Rania Vale selalu percaya cinta bisa menembus perbedaan. Sampai suaminya sendiri menjadikannya bahan hinaan keluarga.
Setelah menikah satu tahun dan belum memiliki anak, tiba-tiba ia dianggap cacat.
Tak layak, dan tak pantas.
Suaminya Garren berselingkuh secara terang-terangan menghancurkan batas terakhir dalam dirinya.
Suatu malam, setelah dipermalukan di depan banyak orang, Rania melarikan diri ke hutan— berdiri di tepi jurang, memohon agar hidup berhenti menyakitinya.
Tetapi langit punya rencana lain.
Sebuah kilat membelah bumi, membuka celah berisi cincin giok emas yang hilang dari dunia para Archeon lima abad lalu. Saat Rania menyentuhnya, cincin itu memilihnya—mengikatkan nasibnya pada makhluk cahaya bernama Arven Han, putra mahkota dari dunia lain.
Arven datang untuk menjaga keseimbangan bumi dan mengambil artefak itu. Namun yang tak pernah ia duga: ia justru terikat pada perempuan manusia yang paling rapuh…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cincin milik Eryndor
“Cincin?” gumam Rania, menatap benda itu dengan saksama. Bahannya seperti terbuat dari giok, namun warnanya gold dan menyala dalam gelap.
“Mungkin ini milik orang yang pernah bunuh diri di tebing ini,” gumamnya lagi pada diri sendiri. “Bagus…”
“Tapi cincin ini besar, mana muat di jariku.”
Lalu dengan iseng ia memakai cincin itu. Hal aneh pun terjadi—cincin itu pas di jari manisnya, seolah benda itu baru saja mengecil.
“Wahhh!”
Kagum Rania, kembali menatapnya tanpa kedip. Seolah tak percaya, cincin itu baru saja memilihnya.
Di sisi lain, di Aureline District, tepat pada waktu yang sama sebuah kilat membelah rumah mewah di seberang rumah Rania. Semua lampu padam, distrik mewah itu mendadak menjadi gelap gulita—namun tak lama lampu-lampu kembali menyala.
Seorang pria kekar dengan paras malaikat, mengenakan luminar durumagi—mantel panjang seperti durumagi yang biasa dipakai bangsawan di masa Kerajaan Jeoson. Materialnya memantulkan cahaya bulan dan menjadi kamuflase di kegelapan.
Ia berdiri dengan wajah santai di tengah reruntuhan rumah mewah itu. Pemilik rumah, Eldarion Han, segera bangun dan menatapnya dingin.
“Hhhh!” dengusnya kesal. “Tuan Arven, kenapa harus datang menunggangi petir? Padahal masih banyak cara lain yang lebih manusiawi.”
Pria itu mengeluh pelan, namun tetap membungkuk memberi hormat.
“Aku bukan manusia. Aku Archeon, utusan Solar King Athelion dari Eryndor. Kau lupa? Oh ya… kau terlalu lama di bumi,” sahut makhluk tampan itu sambil berjalan melihat sekitar.
Archeon adalah sebutan untuk mahluk yang berasal dari Eryndor, sebuah kerajaan di dunia lain—yang memiliki trauma atas sifat buruknya manusia, yang pernah memporak-porandakan dunia mereka.
“Hhh! Kelak kau akan mengerti—” kesal Eldarion.
“Kau benar, aku tida mengerti. Bagaimana bisa makhluk bumi… membuat tempat tinggal dari bahan selembut ini?” Arven meraih butiran pasir, lalu menaburkannya dengan tatapan mengejek.
“Jangan begitu. Kau akan tinggal di sini selama seratus tahun.”
Eldarion tersenyum kecil, seolah ia memihak pada entitas yang bukan miliknya.
“Tapi tidak usah khawatir, itu tidak akan terasa lama, terlebih makhluk bumi itu lucu dan ramah. Mereka bahkan tak segan menangisi kematian orang yang tak dikenal…”
“Tidak usah menceritakannya! Aku tidak tertarik. Aku hanya akan menyelesaikan tugas lalu kembali ke Eryndor,” potong Arven.
Namun Eldarion tak mengubris.
“Oh ya… satu lagi! Kau tidak boleh membunuh manusia.”
“Kenapa? Bagaimana kalau dia jahat? Kita semua tahu, mereka serakah.”
“Tetap tidak boleh! Usia mereka sangat pendek… tanpa harus dibunuh pun mereka tetap akan mati. Ingat itu! Satu lagi… aku sudah melamar pekerjaan untukmu. Besok kau harus datang untuk wawancara.”
“Kenapa harus bekerja? Kita dibekali banyak emas dan berguna di bumi.”
“Manusia itu realistis. Jika kau kaya dan hidup nyaman tapi tidak bekerja, maka kau akan didatangi… atau mungkin dicurigai. Mencuri misalnya, atau membobol bank. Jadi… untuk menghindari hal-hal semacam itu, kita harus hidup layaknya manusia.”
“Kemana aku harus datang?” Arven menatap dingin.
“Divisi pemadam kebakaran. Saat aku dengar Eryndor mengirim putra mahkota kedua—panglima perang pasukan elit—aku langsung memikirkan pekerjaan yang cocok untukmu agar kekuatanmu tetap tersalurkan.”
Tiba-tiba Arven meringis. Sebuah jeritan mengiris telinganya. “Apa bumi seberisik ini?” tanyanya dengan kening mengerut.
“Iya. Aku juga dulu seperti itu. Tak bisa tenang selama berbulan-bulan karena terlalu bising. Tapi seiring berjalannya waktu—kekuatan kita pun berkurang sedikit demi sedikit. Tubuh kita bisa menyesuaikan diri dengan energi bumi, juga energi manusia.”
Namun teriakan itu semakin keras, membuat kepalanya sakit.
“Kau kenapa?”
Eldarion menatapnya heran.
“Entahlah! Aku akan mendatangi suara itu.”
Arven memejamkan mata, memfokuskan pikirannya pada pusat suara. Lalu ia sampai pada sebuah mobil yang sedang melaju kencang. Ia duduk di kabin belakang menatap heran dua manusia yang saling meneriaki.
“Cukup, Rania! Aku tidak ingin mendengar kata cerai lagi. Paham!” bentak Garren. Rahangnya mengetat, napasnya menderu penuh emosi.
“Kalau begitu ayo! Kita periksa bersama!” teriak Rania sambil menyeka air matanya. “Kau tidak mau kan! Kau selalu seperti itu… melimpahkan semua kesalahan padaku.”
“Aku tidak tahan. Malam ini kau bahkan mempermalukan aku di depan semua tim.”
Rania memejamkan mata, memeras air mata, merebahkan kepalanya hingga mendongak.
“Aku tidak akan melakukan itu jika bukan karenamu. Kau melampaui batas—pergi tanpa izin! Kau pikir aku ini apa?” sahut Garren tak mau kalah. Matanya melirik spion tengah untuk memeriksa jalan.
Namun tatapannya justru tertuju pada wajah Arven—pucat, dengan pakaian mirip raja-raja zaman dulu.
“Aaaakk! Siapa kau?” teriak Garren kaget. Tak sengaja kakinya menginjak pedal gas kuat-kuat hingga mobil terbalik—terlempar beberapa meter lalu berhenti karena menabrak sebuah pohon.
Brugh!
Prenk!
Keheningan pun jatuh. Yang terdengar hanya suara hewan-hewan hutan. Arven keluar menembus bodi mobil, otaknya berputar penuh tanya. Apa hubungan dia dan pasangan problematik ini? Kenapa ia harus mendengar teriakan sang wanita?
Namun di tengah kegelapan, cincin di jari manis Rania tiba-tiba bersinar.
Mata Arven membesar—lalu ia melihat cincin yang ia pakai. Sama persis, hanya berbeda warna. Dengan cepat ia menyentuhnya. Arven terpejam—ia bisa merasakan energi dari material cincin itu.
*
*
*
Terima kasih sudah membaca novel ini, temukan kejutan lain di bab selanjtnya. Setiap komentar, like, bintang dan Vote dari kamu, adalah sesuatu yang sangat berharga bagi author. Memberi semangat untuk terus menulis, memberi cahaya agar cerita ini sampai ke hati lebih banyak orang.
Jangan lupa Follow ya! Dan baca juga novel author yang berjudul: Istri ke-101 ( Sudah tamat)
Terimakasih & salam hangat.
Penulis yang selalu bersyukur karena ada kalian. Dukung terus karyaku ya kesayangan…
aaah dasar kuntilanak
toh kamu yaa masih ngladeni si jalànģ itu