Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2: PENOLAKAN YANG MENYAKITKAN**
# **
Ruangan itu sunyi mencekam. Hanya terdengar detik jarum jam dinding yang seolah menghitung sisa keberanian Alara.
Nathan Erlangga berdiri membelakanginya di depan jendela besar. Punggungnya tegap, tangan dimasukkan ke saku celana. Dari siluetnya saja, Alara sudah bisa merasakan aura dingin yang menguar dari pria itu.
"Duduk."
Satu kata. Tanpa basa-basi. Tanpa menatap.
Alara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan tangannya yang gemetar. Ia duduk perlahan di kursi hadapan meja kerja Nathan, punggungnya tegak meski seluruh tubuhnya ingin merosot lemas.
Keheningan menggantung berat. Nathan masih tak bergerak.
Alara memandang punggung pria itu, bingung harus berkata apa. Dalam benaknya, ia sudah menyiapkan ratusan kalimat untuk membujuk, untuk menjelaskan. Tapi kini, semua kata itu terasa kecil dan tak berarti.
"Tuan Erlangga—"
"Kau tahu apa yang paling aku benci?" Nathan akhirnya berbalik. Perlahan. Matanya yang kelam menatap tajam ke arah Alara. "Orang yang datang ke hadapanku karena butuh sesuatu."
Alara tersentak. Tatapan pria itu seperti pisau.
Nathan melangkah mendekati meja, duduk dengan gerakan tenang tapi penuh tekanan. Ia membuka laci, mengeluarkan sebuah dokumen, dan melemparkannya begitu saja ke hadapan Alara.
"Davina Design. Aset 8 miliar, hutang 15 miliar. Kantor dan tanah dijadikan jaminan bank. Tanpa suntikan dana dalam 30 hari, semuanya akan dilelang." Nathan bersandar, menyilangkan tangan di dada. "Dan kau... datang kemari dengan muka memelas itu, berharap aku akan menikahimu demi menyelamatkan bisnis ayahmu yang bangkrut?"
Setiap kata terasa seperti tamparan.
Alara menunduk, tangannya mengepal erat di pangkuan. Dadanya sesak. Ia ingin marah, ingin membela diri, tapi tenggorokannya tercekat.
"Aku..." suaranya serak. "Aku tidak datang untuk memelas. Aku datang karena wasiat ayah saya—"
"Wasiat?" Nathan menyeringai tipis, tapi tidak ada kehangatan di sana. "Kau pikir aku peduli dengan wasiat? Ayahku sudah mati lima tahun lalu. Dan aku sudah lama berhenti peduli dengan mimpi-mimpi romantis orang tua yang suka mengatur hidup anaknya."
Alara mengangkat wajah, menatap Nathan dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Tapi ayah saya... ayah saya baru saja—"
"Meninggal. Aku tahu." Nathan memotong dingin. "Dan aku turut berduka. Tapi berduka tidak berarti aku harus mengorbankan hidupku untuk orang asing."
"Orang asing..." Alara mengulang pelan, suaranya bergetar. Kata itu terasa sangat menyakitkan. "Ya... memang saya hanya orang asing untuk Anda."
"Benar."
Satu kata yang dijatuhkan tanpa ragu.
Hening sejenak. Alara menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak yang hampir pecah. Tapi Nathan tidak selesai.
"Aku tidak butuh istri, Alara Davina." Nama lengkapnya disebutkan dengan nada merendahkan. "Apalagi istri yang terpaksa. Apalagi istri yang menikahiku hanya karena butuh uang."
"SAYA TIDAK BUTUH UANG ANDA!"
Alara berdiri tiba-tiba, kursinya bergeser kasar. Air mata sudah mengalir di pipinya, tapi kali ini ia tidak peduli. Dadanya naik-turun, napasnya memburu.
Nathan terdiam, sedikit terkejut dengan ledakan emosi itu.
"Saya..." Suara Alara bergetar hebat. "Saya tidak datang ke sini untuk mengemis uang Anda. Perusahaan itu... itu bukan cuma soal aset atau hutang. Itu rumah kedua saya. Itu tempat ayah saya menghabiskan seluruh hidupnya. Itu tempat saya tumbuh besar, belajar menggambar, bermimpi..."
Air matanya semakin deras. Ia mengusapnya kasar dengan punggung tangan.
"Saya tahu Anda punya segalanya. Uang, kekuasaan, nama besar. Tapi saya... saya hanya punya itu. Hanya Davina Design. Dan sekarang bahkan itu pun mau diambil dari saya!"
Suaranya meninggi, penuh luka yang tak tertahankan.
Nathan hanya menatapnya diam. Wajahnya tetap datar, tapi ada sesuatu di matanya—sekilas—yang bergetar.
"Jika Anda pikir saya akan berlutut di hadapan Anda, mohon-mohon seperti pengemis... maka Anda salah!" Alara mengambil tasnya dengan gerakan tergesa. "Saya punya harga diri. Dan saya tidak akan menjualnya, bahkan untuk menyelamatkan perusahaan ayah saya."
Ia berbalik, hendak melangkah pergi.
"Tunggu."
Suara Nathan terdengar lebih pelan kali ini.
Alara berhenti di ambang pintu, punggungnya masih menghadap Nathan. Ia tidak berbalik. Tidak sanggup.
"Satu minggu," kata Nathan pelan. "Beri aku waktu satu minggu. Aku akan... pertimbangkan."
Alara menoleh sedikit, air mata masih membasahi pipinya. "Pertimbangkan? Hidup saya bukan proyek bisnis yang bisa Anda 'pertimbangkan', Tuan Erlangga."
"Nathan," koreksinya. "Panggil aku Nathan."
Untuk pertama kalinya, suaranya tidak terdengar dingin. Hanya... lelah.
Alara menatapnya sebentar. Mata mereka bertemu. Dan di sana, di balik tembok es itu, Alara melihat sesuatu yang retak. Sesuatu yang rapuh.
Tapi ia terlalu lelah untuk peduli.
"Satu minggu," bisik Alara. "Setelah itu, saya tidak akan mengganggu Anda lagi."
Ia keluar, menutup pintu perlahan.
Di koridor yang sunyi, kakinya terhuyung. Punggungnya bersandar di dinding, dan akhirnya ia membiarkan tubuhnya merosot. Duduk di lantai marmer dingin itu, Alara memeluk lututnya dan menangis dalam diam.
Ia tidak tahu Nathan masih berdiri di dalam ruangan, menatap pintu yang baru saja ditutup. Tangannya terkepal erat. Rahangnya mengeras.
"Sial," umpatnya pelan.
Karena untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir, Nathan Erlangga merasakan sesuatu.
Dan ia membenci perasaan itu.
---
**HARI ITU, SORE HARINYA**
Alara pulang ke apartemennya dengan mata sembab. Ia bahkan tidak ingat bagaimana perjalanan dari Erlangga Corp ke sini. Semuanya kabur.
Ia melempar tas sembarangan, berjalan ke kamar, dan menatap foto ayahnya di meja nakas.
"Maafkan Alara, Pah..." suaranya parau. "Alara sudah coba. Tapi... tapi dia menolak."
Ponselnya bergetar.
Sebuah pesan masuk dari notaris Pak Hartono:
*"Pemakaman besok pukul 10 pagi. Jangan lupa datang, Nak. Ayahmu pasti ingin kau ada di sana."*
Alara menatap layar itu lama. Lalu ia jatuh terduduk di lantai, memeluk foto ayahnya, dan menangis sampai tidak ada air mata lagi.
Besok ia harus menghadapi kenyataan pahit: mengubur ayahnya, sambil tahu bahwa mimpi terakhir sang ayah—menyelamatkan perusahaan—mungkin tidak akan pernah terwujud.
---
**[BERSAMBUNG KE BAB 3: JANJI DI PEMAKAMAN]**