit menenangkan hatinya. Dia menengadah sebentar ke langit. Rasanya, beban yang dia pikul sebagai ibu rumah tangga sepenuh waktu ini semakin lama semakin berat.
Waktu menunjukkan pukul satu siang, semua pekerjaan rumah sudah selesai. Rumah sudah harum, bersih berkilau, dan terasa sepi. Aini langsung menuju ruang tengah, menjatuhkan diri di sofa empuk kesayangannya. Dia menyalakan televisi, niatnya mau menonton drama televisi sebentar, sekadar untuk menghilangkan rasa penat dan pikiran yang mengganggu.
“Duh, begini terus ya kehidupan aku? Kapan ya, aku bisa santai di luar, minum kopi enak tanpa harus memikirkan cucian, masakan, dan sikap suami yang terus-terusan cuek?” Dia menghela napas, tersenyum getir.
Ternyata kelelahan fisik dan mental membuat Aini benar-benar tertidur pulas di depan televisi.
Aini terkejut dan langsung terbangun karena suara bising klakson mobil di jalanan komplek. Dia buru-buru melihat jam dinding besar. Astaga, sudah pukul 04.00 sore! Cahaya di ruangan sudah mulai berwarna jingga kemerahan karena matahari senja.
“Waduh, bahaya! Mas Varo sebentar lagi akan pulang!”
Aini langsung bangkit dari sofa. Rasa kantuknya hilang seketika, berganti dengan perasaan panik. Dia langsung lari cepat ke dapur, mengeluarkan bahan makanan untuk makan malam. Kali ini dia memasak sup iga sapi dengan sambal terasi yang luar biasa pedas—dia berharap menu 'jagoan' ini bisa meluluhkan hati Varo.
“Kadang ada rasa bosan juga ya, tiap hari kerjaannya berulang-ulang begini. Tapi, mau bagaimana lagi, ini sudah jadi tanggung jawabku sebagai istri,” gumamnya sambil memotong-motong iga. Dia harus tetap bersikap profesional dalam urusan rumah, meskipun di dalam hatinya sedang terasa sangat sakit.
“Akhirnya, selesai juga masakanku!” ucap Aini sambil tersenyum bangga. Aroma sup iga yang lezat langsung menyebar ke seluruh ruangan.
“Aku yakin, pasti Mas Varo suka sekali dengan masakanku yang selalu enak ini,” tambahnya, kemudian menata mangkuk sup dan lauk pauk lainnya ke atas meja makan dengan hati-hati.
Tepat pukul 05.00 sore, suara mesin mobil Varo terdengar berhenti di halaman.
“Assalamualaikum,” suara Varo terdengar samar dan lelah. Dia langsung masuk, membanting dirinya di sofa ruang tengah, sementara tas kerjanya dilempar begitu saja ke lantai kayu.
Aini langsung menyambut.
“Wa’alaikumussalam, Mas. Kamu sudah pulang?” Dia mencium tangan Varo, kemudian mengambil tas kerja dan menggantungkan jasnya.
“Mas mau makan dulu atau mandi dulu?” tanya Aini lembut, berusaha mengabaikan sikap tidak peduli Varo.
Seperti yang sudah-sudah, Varo tidak menjawab pertanyaan Aini sama sekali. Matanya sudah terpaku pada layar ponsel yang digenggamnya erat. Aini pun tidak mau ambil pusing, dia langsung berjongkok dan melepaskan sepatu kerja Varo dengan pelan.
“Ya ampun, Mas. Sepertinya ponsel itu sudah menjadi benda paling penting di dunia buat kamu, ya. Tidak bisa lepas sebentar saja,” Aini mengeluh dalam hati.
Setelah melepaskan sepatu Varo, Aini masuk ke kamar untuk menaruh tas dan sepatu suaminya.
“Drrrttt… Drrrttt…”
Ponsel Aini bergetar nyaring. Telepon dari Ibu Dewi. Aini segera mengangkatnya.
“Ibu?” gumam Aini pelan.
“Halo Aini! Kenapa lama sekali angkat teleponnya! Kamu lagi sibuk apa di rumah?!” Suara Ibu Dewi dari seberang benar-benar keras, membuat Aini terkejut dan harus menjauhkan ponsel dari telinganya.
“Assalamualaikum, Ibu,” jawab Aini, berusaha bicara sehalus mungkin.
“Wa’alaikumussalam!” jawab Ibu Dewi dengan nada ketus.
“Ya ampun, Ibu. Bukannya mengucap salam dengan baik, ini malah seperti ingin marah-marah,” Aini menggerutu dalam hati. Dia sudah punya firasat buruk, pasti ada maksud tertentu.
“Ada apa, Bu, menelpon sore-sore begini?”
“Memangnya tidak boleh Ibu menelpon anak sendiri, hah?!” Ibu Dewi balik marah.
“Bukan begitu, Bu. Tumben saja Ibu menelpon, biasanya juga tidak pernah menelpon hanya untuk menanyakan kabar.”
Aini tahu betul, selama dia menikah, ibunya sangat jarang menelponnya. Paling hanya jika ada kebutuhan mendesak atau urusan penting.
“Nah, benar kan! Perasaan aku kuat. Ini pasti ada maunya. Jangan-jangan minta uang lagi? Padahal baru dua minggu lalu aku kirim,” batin Aini sambil menghela napas.
“Ada hal penting yang ingin Ibu sampaikan padamu, Aini.”
“Oke, aku dengarkan, Bu.”
“Adikmu, Cilla, sebentar lagi akan sampai di rumahmu. Dia akan tinggal di sana selama dia kuliah di Jakarta,” jelas Ibu Dewi tanpa basa-basi.
Aini langsung terkejut. Matanya membulat. “Maksud Ibu, Cilla?!”
“Ya iya lah! Memangnya kamu pikir siapa lagi adikmu selain Cilla!”
“Tapi kenapa Cilla tinggal di sini, Bu? Bukannya dia mau kuliah di Yogyakarta?”
“Dia berubah pikiran. Katanya mau kuliah di Jakarta saja. Lagipula biayanya lebih hemat, kan tidak perlu sewa kamar lagi,” ujar Ibu Dewi dengan nada memaksa.
Aini merasa sangat kesal.
“Tapi kenapa baru bilang sekarang, Bu?! Kenapa tidak bicara dari jauh-jauh hari?”
“Kamu tidak mau membantu adikmu sendiri, Aini?” Ibu Dewi langsung menyerang balik dengan nada marah.
“Bukan begitu, Bu. Maksud Aini, seharusnya Ibu bicara dari awal. Jadi aku bisa meminta izin kepada suamiku dulu. Ini kan rumahnya Mas Varo juga,” jelas Aini.
“Tidak perlu minta izin, Aini! Dia itu adikmu sendiri, bukan orang lain!”
“Iya, aku tahu, Bu. Tapi kan di rumah ini ada suamiku, Mas Varo. Aku harus bicara dulu dengannya. Aku takut Mas Varo tidak mengizinkan!”
Tiba-tiba, Ibu Dewi mengucapkan kalimat yang membuat Aini lemas dan hatinya terasa sakit.
“Suamumu sudah mengizinkan Cilla tinggal di rumah kalian. Minggu lalu Ibu sudah bicara kepada Varo, katanya tidak masalah kalau Cilla mau tinggal di sana.”
“Apa?! Mas Varo sudah tahu?! Kenapa dia sama sekali tidak bilang apa-apa.” Aini merasa sangat terkejut dan sedih dalam batinnya.
“Mas Varo sudah tahu, Bu?! Tapi kenapa dia tidak bilang padaku dulu, ya?” tanya Aini, suaranya tercekat menahan tangis.
“Ya Ibu mana tahu! Yang penting Ibu sudah bicara pada Varo dan dia setuju saja. Lagian, kenapa sih kamu jadi ribet sekali kalau adikmu sendiri tinggal bersamamu?” Ibu Dewi mulai menyalahkan Aini.
“Aku tidak ribet, Bu. Cuma—”
“Sudahlah Aini, Ibu tidak mau dengar! Pokoknya adikmu harus tinggal bersama kalian, itu titah Ibu. Jangan sampai kamu menyuruh dia untuk sewa kamar sendiri! Kamu tega melihat adikmu di kota besar sendirian, hah?!”
Tuttt… tutttt…
Sambungan telepon langsung terputus. Ibu Dewi mematikan teleponnya begitu saja.
“Huuufff…” Aini membuang napasnya dengan kasar dan panjang. Bukan hanya capek berdebat dengan ibunya, tapi hatinya semakin sakit karena Varo sekali lagi menyembunyikan masalah penting darinya. Kenapa dia jadi orang yang suka menyimpan rahasia begitu? Kecurigaan Aini semakin dalam.
Belum sempat Aini menenangkan dirinya dari kekesalan, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang tergesa-gesa dan brutal dari luar.
“Tok tok tok! Assalamu’alaikum, Mbak!”
Suara perempuan muda. Sudah pasti Cilla.
“Ternyata benar-benar sudah sampai. Cepat sekali,” pikir Aini.
Aini sebenarnya tidak keberatan jika Cilla tinggal, selama tujuannya benar-benar untuk kuliah. Tapi dia agak ragu dengan watak adiknya itu. Dulu waktu masih tinggal di kampung, Cilla adalah anak yang suka membuat onar. Sering bolos sekolah, keluar rumah diam-diam di malam hari. Setiap kali Aini ingin mengadu kepada Ibu Dewi, Cilla selalu bisa mencari alasan lain dan malah membuat Aini yang disalahkan Ibu.
“Tok tok tok! Mbak, buka dong pintunya! Kakiku pegal tahu! Dari tadi aku berdiri di sini!” Cilla menggedor pintu makin keras, nadanya terdengar sangat tidak sabar.
“Iya, tunggu sebentar!” Aini pun berjalan cepat menuju pintu dan membukanya.
“Kenapa lama sekali sih, Mbak, buka pintunya! Kakiku sudah pegal banget tahu! Dari tadi aku di sini!” omel Cilla dengan wajah kesal.
“Maaf Dek, Mbak tadi di belakang jadi tidak kedengaran,” jawab Aini, berusaha keras untuk bersabar.
“Nih, tolong bawakan ya, Mbak. Aku capek banget nih, mau istirahat,” kata Cilla, menyerahkan koper besarnya, dan langsung masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam atau menyalami kakaknya. Sama sekali tidak ada rasa hormat.
“Hah, dasar tidak punya sopan santun! Bukannya menyapa dulu, atau salim dulu, ini malah langsung masuk saja seperti rumah sendiri!”
Aini menggerutu dalam hati. Inilah yang membuat Aini tidak suka dengan Cilla sikapnya yang kurang ajar dan tidak tahu tata krama. Beban Aini semakin berat di satu sisi, Varo seperti menyembunyikan rahasia besar darinya, di sisi lain, adiknya yang suka membuat masalah kini muncul di rumah tanpa pemberitahuan. Malam ini benar-benar akan terasa sangat panjang dan penuh tekanan.
Bersambung
****************