"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"
Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.
Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.
Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34
"Maya?" suara serak itu memanggil. Suara yang sangat familiar. Suara Arya.
Maya membuka mata, terkejut. Arya? Kenapa dia kembali? Ia tidak bergerak, masih bersembunyi.
Pintu terbuka perlahan. Arya masuk ke dalam kamar.
Ruangan itu tetap gelap, hanya diterangi cahaya remang dari lampu tidur di samping ranjang. Arya berjalan menuju ranjang, lalu menyalakan lampu kamar.
Cahaya terang memenuhi ruangan, membuat Maya terlonjak. Arya menoleh, matanya langsung tertuju pada gorden yang sedikit bergetar. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya.
"Saya tahu Anda di sana, Maya," kata Arya, suaranya tenang, namun penuh kemenangan. "Keluar. Saya tidak akan menggigit."
Maya keluar dari balik gorden, wajahnya memerah padam karena tertangkap basah. Ia merasa malu, namun di saat yang sama, ada perasaan aneh yang menguasai dirinya.
"Arya? Kenapa Anda di sini? Bukannya Anda ke kampung?" tanya Maya, suaranya bergetar.
Arya tersenyum. Ia melipat tangannya di dada, bersandar di kusen pintu. "Saya lupa sesuatu yang sangat penting. Jadi saya kembali. Dan kebetulan sekali, Anda ada di sini." Matanya menatap Maya dalam, sebuah tatapan yang penuh arti. "Saya tahu Anda akan datang."
Pengakuan itu menghantam Maya. Arya memang sengaja menjebaknya. Ia tahu Maya akan tergoda untuk datang ke rumahnya. Sebuah skenario yang sudah diatur dengan rapi.
"Anda sengaja?" tanya Maya, nadanya sedikit marah.
Arya terkekeh pelan. "Saya hanya... sedikit memancing. Dan Anda terpancing, kan?" Ia melangkah mendekat, mengikis jarak di antara mereka. "Itu berarti, Anda juga menginginkan ini, Maya. Menginginkan saya."
Maya menunduk, tidak bisa menyangkalnya. Hati nuraninya kalah oleh h4srat. Ia merindukan sens4si bersama Arya.
Arya mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Maya. "Jangan berbohong pada diri sendiri, Maya. Kita berdua tahu apa yang Anda rasakan. Dan saya juga merasakan hal yang sama."
Ia menarik dagu Maya perlahan, memaksanya menatap matanya. "Saya tidak bisa pergi tanpa Anda, Maya. Saya tidak bisa tidur nyenyak jika tahu Anda di sana, merindukan saya."
Arya tersenyum. Ia menundukkan kepalanya, bibirnya mendekat ke bibir Maya. "Biarkan saya membuat Anda bahagia, Maya. Sekali lagi."
Maya memejamkan mata. Ia merasakan napas hangat Arya di bibirnya.
"Saya tahu Anda merindukan ini," bisik Arya, suaranya serak. "Saya bisa merasakannya."
Ia menarik baju tidur Maya perlahan dari bahunya, membiarkan kain itu meluncur jatuh ke lantai.
Kemudian, dengan gerakan yang pasti, Arya menyatukan tubuh mereka. Maya terkesiap, merasakan sensasi yang begitu intens, begitu penuh, hingga napasnya tertahan. Sebuah kepuasan yang tak terduga melanda seluruh tubuhnya, dimulai dari pusat hasr4tnya dan menyebar ke setiap ujung saraf.
Maya mencengkeram bahu Arya erat, memejamkan mata, membiarkan gelombang sensasi itu menguasai dirinya. Ia mendes4h, nama Arya meluncur dari bibirnya, sebuah bisikan penuh gair4h. Arya membalas des4hannya, bergerak dengan irama yang memabukkan, membawa Maya ke puncak kenikm4tan yang belum pernah ia bayangkan.
Suara desahan mereka memenuhi kamar yang remang-remang, bercampur dengan suara detak jantung yang berpacu kencang. Maya merasa dirinya seperti melayang, terbebas dari semua kekangan, semua beban yang selama ini ia pikul.
Ketika semuanya mereda, Maya terbaring lemas dalam pelukan Arya. Napasnya masih terengah-engah. Keringat membasahi tubuh mereka. Rasa lelah, namun juga kepuasan yang mendalam, menyelimuti dirinya.
Arya mencium kening Maya, lalu memeluknya erat.
"Bagaimana perasaan Anda sekarang, Maya?" bisiknya, suaranya lembut.
Maya tersenyum tipis. Ia tidak bisa menjawab.
Rasanya terlalu banyak, terlalu intens. Ia merasa dirinya berbeda. Wanita yang berbeda.
"Saya senang Anda menikmatinya," kata Arya, ia mengusap rambut Maya. "Saya tahu Anda merindukan ini.
Saya tahu Anda pantas mendapatkannya."
Kata-kata Arya membuat Maya tersenyum lebih lebar. Ia memejamkan mata, membiarkan dirinya menikmati momen ini. Malam itu, Maya menemukan sebuah sisi dirinya yang belum pernah ia kenal. Sebuah sisi yang penuh gair4h, penuh hasr4t, dan haus akan sentuhan.
***
Pagi menjelang. Maya terbangun di pelukan Arya. Ia membuka mata perlahan, merasakan berat lengan Arya yang melingkar di pinggangnya. Arya membuka mata. Ia tersenyum tipis melihat Maya sudah bangun. "Pagi, Maya."
"Pagi, Arya," jawab Maya, suaranya lebih tenang dari sebelumnya.
Arya mengusap pipi Maya perlahan. "Anda terlihat lebih segar hari ini."
Maya menunduk, pipinya memerah. "Saya... saya
harus pulang, Arya."
Arya menghela napas. "Baiklah. Tapi saya ingin Anda tahu, Maya. Saya tidak akan pergi begitu saja."
"Maksud Anda?" tanya Maya, menatap Arya.
"Saya tidak akan kembali ke kampung halaman saya hari ini," kata Arya, matanya menatap Maya dalam. "Saya akan menunda keberangkatan saya. Untuk Anda."
Jantung Maya berdebar kencang. Menunda keberangkatan? Hanya untuknya?
"Kenapa?" tanya Maya, tidak percaya.
Arya tersenyum, sebuah senyum yang penuh arti.
"Karena saya tidak bisa jauh dari Anda, Maya. Saya menginginkan Anda. Dan saya tahu, Anda juga menginginkan saya."
Ia mengulurkan tangannya, menyentuh wajah Maya.
"Saya tidak akan berhenti sampai Anda benar-benar menjadi milik saya, Maya. Seutuhnya."
Pengakuan itu menghantam Maya. Arya tidak akan menyerah. Ia akan terus memburunya, terus menggodanya, sampai Maya sepenuhnya takluk. Maya tahu, ia telah jatuh terlalu dalam. Dan ia tidak tahu bagaimana bisa keluar dari jerat ini.
"Kau harus sarapan, Maya," bisik Arya, suaranya serak. Ia mengecup kening Maya perlahan.
Maya membuka mata, menatap Arya. "Aku... aku
harus pulang, Arya."
Arya tersenyum tipis. "Kenapa terburu-buru? Tama tak akan curiga. Dia pikir kau sibuk di rumahku."
Maya menghela napas. Arya benar. Tama memang tidak curiga. Tapi hati nuraninya?
"Aku tak enak pada Bi Sumi," kata Maya, mencari alasan.
"Aku akan meneleponnya dan bilang kau sakit, butuh istirahat," balas Arya cepat. "Aku akan menjagamu."
Jantung Maya berdebar. Ia menatap Arya, tatapan pria itu begitu lembut, begitu meyakinkan.
"Tapi..." Maya mencoba menolak lagi.
"Tidak ada tapi," Arya memotong, ia mencium bibir Maya sekilas. "Malam ini, kita akan mengulanginya. Dan besok pagi, kau akan tetap di sini bersamaku."
Maya terdiam. Ia tahu Arya tidak main-main. Pria itu begitu dominan, begitu tahu apa yang ia inginkan, dan bagaimana mendapatkannya. Dan yang terpenting, Maya menyadari, ia tidak ingin menolak.
***
Sepanjang hari itu, Maya menghabiskan waktu di rumah Arya. Ia tidak melakukan pekerjaan rumah tangga seperti biasa. Arya memanjakannya, membawakan sarapan di ranjang, mengajaknya mengobrol panjang, berbagi cerita tentang hidupnya. Maya mendengarkan dengan saksama. Ia merasa Arya begitu berbeda dari Tama. Arya penuh perhatian, pendengar yang baik, dan selalu tahu bagaimana membuat Maya merasa istimewa.
Mereka makan siang bersama di taman belakang Arya.
Arya bercerita tentang perjalanannya keliling dunia, tentang petualangannya, tentang impian-impiannya. Maya terpesona. Hidup Arya begitu penuh warna, begitu berbeda dari kehidupannya yang monoton.
"Kau tahu, Maya," kata Arya, ia menatap Maya dalam.
"Aku tidak pernah merasa sehidup ini sebelumnya. Kau membuatku merasa... utuh."
Kata-kata itu menghantam Maya. Ia membuat Maya merasa begitu penting, begitu dicintai. Sebuah perasaan yang sudah lama hilang dari hidupnya.
Sore harinya, Arya mengajak Maya menonton film di bioskop pribadinya. Mereka berbaring di sofa besar, berpelukan. Maya merasa nyaman, begitu nyaman hingga ia lupa akan dunia luar, lupa akan Tama.
Ketika malam tiba, suasana kamar Arya terasa lebih int!m dari sebelumnya. Lilin aromaterapi menyala, memancarkan cahaya remang yang lembut. Aroma melati memenuhi ruangan. Arya duduk di tepi ranjang, menatap Maya yang duduk di depannya.
"Kau terlihat lelah, Maya," kata Arya, suaranya lembut. "Biarkan aku memanjakanmu."
Ia mengulurkan tangannya, menyentuh rambut Maya, mengusapnya perlahan. Sentuhan itu terasa begitu lembut, begitu menghibur. Maya memejamkan mata, menikmati sentuhan Arya.
"Aku ingin kau merasa santai, Maya," bisik Arya. "Aku ingin kau melupakan semua bebanmu."
Ia menarik resleting gaun tidur Maya perlahan, membiarkan kain sutra itu meluncur jatuh ke lantai.
Udara dingin menyentuh kulit Maya, namun panas dari sentuhan Arya membakar seluruh dirinya. Malam itu mereka menghabiskan waktu bersama untuk yang kesekian kalinya. Membuat Maya terlena akan h4srat, dan melupakan bahwa ia masih mempunyai seorang suami.
sebaiknya saling terbuka & melengkapi...
bukan mencari kesenangan di luar...
ingat lah masa" susah & senang saat awal " berumah tangga...
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya