Aira Nayara seorang putri tunggal dharma Aryasatya iya ditugaskan oleh ayahnya kembali ke tahun 2011 untuk mencari Siluman Bayangan—tanpa pernah tahu bahwa ibunya mati karena siluman yang sama. OPSIL, organisasi rahasia yang dipimpin ayahnya, punya satu aturan mutlak:
Manusia tidak boleh jatuh cinta pada siluman.
Aira berpikir itu mudah…
sampai ia bertemu Aksa Dirgantara, pria pendiam yang misterius, selalu muncul tepat ketika ia butuh pertolongan.
Aksa baik, tapi dingin.
Dekat, tapi selalu menjaga jarak, hanya hal hal tertentu yang membuat mereka dekat.
Aira jatuh cinta pelan-pelan.
Dan Aksa… merasakan hal yang sama, tapi memilih diam.
Karena ia tahu batasnya. Ia tahu siapa dirinya.
Siluman tidak boleh mencintai manusia.
Dan manusia tidak seharusnya mencintai siluman.
Namun hati tidak pernah tunduk pada aturan.
Ini kisah seseorang yang mencintai… sendirian,
dan seseorang yang mencintai… dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tara Yulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Menuju Gerbang Waktu
Aira membuka matanya perlahan. Cahaya keemasan menyelinap masuk melalui tirai sutra yang melayang lembut. Ia terdiam melihat dirinya memakai gaun panjang berwarna perak, berkilau seperti serpihan bintang. Ujung gaunnya menyapu lantai marmer putih yang terasa dingin di kulitnya.
“Aira…”
Suara bariton lembut dari belakang membuatnya menoleh.
Seorang pria mendekat dengan langkah tenang. Wajahnya tampan, sorot matanya teduh namun penuh wibawa. Ia mengenakan jubah kerajaan hitam keemasan—dan ada sesuatu tentangnya yang membuat Aira merasakan kehangatan aneh di dadanya, seolah ia mengenal pria itu sejak lama.
“Pangeran…” Aira berbisik tanpa sadar, seolah itu panggilan yang sudah biasa ia ucapkan.
Pangeran itu tersenyum, lalu meraih tangan Aira dengan lembut. “Hari ini kita menyaksikan hujan bintang dari balkon istana. Apakah kamu sudah siap, Putriku?”
Putriku.
Kata itu bergema di telinga Aira, membuat jantungnya berdebar.
Ia menatap sekeliling—ruangan megah dengan dinding berornamen emas, aroma melati yang memenuhi udara, dan cahaya matahari yang memantul di lantai marmer. Semuanya begitu hidup… begitu nyata.
Aira menelan ludah. Ia tidak tahu di mana ia berada, tapi satu hal pasti: bersama Pangeran itu, ia merasa seolah telah lama menjadi bagian dari dunia ini.
...****************...
Pangeran itu masih menggenggam tangan Aira, ibu jarinya menyapu lembut punggung tangannya. “Sebelum kita melihat hujan bintang… izinkan aku mengajakmu berdansa, Putriku.”
Musik lembut tiba-tiba mengalun dari arah ruang utama—melodi biola dan piano yang berpadu harmonis, memenuhi udara dengan kehangatan yang sulit dijelaskan. Aira memandang ke arah sumber suara, tetapi tak menemukan siapa pun. Musik itu seolah muncul dari udara.
Pangeran mendekat satu langkah, membuat Aira reflek menahan napas. Ia meletakkan tangan Aira di bahunya, sementara tangannya yang lain memegang pinggang Aira dengan penuh kehati-hatian.
“Tenang saja,” ucapnya. “Aku ada di sini.”
Aira mengikuti gerakannya. Langkah pertama terasa ragu, namun Pangeran memandu dengan lembut, membuat tubuh Aira mengikuti alunan musik tanpa usaha. Gaunnya berputar pelan, memantulkan cahaya emas di sekeliling ruangan.
Dalam pelukan itu, Aira merasakan sesuatu yang aneh… kehangatan yang membuatnya ingin tetap berada di sana selamanya. Mata Pangeran menatapnya dalam—seperti menyimpan rahasia yang hanya Aira yang bisa membacanya.
“Aku selalu menunggumu,” bisik Pangeran, suara yang begitu dekat di telinganya.
Aira tertegun. “Menunggu… aku?”
Pangeran tersenyum tipis. “Sejak lama.”
Musik mengalun semakin syahdu. Langkah demi langkah terasa seperti kenangan yang kembali, bukan pengalaman baru. Aira merasa seolah ia pernah berdansa dengannya… di tempat yang sama… dalam kehidupan yang tidak ia ingat.
Dan untuk sesaat, Aira berharap waktu berhenti.
Musik perlahan melambat, dan Pangeran menarik Aira sedikit lebih dekat. Mata mereka bertemu—dan untuk pertama kalinya, Aira melihat sesuatu berkilat di matanya. Cahaya aneh… seperti bayangan hitam yang berputar.
Aira mengerjap.
Bayangan itu semakin besar.
Semakin dekat.
“Pangeran… apa itu?” bisiknya, tubuhnya menegang.
Namun Pangeran tidak menjawab. Wajahnya tiba-tiba berubah serius, seolah sesuatu yang berbahaya sedang mendekat. Ia meraih kedua tangan Aira, menggenggamnya erat.
“Putriku… saatnya kamu kembali,” ucapnya pelan—terlalu pelan, seolah menahan sesuatu yang ingin ia katakan.
“Apa maksudm—”
Belum sempat Aira menyelesaikan kalimatnya, angin kencang berputar mengelilingi mereka. Ruangan berguncang seperti gempa, tirai berkibar liar, dan cahaya menyilaukan muncul tepat di belakang Pangeran, menelannya perlahan.
“Pangeran!” Aira berusaha meraih tubuhnya.
Tetapi saat tangannya nyaris menyentuh wajah tampannya—
BRAK!
Ia terjatuh dari tempat tidur.
Aira terbangun dengan napas tersengal, keringat dingin membasahi dahinya. Matanya terbelalak melihat kamarnya sendiri,remang oleh cahaya pagi.
“Astaga ternyata ini cuma… mimpi?”
Ia memegang dadanya yang masih berdebar keras.
Namun yang paling membuatnya terkejut…
Sentuhan hangat di tangannya tadi—
masih terasa.
Dan nama yang tak pernah ia ucapkan sebelumnya…
bergema jelas di pikirannya.
Pangeran.
...****************...
Aira menarik napas panjang, mencoba menenangkan dadanya yang masih berdebar. Ia memandang langit-langit kamar sambil tersenyum kecil.
“Cuma mimpi…” gumamnya.
Lalu senyuman itu melebar tipis.
“Tapi kalau dia beneran ada di dunia nyata,” ucap Aira sambil menutup wajahnya dengan bantal, “aku pasti langsung jatuh hati padanya.”
Senyum itu tak hilang, bahkan saat pipinya memerah memikirkan sosok Pangeran dalam mimpinya.
Aira duduk di meja makan sambil mengambil roti panggang. Senyum-senyum kecil masih tak bisa ia tahan. Dharma yang sedang membaca koran melirik putrinya sekilas.
“Ayah tau,” ujar Dharma sambil menaruh korannya. “Pasti kamu habis mimpi, kan? Dari tadi senyum-senyum sendiri.”
Aira terkekeh sambil menunduk. “Tau aja sih Ayah…”
Dharma tersenyum tipis. “Ayah tuh hapal banget ekspresi kamu dari kecil. Kalau sampai pipi kamu merah begitu, sudah jelas mimpi kamu bagus.”
Aira hanya mengunyah roti pelan, tidak langsung menanggapi.
Dharma menyandarkan tubuhnya. “Kamu pasti mimpi Pangeran, kan?”
Aira spontan menoleh. “Hah? Kenapa Ayah bisa tau?”
Dharma tertawa kecil. “Waktu kamu kecil, kelas 6 SD… kamu pernah cerita ke Ayah. ‘Yah, Ayah tau nggak? Aira mimpi ketemu Pangeran ganteng banget. Semoga nanti Aira bisa ketemu Pangeran sungguhan kayak di mimpi itu.’”
Dharma menirukan suara anak kecil Aira, membuat Aira tersipu.
“Ayah waktu itu cuma ngangguk dan bilang amin.”
Aira tersenyum lembut, mengingat kembali masa kecilnya. “Iya, Yah… Aira inget ternyata dulu Aira pernah mimpi Pangeran waktu kecil.”
Ia menarik napas pelan.
“Dan… kadang cinta itu bisa datang dari arah yang nggak masuk akal. Bahkan dari mimpi.”
Dharma menatap putrinya lama, seolah memahami lebih banyak dari yang ia katakan.
“Aira, kamu sudah siap menjalankan misi dari Ayah?” tanya Dharma sambil menatap putrinya dengan penuh keyakinan.
Aira tersenyum lembut. “InsyaAllah Aira siap, Ayah. Doain Aira terus, ya.”
“Pasti,” jawab Dharma mantap. “Ayah selalu doakan kamu. Sekarang ayo selesaiin sarapan. Jam delapan tepat, kamu sudah harus masuk ke dunia masa lalu.”
“Siap, Ayah.”
Mereka pun melanjutkan sarapan bersama. Suasana meja makan terasa hangat, namun di balik itu Aira tahu hidupnya sebentar lagi akan berubah total.
Setelah ini, dunianya tidak akan sama.
Ia akan kembali ke tahun 2011—masa lalu yang asing, berbeda, dan penuh misteri.
Banyak wajah baru yang belum pernah ia temui.
Banyak tempat yang belum pernah ia injak.
Semua itu akan menjadi dunia baru Aira…
dunia yang akan menentukan takdirnya.
Aira menghabiskan suapan terakhirnya, namun jantungnya berdetak tak karuan. Bukan hanya karena mimpi itu masih menempel hangat di benaknya, tetapi juga karena misi besar yang menunggunya tepat jam delapan nanti. Kedua tangannya sedikit gemetar saat ia meletakkan sendok, dan Dharma tentu saja menyadarinya.
“Aira,” ujarnya lembut, “kamu tidak perlu takut. Dunia masa lalu memang berbeda, tapi kamu lebih kuat daripada yang kamu pikirkan.”
Aira menelan ludah. “Aira bukan takut, Ayah. Aira cuma… penasaran. Apa benar semuanya akan terasa nyata? Orang-orangnya? Tempatnya? Dan…” Ia terhenti, ingat akan lelaki tampan dalam mimpinya. Senyum kecil tanpa sadar muncul lagi.
Dharma mengerling geli. “Sepertinya ada yang membuat kamu semangat berangkat.”
“Ayah…” Aira cemberut kecil, pipinya memerah.
Dharma tertawa pelan, meraih kepala putrinya dengan penuh kasih. “Apa pun itu, jaga hatimu. Ingat, kamu ke sana bukan cuma untuk melihat masa lalu—tapi untuk memperbaikinya.”
Aira mengangguk mantap, meski hatinya masih bergetar. “Aira paham, Ayah.”
Detik jam digital di dinding berubah menjadi 07:45. Udara seolah menegang. Dharma bangkit, berjalan ke ruang lingkaran waktu—ruangan yang hanya mereka berdua ketahui keberadaannya.
“Waktunya bersiap,” kata Dharma.
Aira menarik napas panjang, berdiri, lalu mengikuti ayahnya. Dengan langkah yang semakin mantap, ia melangkah menuju pintu yang akan membawa hidupnya ke perjalanan baru—ke dunia yang belum pernah ia bayangkan… namun entah kenapa terasa seperti sedang menunggunya.