NovelToon NovelToon
Wild, Wicked, Livia !!!

Wild, Wicked, Livia !!!

Status: sedang berlangsung
Genre:Gadis nakal / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Mengubah Takdir
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Fauzi rema

Livia hidup dengan satu aturan: jangan pernah jatuh cinta.
Cinta itu rumit, menyakitkan, dan selalu berakhir dengan pengkhianatan — dia sudah belajar itu dengan cara paling pahit.

Malam-malamnya diisi dengan tawa, kebebasan, dan sedikit kekacauan.
Tidak ada aturan, tidak ada ikatan, tidak ada penyesalan.
Sampai seseorang datang dan mengacaukan segalanya — pria yang terlalu tenang, terlalu dewasa, dan terlalu berbahaya untuk didekati.

Dia, Narendra Himawan
Dan yang lebih parah… dia sudah beristri.

Tapi semakin Livia mencoba menjauh, semakin dalam dia terseret.
Dalam permainan rahasia, godaan, dan rasa bersalah yang membuatnya bertanya:
apakah kebebasan seindah itu jika akhirnya membuatnya terjebak dalam dosa?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

2. After Midnight

Lima bulan berlalu.

Musim hujan sudah berganti, dan begitu juga Livia.

Gadis yang dulu menangis dalam diam kini sudah tak sama lagi, ia lebih kuat, lebih berani, dan jauh lebih sulit ditebak.

Dari luar, ia terlihat seperti seseorang yang sudah menang atas hidupnya.

Rambutnya kini berwarna lebih terang, potongan barunya memantulkan cahaya lampu malam setiap kali ia melangkah keluar dari mobil.

Langkahnya mantap, matanya dingin, senyumnya samar, senyum yang tak lagi ramah, tapi cukup untuk membuat siapa pun penasaran.

Namun, semua orang tahu satu hal tentang Livia yang baru:

setiap kali malam tiba, ia tak pernah benar-benar pulang.

Klub malam di pusat kota sudah jadi tempat pelariannya.

Suara musik yang memekakkan, lampu-lampu neon yang berpendar, aroma alkohol yang samar, semua itu seperti dunia lain di mana ia bisa melupakan semuanya, bahkan untuk beberapa jam saja.

“Livia!” seru seseorang dari meja bar, teman lamanya melambai.

Ia tersenyum singkat, lalu berjalan mendekat dengan langkah anggun tapi tak peduli.

Gelak tawa, obrolan kosong, dan gelas-gelas beradu.

Di tengah keramaian itu, Livia duduk, menatap sekeliling dengan tatapan kosong namun tenang.

Ia bukan gadis polos yang sama seperti lima bulan lalu.

Kini ia tahu cara bertahan.

Bukan dengan air mata, tapi dengan kebebasan.

Dengan berpura-pura tidak peduli.

Dengan menertawakan dunia sebelum dunia sempat menyakitinya lagi.

Reno dan Dafi sudah lama menyadari perubahan itu, tapi tak ada yang bisa mereka lakukan selain tetap ada di sisinya, dalam diam dan saling menjaga agar Livia tak lepas kendali.

Karena mereka tahu, Livia sedang membangun benteng dari serpihan dirinya sendiri.

Dan malam itu, di bawah cahaya neon biru yang menari di kulitnya,

Livia tampak seperti wanita yang telah memenangi semua pertempuran…

padahal sebenarnya, ia hanya sedang belajar bagaimana caranya tidak lagi merasa kalah.

 

Malam sudah lewat pukul dua ketika klub mulai sepi. Musik berhenti, lampu-lampu yang tadinya berwarna kini berubah redup kekuningan. Satu per satu pengunjung keluar, sebagian masih tertawa, sebagian lain berjalan sempoyongan.

Livia duduk di teras depan klub, menyalakan rokok sambil menatap jalan yang basah oleh sisa hujan. Dafi dan Reno masih di dalam, menyelesaikan tagihan dan berpamitan dengan bartender langganan mereka.

Udara malam terasa dingin, menusuk kulit, tapi Livia justru menikmatinya. Ia suka sensasi itu, dingin, sunyi, meskipun sedikit kesepian. Rasanya jujur. Tak seperti dunia siang yang penuh basa-basi.

“Masih kuat pulang sendiri?” suara Dafi memecah lamunannya. Ia keluar bersama Reno, keduanya tampak kelelahan tapi masih tetap tersenyum di hadapan Livia.

“Tenang aja, gue nggak selemah itu,” jawab Livia, mematikan rokoknya di asbak logam.

“Ya tetep aja. Lo tuh sendirian, Liv,” kata Reno.

Livia mendengus, menatap mereka berdua dengan senyum tipis. “Justru itu yang gue mau. Sendirian berarti bebas.”

Mereka hanya saling pandang, sudah hafal betul pola pikir gadis itu. Tak ada gunanya berdebat malam-malam begini.

“Gue anterin, deh,” ucap Dafi akhirnya.

“Gak usah, Daf. Gue naik taxi aja.”

“Liv…”

“Serius, gue aman.”

Reno menepuk bahu Dafi pelan, memberi isyarat untuk membiarkannya. “Udah, biarin. Lo tau sendiri, kalau dipaksa malah ngelawan.”

Livia tersenyum kecil. “Makanya gue betah sama kalian berdua. Kalian nggak pernah maksa gue jadi orang lain.”

Setelah pamit, Livia berjalan menyusuri trotoar, sepatu haknya beradu lembut dengan jalan basah. Angin malam meniup rambutnya yang tergerai, dan untuk sesaat, ia merasa benar-benar lebih tenang diatas kebebasan.

Tapi kebebasan malam itu terasa aneh, seperti ada sesuatu yang menunggu di ujung jalan.

Sebuah perasaan asing, samar, yang belum bisa ia beri nama.

Livia akhirnya mendapat taksi di ujung jalan. Ia masuk dengan langkah ringan, menutup pintu sambil melambaikan tangan ke arah Dafi dan Reno yang masih berdiri di depan klub. “Udah, balik sana! Gue aman!” teriaknya sebelum taksi itu melaju menjauh di antara lampu kota.

Dafi menatap mobil itu sampai benar-benar hilang di tikungan. “Gue nggak tenang, Ren. Kayaknya gue ikutin aja sampai apartemen.”

Reno hanya mengangguk pelan. “Gue juga mikirnya gitu.”

Tanpa banyak bicara, mereka masuk ke mobil Dafa, menyalakan mesin, dan mulai mengikuti dari kejauhan. Lampu belakang taksi berpancar samar di tengah jalanan malam yang basah. Di dalam mobil, suasana hening, hanya terdengar suara wiper dan dengung mesin.

“Kadang gue kasian sama dia,” ujar Dafa lirih. “Dari luar keliatan keras kepala, tapi kalau lo liat matanya… kayak kosong.”

Reno menatap ke depan. “Dia udah terlalu lama disakitin, Daf. Sekarang satu-satunya cara dia bertahan ya gitu— pura-pura kuat.”

Setelah sekian menit menembus jalanan sepi ibukota, Taksi itu berhenti di depan sebuah gedung apartemen sederhana. Dari balik kaca, mereka melihat Livia turun, tak lupa membayar ongkos taxi, lalu berjalan pelan menuju lobi. Livia terlihat menunduk sedikit, menatap layar ponselnya, lalu menghela napas panjang sebelum menghilang di balik pintu kaca.

Dafi baru mematikan mesin ketika lampu lobi tertutup. “Akhirnya sampai.”

“Gue bilang juga apa? Dia kuat,” sahut Reno, mencoba tersenyum. “Tapi tetap aja… gue selalu khawatir sama Livia.” kata Dafi.

Malam itu, mereka akhirnya beranjak pergi, meninggalkan jalanan yang kembali sunyi.

Sementara di lantai delapan apartemen kecilnya, Livia berdiri di depan jendela, menatap kota yang berkilau di bawah sana.

Ia meneguk sisa air putih dari gelas di tangannya, lalu berbisik lirih,

“Hari ini aku kenapa ya, rasanya kayak kosong.?”

Lampu kamar padam, meninggalkan siluetnya dalam gelap.

Dan di luar sana, dua sahabat yang selalu menjaganya tanpa suara, perlahan kembali pulang bersama malam.

...🌻🌻🌻...

Keesokan paginya, matahari menembus tirai jendela apartemen kecil itu. Livia menatap pantulan wajahnya di cermin, kulitnya tetap bersinar, make up-nya rapi, bibirnya yang berwarna merah merona tersenyum samar. Tapi matanya... masih tampak lelah, sedikit memerah karena hanya tidur dua jam.

Ia menarik napas panjang, lalu berkata pelan pada bayangannya,

“Sepertinya udah Oke, cantik.” celetuknya memuji diri sendiri.

Seperti biasa, Livia berangkat ke kantor dengan gaya khasnya: blouse bewarna pastel rapi, rok span hitam, dan parfum lembut yang meninggalkan jejak wangi di setiap langkah. Di antara para karyawan lain yang terlihat terburu-buru, Livia selalu tampak menonjol, ia anggun, percaya diri, tapi sulit didekati.

“Pagi, Liv! kayaknya kamu kurang tidur, apa lembur lagi semalam?” sapa Rani, rekan sekantornya, saat mereka bertemu di depan lift.

Livia tersenyum kecil. “Nggak, cuma insomnia aja.”

“Insomnia, atau club lagi?” goda Rani sambil tertawa kecil.

“Dua-duanya,” jawab Livia ringan, menekan tombol lift tanpa menoleh.

Sesampainya di lantai administrasi, Livia langsung menyalakan komputer dan mulai membuka dokumen laporan. Musik lembut dari speaker kecil mengalun pelan, menenggelamkan suara-suara kantor yang sibuk. Ia bekerja cepat, seperti biasa, profesional, cekatan, tapi dengan tatapan kosong setiap kali pikirannya melayang pada garis nasibnya.

Sampai suara bariton yang tegas memecah keheningan.

“Pagi, Livia.”

Livia mendongak. Di ambang pintu berdiri Burhan, kepala divisi keuangan—atasannya langsung. Pria berusia awal 40-an itu berwibawa, dengan kemeja biru muda yang selalu tampak rapi dan tatapan tajam tapi tenang.

“Pagi, Pak,” ucap Livia sopan, berusaha terdengar netral.

Burhan melangkah mendekat, menaruh beberapa berkas di mejanya. “Tolong bantu cek laporan vendor minggu lalu. Saya butuh sebelum makan siang.”

“Baik, Pak.”

Burhan memperhatikan Livia dengan seksama, lalu mengangkat alisnya sambil berkata:

“Liv, kayaknya kamu belum tidur semalaman, begadang di luar lagi ?”

Livia menatapnya sebentar, lalu tertawa kecil. “Kok Bapak tau aja, sih?”

“Kelihatan dari mata,” jawabnya sambil terkekeh. “Saya bukan detektif, tapi saya punya dua staf yang kadang suka kelayapan malam. Satu udah mulai insaf, satu lagi masih bandel.”

“Yang bandel saya, ya?”

“Kayaknya sih iya.” Kata Burhan sambil berdecak, “Livia, saya tahu kamu orangnya mandiri dan bebas. Tapi jangan kebanyakan main malam, ya. Dunia malam itu bahaya, banyak orang brengseknya.”

Nada suaranya ringan, bahkan terdengar seperti bercanda. Tapi di baliknya ada ketulusan yang sulit disembunyikan.

Livia menunduk, memainkan tutup cangkir kopi itu dengan jemarinya. “Saya cuma butuh suasana, Pak. Biar nggak mikirin hal-hal yang berat.”

Burhan mengangguk pelan. “Saya ngerti. Kadang kita cuma pengin mencari hiburan sebentar dari semua yang bikin capek. Tapi hati-hati, Liv. Jangan sampai lupa jalan pulang.”

Livia menatapnya sekilas, matanya sedikit melembut. “Bapak ngomongnya kayak bapak saya aja.”

Burhan tertawa kecil. “Berarti saya sukses jadi atasan yang baik, dong.”

Livia ikut tersenyum, kali ini lebih tulus. Untuk pertama kalinya, perhatian seseorang tidak membuatnya risih, justru terasa menenangkan.

Burhan melirik jam tangannya, lalu bersiap meninggalkan meja Livia. Namun sebelum melangkah pergi, ia sempat berhenti sejenak di sisi meja itu.

“Oh iya, Liv,” ucapnya dengan nada santai tapi sedikit serius. “Nanti selepas makan siang, semua kepala divisi dan staf inti diminta ke aula lantai dua. Kita bakal kedatangan CEO baru.”

Livia mengangkat alis, sedikit terkejut. “Serius? Saya baru denger.”

“Iya,” jawab Burhan sambil tersenyum tipis. “Beliau baru tiba dari luar negeri pagi ini. Katanya baru mau resmi hari ini. Beliau juga yang bakal menggantikan posisi ayahnya, Pak Himawan, yang udah pensiun.”

“Wah, berarti anaknya pemilik perusahaan dong?”

Burhan mengangguk pelan. “Kurang lebih begitu. Katanya sih orangnya masih muda, tapi punya pengalaman kerja di luar negeri cukup lama. Jadi, siap-siap aja, mungkin bakal ada banyak perubahan ke depannya.”

Livia menautkan alis, setengah penasaran setengah malas. “Perubahan lagi, ya… semoga aja nggak bikin tambah pusing ya Pak.”

Burhan terkekeh ringan. “Tenang aja. Selama kamu kerja sebaik biasanya, nggak ada yang perlu dikhawatirin. Tapi…” ia menatap Livia sejenak, nadanya kembali lembut. “Jangan sampai pas perkenalan nanti kamu kelihatan ngantuk gara-gara kurang tidur, ya.”

Livia menatapnya geli. “Baik, Pak. Saya janji nggak akan merusak citra divisi administrasi.”

“Bagus.” Burhan tersenyum hangat.

“Oke, saya ke ruangan dulu. Istirahat sebentar sebelum rapat. Jangan lupa makan siang, Liv.”

“Siap, Pak Burhan,” jawabnya dengan senyum kecil.

Burhan melangkah pergi, meninggalkan aroma parfum khas miliknya dan kalimat terakhirnya yang entah kenapa terasa menenangkan.

Livia memandangi punggung pria itu hingga menghilang di koridor, lalu menghela napas. Ia belum tahu, sosok CEO baru yang disebut Burhan itu akan seperti apa.

...🌼...

...🌼...

...🌼...

Bersambung....

1
kalea rizuky
jangan jd pelakor
septi fahrozi
semakin penasaran jadinya ngapain mereka... 🤣🤣
Priyatin
ho ho ho kok semakin rumit hubungannya othor😰😰😰
Priyatin
lama kali nunggu up nya thor.
lanjut dong🙏🙏🙏
Wita S
kerennn
Wita S
ayoo up kak...ceritanya kerennnn
Mian Fauzi: thankyou 🫶 tp sabar yaa...aku masih selesain novelku yg lain hehe
total 1 replies
Siti Naimah
ampun deh...belum apa2 Livia sudah mendapat kekerasan dari dimas.sebaiknya sampai disini saja livia.gak usah diterusin
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!