Takdir kejam menuntutnya menjadi pengantin pengganti demi menebus sebuah kesalahan keluarga. Dan yang lebih menyakitkan, ia harus menikah dengan musuh bebuyutannya sendiri: Rendra Adiatmaharaja, pengacara ambisius yang berkali-kali menjadi lawannya di meja hijau. Terjebak dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan, Vanya dipaksa menyerahkan kebebasan yang selama ini ia perjuangkan. Bisakah ia menemukan jalan keluar dari sangkar emas Rendra? Ataukah kebencian yang tumbuh di antara mereka perlahan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elin Rhenore, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
START TO PLAY
Demi mengalihkan pikirannya dari rasa kecewa yang tak terkira, Vanya menghabiskan waktunya untuk menekuni semua pekerjaan yang bisa dilakukan seharian. Dalam waktu yang singkat ia memeriksa berkas kasus klien-kliennya, berkas yang menumpuk, yang bisa ia kerjakan dengan santai, ia lakukan dalam sekejap.
Ketekunannya membuatnya lupa dengan waktu sampai Rachel harus mengingatkan Vanya untuk beristirahat di jam makan siang. Vanya menghela nafasnya, menatap sebuah dokumen yang masih terbuka di atas mejanya. Mengerjapkan matanya beberapa kali karena pedas menyerangnya.Vanya menghela nafasnya, ia merasa lehernya pegal sehingga menggerakkannya sampai berbunyi 'kretek-kretek'.
Saat itu ponselnya berdering, ia segera mengambilnya dan melihat gerangan yang menelponnya di jam makan siang. Melihat nama Alessia tertera di sana, Vanya sempat ragu untuk mengangkatnya. Sedetik berlalu ia menghilangkan keraguannya, ia mengangkat panggilan itu meski enggan.
"Hai, Nya... kamu udah istirahat belum?"
Vanya bahkan belum menyapanya, Alessia sudah melancarkan pertanyaan. "Sudah ini barusan, kamu tiba-tiba nelpon aku ada apa?" tanyanya, sebenarnya ia pun tak merasa penasaran. Hanya menanggapi saja.
"Bagus! Kalau begitu ayo makan siang bareng sama aku." Terdengar itu bukan seperti sebuah tawaran. Vanya tak merasa lapar, rasa kecewa telah menumpulkan rasa dalam dirinya, ia masih kesal hingga membuat perutnya terasa kenyang.
"Halo, Nya?"
"Oh, ya, ya, baiklah. Mau makan siang dimana?" Tapi Vanya tak punya alasan menolak pula. Selain itu, siapa tahu dengan keluar dari kantornya, menghirup udara pikirannya bisa jernih.
"Aku kirim lokasinya ya, aku tunggu di sana."
"Baiklah."
Vanya menutup panggilan tersebut dan tak lama kemudian Alessia mengiriminya sebuah alamat restauran terkenal yang tak begitu jauh dari kantor firmanya. Vanya segera bergegas, mengambil jas dan kunci mobilnya, lantas pergi keluar setelah memberitahu Rachel.
cahaya matahari menembus jendela-jendela tinggi, memantulkan kilau keemasan di atas meja-meja marmer yang tertata rapi. Deretan kursi berlapis kulit lembut dipenuhi tamu-tamu berpenampilan rapi, sebagian berbincang serius dengan map dokumen di samping piring mereka, sebagian lain menikmati tawa ringan ditemani gelas anggur dingin. Dari dapur terbuka, aroma soto sumsum dan seafood panggang bercampur dengan harum roti artisan yang baru keluar dari oven, menggoda selera siapa pun yang lewat. Pelayan berseragam hitam-putih bergerak anggun, seakan tarian yang tak pernah salah langkah, menyajikan hidangan ke meja dengan senyum profesional. Dalam balutan siang Jakarta yang sibuk, restoran ini menjadi oasis elegan—tempat bisnis diselesaikan, kesepakatan lahir, dan percakapan penting mengalir senatural angin sepoi yang masuk lewat kaca tinggi.
Vanya mencari sosok Alessia, di manakah saudari angkatnya itu berada. Menoleh ke kanan – ke kiri, sampai akhirnya sebuah lambaian tangan seseorang ditangkap oleh netranya. Alessia berdandan cantik dengan dress yang elegan berpotongan midi selutut dengan warna nude yang cocok sekali dengan kepribadian perempuan itu.
Lekas Vanya melangkah ke arah perempuan itu, rupanya Alessia tak sendirian, ada seorang lagi yang bersama dengannya. Seorang perempuan yang sekiranya seumuran dengan kakaknya—Miray.
"Vanya kenalin ini saudara jauh Mama, Vallencia." Alessia langsung mengerti saat Vanya memberikan tatapan tanda tanya kepadanya.
"Vallencia, ini kakak angkatku yang aku ceritakan ke kamu tadi."
Vallencia itu gambaran seorang wanita kelas atas yang sangat berkelas; ia duduk anggun di kursi berlapis kulit, menyilangkan kaki dengan keanggunan alami yang membuat gaun midi gadingnya jatuh membentuk lipatan sempurna. Stiletto berkilau yang melapisi kakinya tampak berkilat di bawah cahaya lampu kristal, sementara clutch kulit buaya berwarna champagne tergeletak ringan di pangkuan. Jemarinya, berhias cincin berlian besar, sesekali menyentuh tepi gelas anggur seolah hanya untuk menegaskan kehadirannya. Posturnya tegak, bahu terangkat halus, dan kepala sedikit dimiringkan, membuat kalung mutiara serta anting chandelier kecilnya berkilau mengikuti gerakan. Dengan senyum tipis yang nyaris tak terbaca, Vallencia memancarkan aura otoritas yang tenang, seakan setiap detail pada dirinya memang ditakdirkan untuk memerintah ruangan tanpa harus bersuara.
Perempuan itu memandang Vanya dengan detail, menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki seolah sedang menilai.
"Apa kamu yakin dia bisa menangani kasusku? Dia masih terlihat sangat muda sekali."
Kini Vanya mengerti, sepertinya Vallencia sedang mencari seseorang yang bisa dipercaya olehnya untuk menangani sesuatu yang berharga baginya. Seketika itu juga Vanya langsung duduk di seberangnya, tak ingin kehilangan wibawanya sebagai pengacara, ia merilekskan punggungnya. Kini giliran dirinya menatap Vallencia dengan pandangan yang menilai.
"Saya tidak memilih sebuah kasus, Nona Vallencia. Kasus itu memilih saya untuk diselesaikan dengan cara yang paling memuaskan."
Vallencia terhenyak untuk sesaat, terlihat perempuan muda di depannya ini tampak berani dan sangat percaya diri. Jarang sekali ia menemukan seorang perempuan yang memiliki aura keberanian sekuat Vanya, seolah perempuan itu siap mati di medan perang kapanpun tapi dengan cara yang paling terhormat.
"Paling memuaskan? Bukankah biasanya para pengacara itu ingin memenangkan kasus mereka?"
"Tidak munafik, menang di pengadilan menjadikan kami semakin dipercaya oleh klien kami. Tapi kepuasan adalah inti utama dari kemenangan itu sendiri." Vanya bertutur dengan lembut. Tatapannya langsung mengarah pada manik cokelat gelap milik si perempuan kaya raya itu. "Saya akan memastikan klien saya mendapatkan keadilan dan juga kepuasan dari keputusan pengadilan."
Kepala perempuan itu manggut-manggut, mengerti apa yang ingin disampaikan oleh Vanya. "Aku ingin mempercayakanmu sebuah kasus. Sebenarnya ini kasus lama, sudah dua tahun aku ingin memenangkannya tapi tidak ada hasil. Tidak ada pengacara yang berhasil memuaskanku," kata Vallencia.
"Boleh saya tahu apa yang membuat anda begitu gelisah?"
"Aku ingin mengambil hak asuh atas anakku, jika kamu sanggup untuk memuaskanku, maka aku akan memberikan kuasa atas kasusnya kepadamu."
Vanya menatap perempuan itu dengan seksama, memastikan bahwa dirinya bisa membawa kabar baik untuknya.
"Kak Vallen tenang aja, dia itu sangat pintar. Aku yakin kakak bisa dapat lagi hak asuh atas si kembar." Alessia memecah keheningan yang tiba-tiba terjadi.
"Saya akan melakukannya." Vanya menyahut.
"Baiklah kalau begitu, aku akan percayakan kasus ini kepadamu. Jika kau bisa menyelesaikannya dengan baik, akan ada imbalan khusus buat kamu."
"Selama klien saya terpuaskan, imbalan itu hanya pelengkap bagi saya."
Selesai makan siang itu, Vanya pun langsung kembali ke firmanya. Melihat Rachel sudah selesai dengan istirahat jam makan siangnya, ia langsung menghampir ke mejanya.
"Rachel, kita baru saja dapat klien besar. Tolong buatkan surat kuasanya, nanti saya kirim email untuk detailnya. Lalu tolong carikan saya informasi terkait dengan keluarga dari Albert Giovanda Angkara dari Group Angkara. Detil apapun itu berikan kepada saya."
Ya, informasi lanjutan yang didapatkan Vanya saat makan siang adalah bahwa Vallencia merupakan mantan istri dari Albert Giovanda Angkara dari sebuah perusahaan raksasa yang mengelola kelapa sawit, perusahaan yang hampir saja menjadi musuh dalam pengadilannya jika saja Rendra tidak menyabotase kasusnya. Dalam perjalanannya kembali menuju ke firma tadi ada semangat yang kembali berkobar dalam hatinya.
Menjelang sore saat jam pulang kantor hampir berdentang, Rachel masuk ke ruangan Vanya. Perempuan itu sudah mendapatkan informasi terkait dengan Albert yang diminta oleh Vanya sebelumnya. Lantas ia menceritakan apa saja yang telah ia dapatkan.
Vallencia dan Albert berpisah sekitar tiga tahun silam, alasan perceraiannya karena Albert melakukan KDRT dan memiliki gundik di belakang Vallencia. Sidang perceraian mereka terjadi dengan alot dan memakan waktu hampir setahun. Vallencia memperjuangkan hak asuh anaknya setelah persidangannya, namun gagal karena pihak Albert memberikan bukti terkait dengan perilaku Vallencia yang juga melakukan perselingkuhan serta tuduhan atas kejiwaannya yang dianggap tidak sanggup untuk mengasuh anak.
Setelah itu Vallencia mengajukan banding hak asuh anaknya, keputusannya masih tak menguntungkan pihak Vallencia. Selanjutnya ia sudah melakukan kasasi hingga keputusan pengadilan sudah inkracht. Sehingga kali ini Vanya harus mengajukan Pengajuan Kembali, ini merupakan tugas yang berat karena ia harus mencari bukti baru dan memberikannya kepada pengadilan untuk mengubah keputusan.
"Siapa pengacara yang menangani kasus Albert?" tanya Vanya kepada Rachel.
"Tim Hukum Grup Angkara, lebih spesifiknya kasus perceraian sampai perebutan hak asuh anaknya dipegang oleh Pak Rendra Adiatmaharaja."
Vanya sudah mengendus ini sebelumnya, karena kasus group Angkara di Nusantara juga dihandle oleh Rendra. Ada kemungkinan jika Rendra juga memegang kasus Albert.
"Baik, saya mengerti."
"Baik, Bu. Apa ada yang lain?"
"Tidak, hanya saja saya ingin meminta kamu bekerja sama dengan saya. Apa kamu bersedia, Rachel?"
"Itu sudah tugas saya, Bu."
"Baiklah. Mulai besok kita selidiki Vallencia dan Albert secara tersembunyi."
"Kenapa Bu Vanya juga menyelidiki Vallencia?"
Vanya memundurkan tubuhnya, bersandar pada kursi kerjanya. "Karena saya harus tahu siapa klien saya sebenarnya, dengan begitu saya bisa memberikan hasil terbaik untuknya." Vanya tampak begitu serius. Rachel mengangguk, mengerti apa yang diucapkan oleh Vanya, setelahnya ia undur diri setelah memberikan semua informasi yang ia dapatkan.
**
Sore itu Vanya memutuskan untuk tidak langsung pulang ke apartemennya, tapi tidak seperti sebelum-sebelumnya. Kali ini dia menghubungi Rendra terlebih dahulu, meski hatinya kesal tapi ia tak ingin Rendra tiba-tiba muncul di hadapannya dan menyeretnya untuk pulang.
Deringan pertama langsung diangkat oleh Rendra, dan sapaan di ujung saluran terdengar seperti orang yang kegirangan. Vanya bisa membayangkan wajah jahil suaminya itu.
"Hallo, Anantari. Tumben sekali kamu menelpon saya."
"Ya, Hallo, mas. Aku Cuma mau pamit."
Hening, ada jeda di antara mereka. Rendra seperti sedang menimbang-nimbang.
"Kamu mau kemana, biar saya antar."
"Tidak perlu, hanya sebentar saja. Aku mau ke rumah Kak Miray. Aku tidak meminta persetujuanmu, aku hanya pamit."
"Kenapa? Amarah kamu belum mereda, Little cat?"
"Kamu benar."
"Tapi kamu tidak menginap, 'kan?"
"Tidak. Aku hanya sedikit jarak."
"Kita sudah tidak bertemu seharian, apa itu kurang."
Vanya menghela nafasnya, tentu itu kurang, ia ingin ke tempat kakaknya untuk menghindari bertatap muka dengan Rendra.
"Mungkin sebenarnya kamu hanya ingin menghindar dari saya."
Hati Vanya tertohok seketika, ucapan Rendra tepat seperti apa yang dia pikirkan. Seolah pria itu mengenalinya lebih dari dirinya sendiri.
"Kalau hanya begitu, kamu tidak perlu pergi-pergi jauh begitu. Kamu bisa pulang dan istirahat. Saya akan lembur malam ini."
Terdengar nada kepasrahan dalam suara Rendra. Hal itu juga disadar oleh Vanya. Namun, saat ini rasa kecewanya masih belum terobati, bahkan mungkin akan menjadi bekas luka yang tak pernah hilang.
"Malam ini aku tetap akan pergi ke rumah kak Miray."
Setelah mengatakan hal itu, Vanya langsung mematikan panggilan telponnya. Dia enggan mendengarkan suara Rendra lebih lama. Hal itu hanya mengingatkannya bagaimana Rendra telah menyabotase kasusnya.
Vanya segera bersiap untuk meninggalkan ruangannya, pergi menuju ke rumah kakaknya.
*
"Masalahmu dengan Rendra belum selesai?" Miray bertanya. Vanya baru saja duduk di kursi ruang keluarganya. Perempuan itu datang dengan wajah yang emosinya tak bisa ditebak. Tidak seperti kemaren malam, dimana ia datang dengan wajah muram.
Vanya bukan sosok yang bisa menyembunyikan perasaan dan menghapusnya dari wajah. Semuanya akan nampak jelas di muka perempuan itu, entah dia sedih, bahagia, kesal, marah, semuanya akan tergambar dengan nyata. Tapi kali ini, si adik benar-benar memasang poker face di wajahnya.
"Dia sama sekali tidak mau minta maaf, kak." Vanya kemudian menghela nafas sambil merebahkan punggungnya di sofa.
"Sepelik apa masalahnya, coba kasih rating dari satu sampai sepuluh."
"Hmmm." Vanya tampak berpikir. Kira-kira berapa rating masalah yang harus dia berikan. "enam, mungkin?"
"Enam? Dan itu masih mungkin. Masalahnya tidak separah itu." Miray juga turut bersandar di sofa. Lantas ia menyalakan televisi dan memutar ftv dari salah satu channel.
"Mungkin, tapi aku tidak bisa melupakan rasa kecewaku." Vanya mengakui, ada desahan lirih keluar dari bibirnya. "Apalagi setelah melakukan kesalahan itu dia sama sekali tidak mau minta maaf. Dia terlalu angkuh."
Miray mengenal adiknya, Vanya tidak mudah memaafkan seseorang. Bahkan saat dengan Saga dulu, sebelum Miray bisa menikah dengan Saga mereka harus mendapatkan restu Vanya dan itu tidak mudah. Butuh waktu sekitar satu tahun hingga akhirnya mereka bisa menikah. Padahal Saga melakukan kesalahan kepada Miray, tapi Vanya yang sangat teramat marah besar.
Di sisi lain, Miray juga sangat mengenal sahabatnya—Rendra. Pria itu, selalu memiliki alasan tersendiri dengan aksi yang dia lakukan. Namun, yang sejauh Miray tahu Rendra tak memiliki ego setinggi itu hingga enggan untuk meminta maaf.
"Lalu sampai kapan kamu akan marah? Dia suamimu, tidak mungkin kamu akan mendiamkannya begitu saja." Itulah sikap Vanya setiap kali dirinya menemui masalah, dia akan diam seribu bahasa.
"Aku tidak mendiamkannya, tadi aku juga pamit pas mau ke sini," akunya pelan.
"Bagus. Dengar Vanya ... kehidupan berumah tangga itu tidak semudah seperti yang ada di film-film. Kalian adalah dua jiwa yang diikat dalam satu ikatan bernama pernikahan, dua jiwa ini harus berjuang untuk memiliki kesatuan, harus bekerjasama dalam membina hubungan, ada pemakluman dan maaf yang seluas samudra." Miray mulai bertutur dan Vanya terdiam menyimak. "Kesalahan-kesalahan pasti akan terjadi, karena kalian bukan dari satu jiwa dengan satu pemikiran. Kalian adalah dua jiwa yang memiliki dua hati dan dua pemikiran. Jika salah satu dari kalian tercderai, maka yang lain pun akan terluka. Oleh sebab itu, jangan pernah saling melepaskan."
Vanya terdiam, apakah ia juga harus melakukannya? Statusnya adalah istri pengganti? Bahkan itu hanya ada dalam permainan kotor Rendra untuk meningkatkan popularitasnya sebagai pengacara saja. Yang paling penting, apakah Rendra juga menganggap dirinya sebagai belahan jiwa juga?
...--Bersambung--...
...OBJECT OF DESIRES | 2025...
semangat nulisnyaa yaaaa