Raska adalah siswa paling tampan sekaligus pangeran sekolah yang disukai banyak gadis. Tapi bagi Elvara, gadis gendut yang cuek dan hanya fokus belajar, Raska bukan siapa-siapa. Justru karena sikap Elvara itu, teman-teman Raska meledek bahwa “gelar pangeran sekolah” miliknya tidak berarti apa-apa jika masih ada satu siswi yang tidak mengaguminya. Raska terjebak taruhan: ia harus membuat Elvara jatuh hati.
Awalnya semua terasa hanya permainan, sampai perhatian Raska pada Elvara berubah menjadi nyata. Saat Elvara diledek sebagai “putri kodok”, Raska berdiri membelanya.
Namun di malam kelulusan, sebuah insiden yang dipicu adik tiri Raska mengubah segalanya. Raska dan Elvara kehilangan kendali, dan hubungan itu meninggalkan luka yang tidak pernah mereka inginkan.
Bagaimana hubungan mereka setelah malam itu?
Yuk, ikuti ceritanya! Happy reading! 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Taruhan Berkelas
“Bro, si Roy mau taruhan sama lo!” ujar Asep, ngos-ngosan.
“Lo berani gak?” tambah Vicky, ikut panik tanpa alasan jelas.
Raska mendesah, tidak menoleh.
“Taruhan apaan sih? Males gue.”
Langkah kaki terdengar. Perlahan. Gelap.
Roy muncul bersama gerombolannya. Senyum licik, tatapan menusuk.
“Taruhan,” katanya santai, “menaklukkan hati Gasekil.”
Asep dan Vicky langsung saling pandang. Gayus menghela napas seperti habis melihat bom waktu dijatuhkan.
Raska menutup bukunya.
“Gue gak suka taruhan.”
Roy menyeringai.
“Gak suka taruhan, atau takut kalah? Kayak nyokap lo yang—”
PLAK!
Buku di tangan Raska tertutup keras. Ia berdiri. Pelan. Bahaya.
“Jangan bawa-bawa nyokap gue.”
Roy tertawa pendek, puas karena akhirnya pancingannya dimakan.
“Kalau gitu… ayo kita taru—”
“APA YANG KAU PERTARUHKAN?”
Suara Raska memotong udara seperti pisau dingin. Garis rahangnya menegang, matanya gelap… seolah setiap kata bisa berubah jadi pukulan.
Asep, Gayus, dan Vicky sontak saling pandang, wajah mereka pucat.
Taruhan biasa? Mereka masih bisa bercanda.
Tapi taruhan antara dua saudara tiri? Itu udah wilayah berbahaya.
“BROO—”
Asep mencoba bicara, tapi Raska mengangkat tangan.
Satu gerakan. Tegas. Diam. Dan tiga sahabatnya langsung tutup mulut.
Raska bangkit berdiri, tubuhnya tegak, otot rahang menegang. Gayus, Asep, dan Vicky otomatis mundur setengah langkah. Ketegangan di antara dua saudara tiri itu begitu pekat sampai angin pun seperti enggan lewat.
Roy memasukkan tangan ke saku celananya. Gerakan santai. Tatapan meremehkan. Seolah semua ini cuma permainan kecil baginya.
“Oke,” katanya pelan, bibirnya menyeringai. “Kalau lo ngerasa begitu yakin… kita bikin taruhannya berkelas.”
Raska menatapnya tajam, kedua tangan terlipat di dada, menunggu.
Tatapan itu berkata jelas: coba beraninya sampai mana.
Roy mendekat selangkah, suara diturunkan. Cukup keras untuk gengnya mendengar, cukup kecil untuk menusuk harga diri.
“Kalau lo kalah…” Roy mengangkat map itu tinggi-tinggi. “Lo tandatangan surat ini. Lo nyatakan secara legal lo gak akan minta sepeser pun warisan keluarga kita. Termasuk saham, properti, apa pun yang bokap punya. Hidup pakai kemampuan lo sendiri.”
Gayus menelan ludah keras. Suaranya sampai terdengar. Taruhan ini… bukan taruhan receh ala anak SMA. Ini level dewasa. Level keluarga. Level warisan.
Asep spontan melirik Raska, wajahnya memucat setengah. Ada khawatir. Ada takut. Ada rasa “bro, lo yakin nggak salah jalan?”
Sementara itu, Vicky sampai lupa bernapas. Matanya membelalak, wajahnya pucat.
Bukan karena adegannya dramatis…
Tapi karena dia sadar satu hal yang sangat mengerikan:
Kalau Raska gagal, dia bakal kehilangan hak atas harta keluarga.
Dan kalau itu terjadi?
Ya sudah. Masa depan pangeran sekolah itu tamat.
Roy mengangkat dagunya sedikit, senyum licik mengembang.
“Kalau lo menang,” ujarnya pelan namun jelas, “gue yang tanda tangan. Surat yang sama. Semua hak waris gue lepas. Semua."
Ia tersenyum miring, seperti predator yang sudah menghitung langkah mangsanya.
“Gue mundur dari rebutan warisan. Gak ikut campur urusan keluarga lagi.”
Roy mendekat setengah langkah.
“Gimana? Berani?”
Ia memiringkan kepala, nada menantang.
“Atau… gelar ‘pangeran kampus’ lo cuma berlaku buat cewek-cewek yang gampang meleleh?”
Ia tersenyum miring.
“Soalnya ada satu cewek di sekolah ini yang gak peduli sama lo.”
Roy menatap lurus, menghujam.
“Gasekil.”
Roy mengeluarkan selembar kertas putih dari dalam map merah tua. Map yang konon isinya lebih banyak rencana jahat daripada catatan pelajaran.
Hening.
Angin seperti tertahan.
Bahkan cicak di tembok ikut menghentikan langkahnya.
Asep, Gayus, dan Vicky saling pandang. Wajah mereka kompak: “tolong jangan disetujui...”
Raska mengepalkan tangan. Menatap kertas yang sudah lebih dulu ditandatangani Roy. Nama dan tanda tangannya tercetak jelas, hitam, tegas, seperti jebakan yang sengaja disiapkan.
Bagi Raska, warisan bukan sekadar angka. Itu kehormatan ibunya. Harga diri keluarganya.
Dan Roy sudah menginjak semuanya.
Raska mengangkat dagu sedikit.
“Terlalu mudah,” ujarnya pelan.
Namun suaranya menusuk seperti duri baja.
“BRO—!!”
Asep, Gayus, dan Vicky memprotes serentak, wajah pucat.
Raska mengangkat tangan. Diam, tenang, tapi berbahaya.
Lalu ia menatap Roy lurus-lurus, penuh keyakinan.
“Gue bisa bikin semua siswi di sekolah ini jatuh hati… kalau gue mau.”
Raska mengatakan itu dengan nada tenang. Tenang yang justru membuat udara seolah pecah pelan-pelan.
Senyum tipis terangkat di sudut bibirnya.
“Termasuk dia.”
Asep, Gayus, dan Vicky langsung kaku.
Mereka bahkan tidak saling pandang. Semua terlalu sibuk menahan teriakan dalam hati.
Asep sampai memegangi kepala.
Gayus memejamkan mata pasrah.
Vicky berdiri terpaku, wajah pucat seperti baru melihat nilai ujian jatuh ke nol.
Mereka bertiga hanya bisa berharap… semoga kesombongan sahabat mereka tidak sedang menggali kubur masa depannya sendiri.
Roy menatapnya dengan senyum licik yang terlalu percaya diri.
“Semua siswi, ya.”
Ia mengingat tatapan datar Elvara meski jelas tahu dirinya jadi bahan obrolan.
“Tapi bukan dia.”
Nada Roy benar-benar meremehkan, seolah Elvara bukan manusia, tapi final boss di game RPG yang muncul hanya untuk menguji harga diri orang.
Ucapan itu berhasil.
Ego Raska seperti ditarik keluar, disulut, lalu disiram satu jerigen bensin oleh Roy.
Roy mendekat setengah langkah, senyum licik menggantung.
“Ayo, Raska. Buktiin lo bukan pengecut.”
Tiga sahabat Raska diam di tempat.
Asep kaku.
Gayus menahan napas.
Vicky bahkan sampai tidak sadar napasnya tertahan, seperti paru-parunya ngerem mendadak.
Raska maju selangkah.
“Kalau itu yang lo mau…” suaranya rendah, tajam, terkontrol.
Tatapannya bertemu milik Roy—tanpa berkedip.
“Gue terima.”
Asep refleks memegang kepala.
Gayus menutup wajah dengan kedua tangan.
Vicky menatap langit, memohon keadilan semesta.
Terlambat.
Ego pangeran kampus sudah tersulut.
Raska meraih pulpen di atas meja beton tua belakang sekolah.
Diangkatnya perlahan.
Klik.
Suara kecil itu terdengar seperti gong pengumuman bencana.
Gayus langsung membungkuk, meratap lirih seperti baru tahu nilai ulangan terjun bebas.
Asep memegang dada sendiri, seperti menenangkan jantung yang berdebar tak sehat.
Vicky menutup mata sambil bergumam lirih, seperti seseorang yang baru saja mendengar kabar kematian jauh di kampung halaman:
“Innalillahi…”
Roy langsung bertepuk tangan pelan.
Tap. Tap. Tap.
Suara tepuk itu terdengar seperti alarm bencana masa depan.
“Selamat mencoba, Raska,” ujarnya dengan seringai licik yang terlalu tenang untuk anak SMA biasa.
“Semoga Gasekil nggak bikin lo menyerah sebelum tiga hari.”
Raska melipat kertas itu, memasukkannya ke saku seragam.
“Gue nggak bakal kalah.”
Roy mengedip santai.
“Kita lihat saja.”
Dan untuk sesaat…
Ada kilatan tipis di mata Roy.
Kilatan orang yang sudah punya rencana cadangan.
Rencana yang tidak diketahui siapa pun.
Belum.
“Selamat berjuang,” ujar Roy lagi.
Senyum lebarnya terlalu damai, terlalu bersih. Senyum orang yang sedang memegang bom waktu dan menunggu ledakannya.
Tapi Raska tidak melihat itu.
Yang dia lihat cuma satu hal:
Kemenangan. Ego. Harga diri.
Serta gadis seratus kilo yang bahkan tidak tahu hidupnya baru saja dijadikan taruhan keluarga kaya penuh drama.
Roy dan gerombolannya akhirnya pergi meninggalkan halaman belakang sekolah.
Gayus, Asep, dan Vicky saling pandang.
Tatapan mereka sama persis:
“Udah. Tamat. Hidup sahabat kita tamat.”
Perlahan, mereka menoleh ke Raska.
Tatapan tiga orang itu seperti dokter yang baru keluar ruang operasi sambil memutuskan, “Maaf… kami sudah berusaha.”
Asep mengusap wajah panjang-panjang.
“Bro… lo sadar kan? Itu perjanjian hidup. Hidup, bro. Hidup.”
Gayus menepuk pundak Raska pelan, sambil geleng-geleng, seperti orang mau menyampaikan berita duka.
“Bro… lo serius?” suaranya lirih. “Seriusan lo bakal ngejer Gasekil?”
Raska memijat batang hidung. “Itu cuma—”
“Bro, bro, bro!” Asep langsung memotong, geleng-geleng tak percaya.
“Lo yakin? Sumpah, gue tanya sekali lagi. Yakin?”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Ayo Raska kamu semangat untuk sembuh,,dan Elvara tempat ternyamanmu🤣
Raska selama ini berarti berusaha sendiri mengatasi masalah traumanya dengan konsultasi ke dokter Wira.
Tanya jawab antara dokter Wira dengan Raska - kesimpulannya - trauma Raska belum pulih.
Ya betul itu pak Nata, Roy iri terhadap Raska. Kalah segala-galanya maka mau mencurangi kakak tirinya.
Raska...yang tahu sengaja atau tidak sengaja nabrak - ya Bella.
Elvara pribadi yang baik, tidak mau menuduh. Tapi yang pasti kamu sengaja di tabrak Bella - biar kamu jatuh ke dalam kolam. Bella mungkin tidak menyangka ketika nabrak kamu - dirinya mental - kecebur juga 😄.
Elvaraaaaaa...jujur amat 😂.
Tuh lihat reaksinya trio komentator 😂.
Raskaaaaa....jujur juga 😂👍🏻👍🏻.
Trio komentator langsung meledak ibaratnya sedang menyaksikan tanding sepak bola jagoannya tembus gawang 😄.
Raska kupingnya memanas - Elvara biasa...tanpa ekspresi bergumam - "Drama banget kalian." 😄.
Weeeeh Bella nguping.
Waduh masih ada lain kali - rencana jahat apa lagi Bella ??
Bella mimpimu cuma mimpi - mana ada jadi kenyataan - Raska tidak mungkin pilih kau.
Tiga temannya mengkhawatirkan kondisi Raska. Mereka bertiga peduli - kalimat yang keluar dari masing-masing cukup menghibur. Yang di rasa Raska ketegangan sedikit melonggar - menggeleng halus, bergumam lirih - "...kalian emang nyebelin." Ini bentuk ungkapan Raska yang "POSITIF," terhadap ke tiga temannya yang selalu ada untuknya.
( ***Ini Author mesti bikin cerita kelanjutan mereka berempat sampai masing-masing punya keluarga, pertemanan berlanjut 😄. )
Roy mimpinya ketinggian.
Elvara masih seperti biasa yang dilakukan ketika jam istirahat. Duduk di bawah pohon, membaca buku, sambil ngemil - kripik.
dan semoga si Roy selalu gagal dalam semua hal😄
Aku Sudah menduga, novel ini beda dari yang sebelumnya. Novel kali ini, selain memberikan pelajaram tentang ketulusan cinta, juga ada melibafkan Para medis juga.
Seperti Dokter Wira, Dokter Pesikiater Raska, Karen itu sangat mengguncang kejiwaan Raska, yang telah dia tanggung sejak usia 10 tahun. Untung saja Raska berusaha berobat, jika tidak, penyakitnya makin parah dan membuat tempramen Raska meningkat, yang bisa-bisa membuat dia tidak bisa tidur nyenyak, dan itu bisa mebuat dia menjadi emosional, bahkan mungkin bisa melempar barang-barang di Apartemen nya, jika sudah parah.
Mantap kak Nana... 🙏🙏🙏😁